Perlunya Peran Juru Dakwah dalam Memberantas Korupsi
loading...
A
A
A
Sabir Laluhu
Wartawan Koran SINDO
Guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra menilai, tinggi rendahnya tingkat korupsi di Indonesia tidak berhubungan dengan agama maupun tingkat religiusitas para pemeluknya. Meski demikian, menurut dia, agama dapat memainkan peran penting dalam pemberantasan korupsi termasuk pada aspek pencegahan korupsi . Caranya dengan meningkatkan peran serta institusi atau lembaga keagamaan seperti pengurus masjid atau pengurus gereja kemudian organisasi sosial keagamaan seperti Nahdlatul 'Ulama (NU), Muhammadiyah, dan lain-lain.
"Sangat perlu kampanye antikorupsi dari mimbar. Para khatib dan juru dakwah harus diberikan juga pelatihan tentang ini. Supaya nanti saat menyampaikan khutbah kepada umat, isinya juga membahas antikorupsi, agar umat juga tidak permisif dengan korupsi. Karena perbuatan korupsi adalah perbuatan tercela dan dilarang oleh agama," tegas Azyumardi kepada penulis. [ ]
Dia mengungkapkan, dalam beberapa tahun belakangan institusi atau lembaga keagamaan dan organisasi sosial keagamaan belum cukup berperan dalam upaya pemberantasan korupsi termasuk pencegahan korupsi hingga mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Menurut Azyumardi, intitusi dan organisasi sosial keagamaan mestinya menjadikan dan menjalankan agenda pemberantasan korupsi secara konsisten dan terarah. Apalagi, sekali lagi kata dia, para pelaku korupsi yang ada selama ini adalah umat beragama.
"Jadi peran agama harus dioptimalkan melalui keterlibatan dan peran serta institusi atau lembaga keagamaan maupun organisasi sosial keagamaan. Upaya pelibatan ini harus terus dilakukan dan dioptimalkan oleh KPK," ucapnya.
Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat (Dikyanmas) KPK Giri Suprapdiono menyatakan, dari sudut pandang nilai ajaran agama manapun maka jelas sekali korupsi haram. Musababnya, semua ajaran agama bermuara pada berbuat baik kepada sesama manusia. Satu di antara wujud perbuatan baik seseorang adalah tidak mengambil sesuatu apapun bentuknya yang bukan merupakan hak orang tersebut.
Di sisi lain, menurut Giri, ada aspek rasional yang harus dipecahkan juga bersama oleh kita. Karena, kata dia, ketika seseorang melakukan korupsi, maka kadang-kadang orang tersebut tidak peduli korupsi itu dosa atau tidak. Orang tersebut lebih cenderung mementingkan faktor rasional bahwa dia harus hidup. Sehingga, bagi KPK, saluran pendidikan menjadi bagian penting dalam upaya pencegahan korupsi .
"Jadi ketika agama apapun mengatakan kita membutuhkan legacy, kita butuh warisan, kita butuh bermanfaat bagi orang lain, kita butuh kepedulian, kita butuh bahwa mencuri itu tidak benar dan tidak baik, aka tujuan dari pendidikan itu mudah tercapai," ujar Giri saat berbincang dengan penulis.
Mantan Direktur Gratifikasi KPK ini membeberkan, untuk upaya dan tindakan pencegahan korupsi maka selama beberapa tahun sebelumnya hingga kini KPK terus mengembangkan dan menjalankan pendekatan pendidikan. Untuk pendekatan ini, pun telah dan terus digulirkan pelaksanaan pendidikan dan budaya antikorupsi di berbagai tingkatan usia dan level pendidikan.
Kerjasama Ormas Keagamaan
Guna pelaksanaannya, tutur Giri, KPK menggandeng tokoh-tokoh agama dan budaya serta bekerja sama dengan sejumlah organisasi masyarakat (ormas) keagamaan. Di antaranya MUI, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), dan Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin).
