Semua Makanan Pada Asalnya Halal, Makanan Haram Hanya 4?
loading...
A
A
A
ASAL hukum segala jenis makanan baik dari hewan, tumbuhan, laut maupun daratan adalah halal sampai ada dalil yang mengharamkannya. Allah berfirman:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ
Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu. {QS al-Baqarah (2):29}
Allah juga berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi. {QS al-Baqarah (2):168}
Al-Imam asy-Syafi‘i berkata: "Asal hukum makanan dan minuman adalah halal kecuali apa yang diharamkan oleh Allah dalam Qur’an-Nya atau melalui lisan Rasulullah SAW , karena apa yang diharamkan oleh Rasulullah sama halnya dengan pengharaman Allah.” (Al-Umm (2:213)
Tidak boleh seorang pun mengharamkan suatu makanan, kecuali berlandaskan dalil dari al-Quran dan hadis yang shahih. Apabila seseorang mengharamkan tanpa dalil maka dia telah membuat kedustaan terhadap Allah, Rabb alam semesta. Firman-Nya:
وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَٰذَا حَلَالٌ وَهَٰذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesung guhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan ter hadap Allah tiadalah beruntung. {QS an-Nahl (16):116}
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ ۚ قُلْ هِيَ لِلَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۗ كَذَٰلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari Kiamat.” Demikianlah Kami menjelaskan ayat ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui. {QS al-A‘rāf (7):32}
قُلْ أَرَأَيْتُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ رِزْقٍ فَجَعَلْتُمْ مِنْهُ حَرَامًا وَحَلَالًا قُلْ آللَّهُ أَذِنَ لَكُمْ ۖ أَمْ عَلَى اللَّهِ تَفْتَرُونَ
Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal.” Katakanlah: “Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah.” {QS Yūnus (10):59}
Hanya Empat?
Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As Sidawi dalam bukunya berjudul "Halal Haram Makanan" menyebut sebagian kalangan berpendapat bahwa makanan yang haram itu hanyalah empat saja, dengan berdalil firman Allah SWT:
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepada-Ku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi -karena sesungguhnya semua itu kotor- atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barang siapa dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” {QS al-An‘ām (6):145}
Namun, anggapan ini sangat lemah ditinjau dari beberapa segi berikut:
Pertama: Anggapan ini batil dengan kesepakatan ulama. Asy-Syaikh al-Allamah asy-Syinqithi mengatakan: “Ketahuilah bahwa anggapan tidak ada yang diharamkan selain hanya empat perkara yang tersebut dalam ayat ini merupakan anggapan batil dengan kesepakatan seluruh kaum muslimin, sebab seluruh kaum muslimin telah bersepakat dengan bimbingan al-Qur’an dan hadis akan haramnya khamar. Hal ini merupakan dalil yang kuat akan haramnya selain empat perkara yang tersebut dalam ayat ini. Barang siapa mengatakan bahwa khamar hukumnya halal berdasarkan ayat ini maka dia kafir tanpa perselisihan di kalangan ulama.” (Adhwā’ul-Bayān (2:221)
Al-Imam al-Qurthubi juga berkata: “Hal yang menguatkan pendapat ini adalah ijmā‘ (kesepakatan ulama) akan haramnya makan kotoran, kencing, binatang-binatang menjijikkan, dan khamar padahal semua itu tidak tersebut dalam ayat ini.”
Kedua: Tidak ada kontradiksi antara ayat dengan hadis. Terdapat beragam jawaban para ulama dalam menjawab ayat di atas, tetapi yang terbagus bahwa pada saat turunnya ayat tersebut memang hanya empat perkara tersebut yang diharamkan, tetapi hal ini tidak menutup kemungkinan adanya pengharaman setelahnya yang harus diterima.
Berikut ini komentar para ulama yang menguatkan jawaban ini:
Ibnu ‘Abdil-Barr berkata: “Mayoritas ahli ilmu dari ahli hadis dan selainnya mengatakan bahwa ayat ini adalah muhkam tidak terhapus hukumnya. Dan setiap yang diharamkan oleh Rasulullah SAW ditambahkan padanya, karena itu adalah tambahan hukum dari Allah melalui lisan Rasul-Nya, sedangkan tidak ada bedanya antara apa yang diharamkan Allah dalam kitab-Nya dan apa yang Dia haramkan melalui lisan Rasul-Nya, berdasarkan firman Allah:
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ ۖ وَمَنْ تَوَلَّىٰ فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا
Barang siapa menaati Rasul maka sesungguhnya ia telah menaati Allah. {QS an-Nisā’ (4):80}
وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَىٰ فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ ۚ
Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan al-Hikmah. {QS al-Ahzāb (33):34}
Ahli ilmu mengatakan yakni al-Qur’an dan as-Sunnah. Dalam ayat ini tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa perkara haram hanya terbatas pada empat perkara tersebut saja; yang ada hanyalah perintah Allah kepada Rasul-Nya agar beliau mengabarkan kepada para hamba-Nya bahwa beliau tidak menjumpai dalam al-Qur’an makanan atau minuman yang ditegaskan keharamannya kecuali apa yang tersebut dalam ayat ini.
