Argumen yang Membolehkan dan Melarang Umat Islam Mengucapkan Selamat Natal (1)

Selasa, 15 Desember 2020 - 05:00 WIB
loading...
Argumen yang Membolehkan...
Ilustrasi Nabi Isa AS/Ist
A A A
SAKIT perut menjelang persalinan, memaksa Maryam bersandar ke pohon kurma . Ingin rasanya beliau mati, bahkan tidak pernah hidup sama sekali. Tetapi Malaikat Jibril datang menghibur: "Ada anak sungai di bawahmu, goyanghan pangkal pohon kurma ke arahmu, makan, minum dan senangkan hatimu. Kalau ada yang datang katakan: 'Aku bernazar tidak bicara.'" ( )

"Hai Maryam, engkau melakukan yang amat buruk. Ayahmu bukan penjahat, ibumu pun bukan penzina," demikian kecaman kaumnya, ketika melihat bayi di gendongannya. Tetapi Maryam terdiam. Beliau hanya menunjuk bayinya. Dan ketika itu bercakaplah sang bayi menjelaskan jati dirinya sebagai hamba Allah yang diberi Al-Kitab, shalat, berzakat serta mengabdi kepada ibunya. Kemudian sang bayi berdoa: "Salam sejahtera (semoga) dilimpahkan kepadaku pada hari kelahiranku, hari wafatku, dan pada hari ketika aku dibangkitkan hidup kembali."

Demikian Prof Dr Muhammad Quraish Shihab mengawali tulisannya dengan cuplikan kisah Natal dari Al-Quran Surah Maryam ayat 34. "Dengan demikian, Al-Quran mengabadikan dan merestui ucapan selamat Natal pertama dari dan untuk Nabi mulia itu, Isa AS," tutur Quraish dalam bukunya "Membumikan Al-Qur'an".

Terlarangkah mengucapkan salam semacam itu? Bukankah Al-Quran telah memberikan contoh? Bukankah ada juga salam yang tertuju kepada Nuh , Ibrahim , Musa , Harun, keluarga Ilyas, serta para nabi lainnya? ( )

Quraish menjelaskan setiap Muslim harus percaya kepada Isa AS seperti penjelasan ayat di atas, juga harus percaya kepada Muhammad SAW, karena keduanya adalah hamba dan utusan Allah.

"Kita mohonkan curahan shalawat dan salam untuk mereka berdua sebagaimana kita mohonkan untuk seluruh nabi dan rasul," katanya.

"Tidak bolehkah kita merayakan hari lahir (natal) Isa AS?" lanjut Quraish. "Bukankah Nabi SAW juga merayakan hari keselamatan Musa AS dari gangguan Fir'aun dengan berpuasa ' Asyura , seraya bersabda, 'Kita lebih wajar merayakannya daripada orang Yahudi pengikut Musa AS'," jelasnya.

Bukankah, "Para Nabi bersaudara hanya ibunya yang berbeda?" seperti disabdakan Nabi Muhammad SAW? Bukankah seluruh umat bersaudara? Apa salahnya kita bergembira dan menyambut kegembiraan saudara kita dalam batas kemampuan kita, atau batas yang digariskan oleh anutan kita? "Demikian lebih kurang pandangan satu pendapat," ujarnya lagi.

Menurut Quraish, banyak persoalan yang berkaitan dengan kehidupan Al-Masih yang dijelaskan oleh sejarah atau agama dan telah disepakati, sehingga harus diterima. Tetapi, ada juga yang tidak dibenarkan atau diperselisihkan. Di sini, kita berhenti untuk merujuk kepercayaan kita.

Isa AS datang membawa kasih, "Kasihilah seterumu dan doakan yang menganiayamu." Muhammad SAW datang membawa rahmat, "Rahmatilah yang di dunia, niscaya yang di langit merahmatimu." Manusia adalah fokus ajaran keduanya; karena itu, keduanya bangga dengan kemanusiaan. ( )

Isa menunjuk dirinya sebagai "anak manusia," sedangkan Muhammad SAW diperintahkan oleh Allah untuk berkata: "Aku manusia seperti kamu."

Keduanya datang membebaskan manusia dari kemiskinan rohani, kebodohan, dan belenggu penindasan. Ketika orang-orang mengira bahwa anak Jairus yang sakit telah mati, Al-Masih yang menyembuhkannya meluruskan kekeliruan mereka dengan berkata, "Dia tidak mati, tetapi tidur."

Dan ketika terjadi gerhana pada hari wafatnya putra Muhammad, orang berkata: "Matahari mengalami gerhana karena kematiannya." Muhammad SAW lalu menegur, "Matahari tidak mengalami gerhana karena kematian atau kelahiran seorang." Keduanya datang membebaskan maanusia baik yang kecil, lemah dan tertindas -dhu'afa' dan al-mustadh'affin dalam istilah Al-Quran.

Quraish mengatakan, bukankah ini satu dari sekian titik temu antara Muhammad dan Al-Masih? Bukankah ini sebagian dari kandungan Kalimat Sawa' (Kata Sepakat) yang ditawarkan Al-Quran kepada penganut Kristen (dan Yahudi (QS 3:64)? Kalau demikian, apa salahnya mengucapkan selamat natal, selama akidah masih dapat dipelihara dan selama ucapan itu sejalan dengan apa yang dimaksud oleh Al-Quran sendiri yang telah mengabadikan selamat natal itu?

Itulah antara lain alasan yang membenarkan seorang Muslim mengucapkan selamat atau menghadiri upacara Natal yang bukan ritual. (Bersambung)
(mhy)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3455 seconds (0.1#10.140)