"Karena pendekatan pendidikan yang paling bagus itu adalah sosio-kultural. Sosio-kultural ini di antaranya menggunakan pendekatan agama, pendekatan spiritual, pendekatan budaya lokal, pendekatan adat tradisional untuk menginternalisasi nilai-nilai. Jadi sebenarnya organisasi-organisasi ini perannya juga sangat sentral," tegasnya.
Dia mengungkapkan, implementasi pendidikan dan budaya antikorupsi dengan menggandeng ormas-ormas kegamangan tersebut berpijak pada alasan faktual. Pasalnya, ormas-ormas tersebut menaungi dan memiliki sekolah formal maupun informal. Selain itu, tutur dia, KPK melalui Pusat Edukasi Antikorupsi atau Anti Corruption Learning Center (ACLC) kerap menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan untuk para pemuda dan tokoh dari berbagai agama serta pengurus ormas keagamaan.
"Kita mesti belajar dari pendakwah zaman dulu ya, bahwa mereka menggunakan sosio-kultural untuk masuk," katanya.( )
Giri mengungkapkan, dalam konteks pendidikan antikorupsi dengan pendekatan keagamaan atau pendekatan spiritual, maka tim Direktorat Dikyanmas juga acap kali turun langsung ke berbagai pesantren baik modern maupun salafi yang tersebar di berbagai daerah. Dia mengungkapkan, korupsi dalam literatur Islam juga dikenal dengan sebutan ghulul. Menurut dia, literatur tersebut telah dipelajari dan diketahui secara jelas oleh kalangan pesantren. Karenanya kata dia, budaya anti-ghulul dapat dimulai dari pesantren dan kemudian disebarluaskan kepada masyarakat.
"Jadi bayangkan kalau korupsi itu kayak babi bagi orang Islam , di mana pun di berada, di luar negeri atau di mana pun ketika ada babi, dia tidak akan mendekatinya. Memang korupsi itu haram. Cuma kalau babi itu haram dimakan, kenapa (ada pelaku beragama Islam melakukan) korupsi tidak merasa haram," paparnya.
Dia menjelaskan, hakikatnya ujung dari pendidikan antikorupsi adalah membangun kepercayaan dan keyakinan bahwa setiap individu dapat mencegah korupsi. Ketika dalam kesendirian, setiap individu mampu mengontrol dirinya dengan nilai-nilai integritas yang telah diinternalisasi dengan pendekatan sosio-kultural. Pun demikian, setiap individu seharusnya menyadari tujuan akhir dari hidupnya.
"Jadi kalau dari pendekatan agama, kan agama dekat nih (dengan kita), kita tidak bicara urusan rasional di dunia, tapi pertanggungjawaban ketika kembali. Agama apapun. Ada orang mengenal karma, ada orang mengenal akhirat, ada orang mengenal pahala dan dosa, ada orang neraka dan surga, dan segala macam. Dia harus selesai dengan dirinya, tiap individu itu tahu tujuan akhir hidupnya. Tahu tujuan akhir hidup ini kan pendekatan ormas keagamaan sangat dibutuhkan," ucap Giri.
Pimpinan Pondok Pesantren Modern al-Syaikh Abdul Wahid, Kota Baubau, Sulawesi Tenggara (Sultra) KH Abdul Rasyid Sabirin mengungkapkan, Tim Direktorat Dikyanmas pada Kedeputian Pencegahan KPK pernah datang di pondok pesantren ini guna melaksanakan sosialisasi dan kampanye program pencegahan korupsi termasuk di dalamnya pendidikan dan budaya antikorupsi. Para peserta kegiatan terdiri dari para santri dan asatidz (guru-guru). Seingat dia, kegiatan ini berlangsung pada awal September 2018.
Rasyid memastikan, para santri dan asatidz menyambut baik dan positif kegiatan tersebut. Mulanya saat penyampaian materi, tim KPK menyampaikan bahwa tidak perlu takut dengan kedatangan tim KPK. Pasalnya, kedatangan tim KPK tidak selalu berhubungan dengan kegiatan penindakan, tapi sebetulnya KPK juga melakukan berbagai kegiatan pencegahan korupsi dengan pendekatan kemasyarakatan dan pendidikan.
