Sholat Jum’at Online Saat Darurat, Begini Pendapat Muhammadiyah
loading...
A
A
A
Kedua, sholat Jum‘at online tidak sesuai dengan tuntunan sholat Jum‘at, khususnya tentang kesatuan tempat secara hakiki (nyata), bukan virtual, ketersambungan jamaah, posisi imam dan makmum serta beberapa keutamaan shalat jamaah. Dalam shalat Jum‘at online, tentu kesatuan tempat secara hakiki (nyata) tidak tercapai, karena jamaah shalat Jum‘at online bisa berada di mana pun sesuai dengan keberadaan masing-masing jamaah. Ketersambungan jamaah juga tidak bisa dicapai karena jamaah ada di berbilang tempat dan lokasi. Demikian pula posisi imam dan makmum menjadi tidak jelas siapa yang di depan dan siapa yang di belakang serta tidak berlaku lagi ketentuan lurusnya shaf shalat.
Ketiga, rukhsah untuk ditinggalkannya sholat Jum‘at adalah diganti dengan shalat Zuhur. Hal ini, selain memang sudah diterangkan dalam hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam pada penjelasan di atas, mengambil shalat Zuhur sebagai rukhsah juga sebagai jalan memilih hal yang lebih mudah. Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam menuntunkan bahwa ketika memilih di antara dua perkara, maka dipilihlah yang paling mudah dilakukan, sebagaimana diriwayatkan dalam hadis berikut,
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِلَّا أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا [رواه البخاري].
Artinya: “Dari ‘Āisyah radhiyallahu anha (diriwayatkan) bahwa ia berkata, tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam memilih di antara dua perkara kecuali beliau mengambil yang paling mudah di antara keduanya, selama tidak ada dosa” [H.R. al-Bukhārī].
Shalat Jum‘at secara online sudah tentu menggunakan serangkaian perangkat untuk bisa dilaksanakan, baik perangkat untuk online berupa paket data internet, perangkat keras berupa laptop misalnya, perangkat lunak yang dalam hal ini menggunakan aplikasi telekonferensi video Zoom Clouds Meeting, maupun kebutuhan listrik untuk menghidupkan perangkat-perangkat tersebut. Oleh sebab itu, shalat Jum‘at online sangat bergantung pada ketersediaan perangkat-perangkat tersebut. Seandainya perangkat-perangkat yang digunakan mengalami masalah, apakah karena ada gangguan suplai listrik, gangguan sinyal dan lain sebagainya, maka pelaksanaan shalat menjadi terganggu atau bahkan batal dilaksanakan. Hal ini tentu menyulitkan bagi jamaah shalat Jum‘at online tersebut.
Kemajuan teknologi harus diakui sebagai berkah yang besar. Di bidang medis, kemajuan teknologi mampu menyelamatkan puluhan juta manusia untuk bertahan hidup. Di bidang komunikasi, orang dapat bertemu dan berkomunikasi di ruang virtual (maya). Tetapi teknologi jangan sampai melakukan mekanisasi terhadap kehidupan manusia, sehingga hidup manusia di bawah kendali mesin-mesin yang menyebabkan ruang pribadi dan ruang spiritual manusia menjadi kehilangan makna. Tidak semua kehidupan manusia dapat dimasuki oleh kemajuan teknologi.
Pada bidang ibadah, kemajuan teknologi harus dibatasi, karena ibadah merupakan komunikasi manusia dengan Tuhan secara langsung. Seandainya kemajuan teknologi masuk dalam bidang ibadah, misalnya azan, mengimami shalat atau berkhutbah dilakukan oleh robot, maka proses ibadah menjadi bukan lagi proses manusiawi, tetapi proses mekanisasi. Artinya, satu dimensi kehidupan manusia yang sangat penting sudah tergerus oleh mesin-mesin yang diciptakan manusia sendiri. Jadi, penerimaan kemajuan teknologi dalam bidang ibadah tetap harus dibatasi, termasuk dalam ibadah shalat Jum‘at ini, shalat dilakukan sebagaimana adanya.
Keempat, sungguh pun shalat Jum‘at online adalah masalah ijtihādī, namun secara realitas telah menimbulkan kontroversi di masyarakat. Oleh sebab itu, sesuatu hal yang menimbulkan kontroversi sebaiknya ditinggalkan, sebagaimana kaidah fikihiah berikut ini,
الخُرُوجُ مِنَ الْخِلَافِ مُسْتَحَبٌّ.