"Ada dua atau tiga orang dari KPK yang datang waktu itu. Mereka juga menyerahkan modul dan buku-buku, gambar-gambar terkait dengan pencegahan korupsi dan pendidikan antikorupsi," kata Rasyid saat berbincang dengan penulis.
Acara itu, kata Rasyid, bisa berlangsund karena pihak pondok pesantren lebih dulu mengundang pimpinan atau pejabat KPK untuk menjadi pembicara dalam bedah buku sebagai bagian dari rangkain kegiatan besar milad pondok pesantren ke-25. Menurut Rasyid, sosialisasi dan kampanye pelaksanaan pendidikan dan budaya antikorupsi yang disampaikan tim KPK disesuaikan dengan kondisi dan lingkungan pondok pesantren.
"Karena yang hadir adalah guru-guru dan santri-santri, maka diajarkan sama tim KPK tentang kejujuran, sederhana, bertanggungjawab, yah kalau tidak salah 9 nilai integritas. Jadi disesuaikan dengan kita (pondok pesantren)," paparnya.
Alumni Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo ini menegaskan, hakikatnya nilai-nilai integritas dan materi pendidikan antikorupsi yang disusun dan disampaikan KPK dalam berbagai kesempatan termasuk dalam acara tadi sudah sesuai dengan pendidikan dan nilai hidup yang ada di pondok pesantren. Rasyid mengungkapkan, di pondok pesantren lebih khusus pondok pesantren modern terdapat 'Panca Jiwa Pondok' atau lima jiwa pondok pesantren. Masing-masing yakni keikhlasan, kesederhanaan, berdikari, ukhuwah islamiyah, dan kebebasan yang bertanggung jawab.
"Saya kira klop sekali apa yang ada di dalam 9 nilai integritas dan pendidikan antikorupsi dengan nilai-nilai yang ada di pesantren dan panca jiwa pondok. Karena 9 itu (9 nilai integritas) juga sejalan dengan agama, sejalan dengan Al-Qur'an, sejalan dengan hadits. Sehingga, tidak perlu ditakutkan kalau KPK datang. Nilai-nilai integritas maupun pendidikan antikorupsi sebenarnya sudah dijalankan lama di level pondok pesantren," tegasnya.
Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) al-Syaikh Abdul Wahid, Kota Baubau ini menggariskan, di dalam agama Islam ada literatur tentang risywah (suap) maupun ghulul (korupsi). Seorang insan yang memeluk agama Islam, ujar Rasyid, jelas dilarang melakukan itu serta tidak boleh mengambil sesuatu atau harta dengan jalan yang batil. Menurut dia, materi kampanye dan sosialisasi pendidikan antikorupsi yang disampaikan KPK maupun materi pendidikan dan pengajaran yang diperoleh seorang santri di pondok pesantren dapat dikombinasikan untuk melakukan dakwah ke masyarakat.
"Itu kan semuanya sudah ada dalam Al-Qur'an, dalam hadits, dalam tafsir, dalam dakwah. Saya pikir bisa, bisa dijadikan bahan untuk dakwah ke masyarakat dan dijalankan nanti ketika santri telah selesai dari pondok pesantren," ungkapnya.
Rasyid berharap, masyarakat umum bisa menjalankan pendidikan antikorupsi dengan menanamkan nilai-nilai integritas sejak dari dalam keluarga. Hal paling kecil, kata dia, dimulai dengan bersikap jujur dan bertindak dengan kejujuran. Memang kata dia, ketika dihadapkan dengan kejadian di lapangan ada kalanya bertentangan dengan nurani.
"Bagi masyarakat, harapan saya untuk menjaga kejujuran, bagaimana caranya kita bisa adil. Memang ketika kita berada di masyarakat, untuk hal-hal yang demikian bertentangan dengan apa yang ada. Kalau kita di dalam pesantren kan sudah biasa, tapi kita berusaha semaksimal mungkin untuk itu," ucap Ketua MUI Kota Baubau ini. ( )
(Bersambung)!
Wartawan Koran SINDO
Guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra menilai, tinggi rendahnya tingkat korupsi di Indonesia tidak berhubungan dengan agama maupun tingkat religiusitas para pemeluknya. Meski demikian, menurut dia, agama dapat memainkan peran penting dalam pemberantasan korupsi termasuk pada aspek pencegahan korupsi . Caranya dengan meningkatkan peran serta institusi atau lembaga keagamaan seperti pengurus masjid atau pengurus gereja kemudian organisasi sosial keagamaan seperti Nahdlatul 'Ulama (NU), Muhammadiyah, dan lain-lain.
"Sangat perlu kampanye antikorupsi dari mimbar. Para khatib dan juru dakwah harus diberikan juga pelatihan tentang ini. Supaya nanti saat menyampaikan khutbah kepada umat, isinya juga membahas antikorupsi, agar umat juga tidak permisif dengan korupsi. Karena perbuatan korupsi adalah perbuatan tercela dan dilarang oleh agama," tegas Azyumardi kepada penulis. [ ]
Dia mengungkapkan, dalam beberapa tahun belakangan institusi atau lembaga keagamaan dan organisasi sosial keagamaan belum cukup berperan dalam upaya pemberantasan korupsi termasuk pencegahan korupsi hingga mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Menurut Azyumardi, intitusi dan organisasi sosial keagamaan mestinya menjadikan dan menjalankan agenda pemberantasan korupsi secara konsisten dan terarah. Apalagi, sekali lagi kata dia, para pelaku korupsi yang ada selama ini adalah umat beragama.
"Jadi peran agama harus dioptimalkan melalui keterlibatan dan peran serta institusi atau lembaga keagamaan maupun organisasi sosial keagamaan. Upaya pelibatan ini harus terus dilakukan dan dioptimalkan oleh KPK," ucapnya.
Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat (Dikyanmas) KPK Giri Suprapdiono menyatakan, dari sudut pandang nilai ajaran agama manapun maka jelas sekali korupsi haram. Musababnya, semua ajaran agama bermuara pada berbuat baik kepada sesama manusia. Satu di antara wujud perbuatan baik seseorang adalah tidak mengambil sesuatu apapun bentuknya yang bukan merupakan hak orang tersebut.
Di sisi lain, menurut Giri, ada aspek rasional yang harus dipecahkan juga bersama oleh kita. Karena, kata dia, ketika seseorang melakukan korupsi, maka kadang-kadang orang tersebut tidak peduli korupsi itu dosa atau tidak. Orang tersebut lebih cenderung mementingkan faktor rasional bahwa dia harus hidup. Sehingga, bagi KPK, saluran pendidikan menjadi bagian penting dalam upaya pencegahan korupsi .
"Jadi ketika agama apapun mengatakan kita membutuhkan legacy, kita butuh warisan, kita butuh bermanfaat bagi orang lain, kita butuh kepedulian, kita butuh bahwa mencuri itu tidak benar dan tidak baik, aka tujuan dari pendidikan itu mudah tercapai," ujar Giri saat berbincang dengan penulis.
Mantan Direktur Gratifikasi KPK ini membeberkan, untuk upaya dan tindakan pencegahan korupsi maka selama beberapa tahun sebelumnya hingga kini KPK terus mengembangkan dan menjalankan pendekatan pendidikan. Untuk pendekatan ini, pun telah dan terus digulirkan pelaksanaan pendidikan dan budaya antikorupsi di berbagai tingkatan usia dan level pendidikan.
Kerjasama Ormas Keagamaan
Guna pelaksanaannya, tutur Giri, KPK menggandeng tokoh-tokoh agama dan budaya serta bekerja sama dengan sejumlah organisasi masyarakat (ormas) keagamaan. Di antaranya MUI, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), dan Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin).