Artinya: “Keluar dari khilaf (kontroversi) itu disukai.”
Adapun jalan keluar yang paling ideal dari sebuah kontroversi adalah kembali kepada nas, yaitu rukhsah shalat Jum‘at yang tidak dapat dilaksanakan adalah diganti dengan shalat Zuhur. Hal ini mengacu pada al-Qur’an surah an-Nisā’: 59,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.(QS: an-Nisā’: 59)
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas, Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah berpandangan bahwa,
Shalat Jum‘at adalah ibadah maḥḍah yang wajib dilaksanakan sesuai ketentuan yang dituntunkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassallam. Segala sesuatu dalam ibadah maḥḍah yang dilakukan di luar tuntunan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassallam tidak dapat dibenarkan. Shalat Jum‘at hukumnya wajib dikerjakan, sehingga apabila terjadi suatu kondisi yang mengakibatkan tidak dapat terlaksananya shalat Jum‘at, maka kewajiban shalat Jum‘at menjadi gugur dan diganti dengan shalat Zuhur. Dalam keadaan darurat karena pandemi Covid-19 ini, jika hendak mendirikan shalat Jum‘at, maka dapat dilaksanakan secara terbatas di rumah atau tempat lainnya selain masjid atau dapat melaksanakan shalat Jum‘at di masjid secara bergantian (gelombang) dengan tetap menjaga protokol kesehatan secara sangat ketat.
Praktik shalat Jum‘at secara online, walaupun itu persoalan ijtihādī, namun ada ketentuan shalat Jum‘at yang tidak dapat tercapai dalam praktik shalat Jum‘at secara online, yaitu adanya kesatuan tempat secara hakiki (nyata), ketersambungan jamaah, pengaturan posisi imam dan makmum yang sesuai dengan ketentuan shalat jamaah (makmum berada di belakang imam) serta keutamaan-keutamaan shalat Jum‘at. Di samping itu, shalat Jum‘at yang dilakukan secara online justru lebih memberi kesulitan baru karena mengharuskan ketersediaan serangkaian perangkat online daripada menggantinya dengan shalat Zuhur.
Sejauh penelusuran terhadap berbagai literatur, Majelis Tarjih dan Tajdid belum menemukan dalil atau alasan yang kuat untuk mengganti shalat Jum‘at dengan shalat Jum‘at secara online. Oleh karena itu, dengan tanpa mengurangi rasa hormat terhadap pendapat yang berbeda, Majelis Tarjih dan Tajdid belum dapat menerima pelaksanaan sholat Jum‘at secara online
Dikutip dari Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid, Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan penyesuaian
Ketiga, rukhsah untuk ditinggalkannya sholat Jum‘at adalah diganti dengan shalat Zuhur. Hal ini, selain memang sudah diterangkan dalam hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam pada penjelasan di atas, mengambil shalat Zuhur sebagai rukhsah juga sebagai jalan memilih hal yang lebih mudah. Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam menuntunkan bahwa ketika memilih di antara dua perkara, maka dipilihlah yang paling mudah dilakukan, sebagaimana diriwayatkan dalam hadis berikut,
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِلَّا أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا [رواه البخاري].
Artinya: “Dari ‘Āisyah radhiyallahu anha (diriwayatkan) bahwa ia berkata, tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam memilih di antara dua perkara kecuali beliau mengambil yang paling mudah di antara keduanya, selama tidak ada dosa” [H.R. al-Bukhārī].
Shalat Jum‘at secara online sudah tentu menggunakan serangkaian perangkat untuk bisa dilaksanakan, baik perangkat untuk online berupa paket data internet, perangkat keras berupa laptop misalnya, perangkat lunak yang dalam hal ini menggunakan aplikasi telekonferensi video Zoom Clouds Meeting, maupun kebutuhan listrik untuk menghidupkan perangkat-perangkat tersebut. Oleh sebab itu, shalat Jum‘at online sangat bergantung pada ketersediaan perangkat-perangkat tersebut. Seandainya perangkat-perangkat yang digunakan mengalami masalah, apakah karena ada gangguan suplai listrik, gangguan sinyal dan lain sebagainya, maka pelaksanaan shalat menjadi terganggu atau bahkan batal dilaksanakan. Hal ini tentu menyulitkan bagi jamaah shalat Jum‘at online tersebut.