"Karena pendekatan pendidikan yang paling bagus itu adalah sosio-kultural. Sosio-kultural ini di antaranya menggunakan pendekatan agama, pendekatan spiritual, pendekatan budaya lokal, pendekatan adat tradisional untuk menginternalisasi nilai-nilai. Jadi sebenarnya organisasi-organisasi ini perannya juga sangat sentral," tegasnya.
Dia mengungkapkan, implementasi pendidikan dan budaya antikorupsi dengan menggandeng ormas-ormas kegamangan tersebut berpijak pada alasan faktual. Pasalnya, ormas-ormas tersebut menaungi dan memiliki sekolah formal maupun informal. Selain itu, tutur dia, KPK melalui Pusat Edukasi Antikorupsi atau Anti Corruption Learning Center (ACLC) kerap menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan untuk para pemuda dan tokoh dari berbagai agama serta pengurus ormas keagamaan.
"Kita mesti belajar dari pendakwah zaman dulu ya, bahwa mereka menggunakan sosio-kultural untuk masuk," katanya.( )
Giri mengungkapkan, dalam konteks pendidikan antikorupsi dengan pendekatan keagamaan atau pendekatan spiritual, maka tim Direktorat Dikyanmas juga acap kali turun langsung ke berbagai pesantren baik modern maupun salafi yang tersebar di berbagai daerah. Dia mengungkapkan, korupsi dalam literatur Islam juga dikenal dengan sebutan ghulul. Menurut dia, literatur tersebut telah dipelajari dan diketahui secara jelas oleh kalangan pesantren. Karenanya kata dia, budaya anti-ghulul dapat dimulai dari pesantren dan kemudian disebarluaskan kepada masyarakat.
"Jadi bayangkan kalau korupsi itu kayak babi bagi orang Islam , di mana pun di berada, di luar negeri atau di mana pun ketika ada babi, dia tidak akan mendekatinya. Memang korupsi itu haram. Cuma kalau babi itu haram dimakan, kenapa (ada pelaku beragama Islam melakukan) korupsi tidak merasa haram," paparnya.
Dia menjelaskan, hakikatnya ujung dari pendidikan antikorupsi adalah membangun kepercayaan dan keyakinan bahwa setiap individu dapat mencegah korupsi. Ketika dalam kesendirian, setiap individu mampu mengontrol dirinya dengan nilai-nilai integritas yang telah diinternalisasi dengan pendekatan sosio-kultural. Pun demikian, setiap individu seharusnya menyadari tujuan akhir dari hidupnya.
"Jadi kalau dari pendekatan agama, kan agama dekat nih (dengan kita), kita tidak bicara urusan rasional di dunia, tapi pertanggungjawaban ketika kembali. Agama apapun. Ada orang mengenal karma, ada orang mengenal akhirat, ada orang mengenal pahala dan dosa, ada orang neraka dan surga, dan segala macam. Dia harus selesai dengan dirinya, tiap individu itu tahu tujuan akhir hidupnya. Tahu tujuan akhir hidup ini kan pendekatan ormas keagamaan sangat dibutuhkan," ucap Giri.
Pimpinan Pondok Pesantren Modern al-Syaikh Abdul Wahid, Kota Baubau, Sulawesi Tenggara (Sultra) KH Abdul Rasyid Sabirin mengungkapkan, Tim Direktorat Dikyanmas pada Kedeputian Pencegahan KPK pernah datang di pondok pesantren ini guna melaksanakan sosialisasi dan kampanye program pencegahan korupsi termasuk di dalamnya pendidikan dan budaya antikorupsi. Para peserta kegiatan terdiri dari para santri dan asatidz (guru-guru). Seingat dia, kegiatan ini berlangsung pada awal September 2018.
Rasyid memastikan, para santri dan asatidz menyambut baik dan positif kegiatan tersebut. Mulanya saat penyampaian materi, tim KPK menyampaikan bahwa tidak perlu takut dengan kedatangan tim KPK. Pasalnya, kedatangan tim KPK tidak selalu berhubungan dengan kegiatan penindakan, tapi sebetulnya KPK juga melakukan berbagai kegiatan pencegahan korupsi dengan pendekatan kemasyarakatan dan pendidikan.