Kemajuan teknologi harus diakui sebagai berkah yang besar. Di bidang medis, kemajuan teknologi mampu menyelamatkan puluhan juta manusia untuk bertahan hidup. Di bidang komunikasi, orang dapat bertemu dan berkomunikasi di ruang virtual (maya). Tetapi teknologi jangan sampai melakukan mekanisasi terhadap kehidupan manusia, sehingga hidup manusia di bawah kendali mesin-mesin yang menyebabkan ruang pribadi dan ruang spiritual manusia menjadi kehilangan makna. Tidak semua kehidupan manusia dapat dimasuki oleh kemajuan teknologi.
Pada bidang ibadah, kemajuan teknologi harus dibatasi, karena ibadah merupakan komunikasi manusia dengan Tuhan secara langsung. Seandainya kemajuan teknologi masuk dalam bidang ibadah, misalnya azan, mengimami shalat atau berkhutbah dilakukan oleh robot, maka proses ibadah menjadi bukan lagi proses manusiawi, tetapi proses mekanisasi. Artinya, satu dimensi kehidupan manusia yang sangat penting sudah tergerus oleh mesin-mesin yang diciptakan manusia sendiri. Jadi, penerimaan kemajuan teknologi dalam bidang ibadah tetap harus dibatasi, termasuk dalam ibadah shalat Jum‘at ini, shalat dilakukan sebagaimana adanya.
Keempat, sungguh pun shalat Jum‘at online adalah masalah ijtihādī, namun secara realitas telah menimbulkan kontroversi di masyarakat. Oleh sebab itu, sesuatu hal yang menimbulkan kontroversi sebaiknya ditinggalkan, sebagaimana kaidah fikihiah berikut ini,
الخُرُوجُ مِنَ الْخِلَافِ مُسْتَحَبٌّ.
Artinya: “Keluar dari khilaf (kontroversi) itu disukai.”
Adapun jalan keluar yang paling ideal dari sebuah kontroversi adalah kembali kepada nas, yaitu rukhsah shalat Jum‘at yang tidak dapat dilaksanakan adalah diganti dengan shalat Zuhur. Hal ini mengacu pada al-Qur’an surah an-Nisā’: 59,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.(QS: an-Nisā’: 59)
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas, Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah berpandangan bahwa,
Shalat Jum‘at adalah ibadah maḥḍah yang wajib dilaksanakan sesuai ketentuan yang dituntunkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassallam. Segala sesuatu dalam ibadah maḥḍah yang dilakukan di luar tuntunan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassallam tidak dapat dibenarkan. Shalat Jum‘at hukumnya wajib dikerjakan, sehingga apabila terjadi suatu kondisi yang mengakibatkan tidak dapat terlaksananya shalat Jum‘at, maka kewajiban shalat Jum‘at menjadi gugur dan diganti dengan shalat Zuhur. Dalam keadaan darurat karena pandemi Covid-19 ini, jika hendak mendirikan shalat Jum‘at, maka dapat dilaksanakan secara terbatas di rumah atau tempat lainnya selain masjid atau dapat melaksanakan shalat Jum‘at di masjid secara bergantian (gelombang) dengan tetap menjaga protokol kesehatan secara sangat ketat.
Praktik shalat Jum‘at secara online, walaupun itu persoalan ijtihādī, namun ada ketentuan shalat Jum‘at yang tidak dapat tercapai dalam praktik shalat Jum‘at secara online, yaitu adanya kesatuan tempat secara hakiki (nyata), ketersambungan jamaah, pengaturan posisi imam dan makmum yang sesuai dengan ketentuan shalat jamaah (makmum berada di belakang imam) serta keutamaan-keutamaan shalat Jum‘at. Di samping itu, shalat Jum‘at yang dilakukan secara online justru lebih memberi kesulitan baru karena mengharuskan ketersediaan serangkaian perangkat online daripada menggantinya dengan shalat Zuhur.
Sejauh penelusuran terhadap berbagai literatur, Majelis Tarjih dan Tajdid belum menemukan dalil atau alasan yang kuat untuk mengganti shalat Jum‘at dengan shalat Jum‘at secara online. Oleh karena itu, dengan tanpa mengurangi rasa hormat terhadap pendapat yang berbeda, Majelis Tarjih dan Tajdid belum dapat menerima pelaksanaan sholat Jum‘at secara online
Dikutip dari Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid, Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan penyesuaian
(mhy)