"Ada dua atau tiga orang dari KPK yang datang waktu itu. Mereka juga menyerahkan modul dan buku-buku, gambar-gambar terkait dengan pencegahan korupsi dan pendidikan antikorupsi," kata Rasyid saat berbincang dengan penulis.
Acara itu, kata Rasyid, bisa berlangsund karena pihak pondok pesantren lebih dulu mengundang pimpinan atau pejabat KPK untuk menjadi pembicara dalam bedah buku sebagai bagian dari rangkain kegiatan besar milad pondok pesantren ke-25. Menurut Rasyid, sosialisasi dan kampanye pelaksanaan pendidikan dan budaya antikorupsi yang disampaikan tim KPK disesuaikan dengan kondisi dan lingkungan pondok pesantren.
"Karena yang hadir adalah guru-guru dan santri-santri, maka diajarkan sama tim KPK tentang kejujuran, sederhana, bertanggungjawab, yah kalau tidak salah 9 nilai integritas. Jadi disesuaikan dengan kita (pondok pesantren)," paparnya.
Alumni Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo ini menegaskan, hakikatnya nilai-nilai integritas dan materi pendidikan antikorupsi yang disusun dan disampaikan KPK dalam berbagai kesempatan termasuk dalam acara tadi sudah sesuai dengan pendidikan dan nilai hidup yang ada di pondok pesantren. Rasyid mengungkapkan, di pondok pesantren lebih khusus pondok pesantren modern terdapat 'Panca Jiwa Pondok' atau lima jiwa pondok pesantren. Masing-masing yakni keikhlasan, kesederhanaan, berdikari, ukhuwah islamiyah, dan kebebasan yang bertanggung jawab.
"Saya kira klop sekali apa yang ada di dalam 9 nilai integritas dan pendidikan antikorupsi dengan nilai-nilai yang ada di pesantren dan panca jiwa pondok. Karena 9 itu (9 nilai integritas) juga sejalan dengan agama, sejalan dengan Al-Qur'an, sejalan dengan hadits. Sehingga, tidak perlu ditakutkan kalau KPK datang. Nilai-nilai integritas maupun pendidikan antikorupsi sebenarnya sudah dijalankan lama di level pondok pesantren," tegasnya.
Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) al-Syaikh Abdul Wahid, Kota Baubau ini menggariskan, di dalam agama Islam ada literatur tentang risywah (suap) maupun ghulul (korupsi). Seorang insan yang memeluk agama Islam, ujar Rasyid, jelas dilarang melakukan itu serta tidak boleh mengambil sesuatu atau harta dengan jalan yang batil. Menurut dia, materi kampanye dan sosialisasi pendidikan antikorupsi yang disampaikan KPK maupun materi pendidikan dan pengajaran yang diperoleh seorang santri di pondok pesantren dapat dikombinasikan untuk melakukan dakwah ke masyarakat.
"Itu kan semuanya sudah ada dalam Al-Qur'an, dalam hadits, dalam tafsir, dalam dakwah. Saya pikir bisa, bisa dijadikan bahan untuk dakwah ke masyarakat dan dijalankan nanti ketika santri telah selesai dari pondok pesantren," ungkapnya.
Rasyid berharap, masyarakat umum bisa menjalankan pendidikan antikorupsi dengan menanamkan nilai-nilai integritas sejak dari dalam keluarga. Hal paling kecil, kata dia, dimulai dengan bersikap jujur dan bertindak dengan kejujuran. Memang kata dia, ketika dihadapkan dengan kejadian di lapangan ada kalanya bertentangan dengan nurani.
"Bagi masyarakat, harapan saya untuk menjaga kejujuran, bagaimana caranya kita bisa adil. Memang ketika kita berada di masyarakat, untuk hal-hal yang demikian bertentangan dengan apa yang ada. Kalau kita di dalam pesantren kan sudah biasa, tapi kita berusaha semaksimal mungkin untuk itu," ucap Ketua MUI Kota Baubau ini. ( )
(Bersambung)!
(rhs)