Hal ini tidak menutup kemungkinan kalau Allah mengharamkan dalam kitab-Nya setelah itu atau melalui lisan Rasul-Nya perkara-perkara lain selain yang tersebut dalam ayat ini…” [At-Tamhīd (1:145–146)]
An-Nawawi berkata: “Para sahabat kami (Syafi’iyah) berdalil dengan hadis-hadis ini seraya mengatakan: Ayat di atas hanyalah menunjukkan bahwa beliau tidak mendapati waktu itu sesuatu yang diharamkan kecuali hanya empat perkara tersebut, kemudian setelah itu diwahyukan kepada beliau haramnya binatang buas yang bertaring, sehingga wajib diterima dan diamalkan konsekuensinya.” [Syarh Shahīh Muslim (3:82–83)]
Asy-Syinqithi berkata: “Pendapat terkuat yang didukung oleh dalil adalah pendapat mayoritas ulama yang menyatakan bahwa setiap perkara yang ditegaskan keharamannya berlandaskan al-Qur’an dan as-Sunnah maka hukumnya adalah haram yang ditambahkan pada empat perkara tersebut.
Hal ini tidak bertentangan sama sekali dengan al-Qur’an, karena perkara-perkara haram ini ditambahkan pada empat perkara tersebut setelahnya.”
Beliau melanjutkan penjelasannya: “Sewaktu turunnya ayat tersebut, tidak ada yang diharamkan kecuali empat perkara saja. Namun, apabila muncul pengharaman baru lainnya maka hal itu tidaklah bertentangan dengan pembatasan pertama karena yang ini datang setelahnya. Inilah pendapat terkuat dalam masalah ini Insyaallah.” [Adhwā’ul-Bayān (2:224). Lihat pula ar-Risālah al-Imam asy-Syafi‘i (hlm. 206–208), al-Qawā‘id an-Nūranīyah Ibnu Taimiyah (hlm. 23–25), Zādul-Ma‘ād Ibnul-Qayyim (3:304), Nailul-Authār (10:42) dan Fathul-Qadīr (2:172) asy Syaukani, Subulus-Salām ash-Shan‘ani (7:279)].
Ketiga: Berdalil dengan ayat ini bisa dikatakan benar dalam hal-hal yang belum ditegaskan keharamannya dalam al Qur’an dan hadits, sedangkan binatang buas telah shahih dalil yang menegaskan keharamannya. Maka ketegasan ini harus lebih didahulukan daripada keumuman ayat di atas. [Fathul-Bārī Ibnu Hajar (9:655), Nailul-Authār asy-Syaukani (8:118) 16 Taisīr Karīm Rahmān, as-Sa‘di (1:228)]
Keempat: Ayat ini mencakup seluruh makanan yang di haramkan, sebagiannya dengan ketegasan nash, dan sebagiannya secara makna dan keumuman lafazh. Sebab, dalam ayat tersebut Allah menegaskan bahwa Dia mengharamkan hal-hal tersebut karena barang-barang tersebut adalah “kotor”.
Hal ini merupakan sifat yang mencakup seluruh perkara haram, sebab semua yang haram itu adalah kotor yang diharamkan oleh Allah kepada hamba-Nya sebagai penjagaan dan kemuliaan bagi mereka. Adapun perincian perkara yang haram diambil dari hadis, karena hadis merupakan penjelas al-Qur’an.
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ
Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu. {QS al-Baqarah (2):29}
Allah juga berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi. {QS al-Baqarah (2):168}
Al-Imam asy-Syafi‘i berkata: "Asal hukum makanan dan minuman adalah halal kecuali apa yang diharamkan oleh Allah dalam Qur’an-Nya atau melalui lisan Rasulullah SAW , karena apa yang diharamkan oleh Rasulullah sama halnya dengan pengharaman Allah.” (Al-Umm (2:213)
Tidak boleh seorang pun mengharamkan suatu makanan, kecuali berlandaskan dalil dari al-Quran dan hadis yang shahih. Apabila seseorang mengharamkan tanpa dalil maka dia telah membuat kedustaan terhadap Allah, Rabb alam semesta. Firman-Nya:
وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَٰذَا حَلَالٌ وَهَٰذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesung guhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan ter hadap Allah tiadalah beruntung. {QS an-Nahl (16):116}
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ ۚ قُلْ هِيَ لِلَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۗ كَذَٰلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari Kiamat.” Demikianlah Kami menjelaskan ayat ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui. {QS al-A‘rāf (7):32}
قُلْ أَرَأَيْتُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ رِزْقٍ فَجَعَلْتُمْ مِنْهُ حَرَامًا وَحَلَالًا قُلْ آللَّهُ أَذِنَ لَكُمْ ۖ أَمْ عَلَى اللَّهِ تَفْتَرُونَ
Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal.” Katakanlah: “Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah.” {QS Yūnus (10):59}
Hanya Empat?
Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As Sidawi dalam bukunya berjudul "Halal Haram Makanan" menyebut sebagian kalangan berpendapat bahwa makanan yang haram itu hanyalah empat saja, dengan berdalil firman Allah SWT:
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepada-Ku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi -karena sesungguhnya semua itu kotor- atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barang siapa dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” {QS al-An‘ām (6):145}
Namun, anggapan ini sangat lemah ditinjau dari beberapa segi berikut:
Pertama: Anggapan ini batil dengan kesepakatan ulama. Asy-Syaikh al-Allamah asy-Syinqithi mengatakan: “Ketahuilah bahwa anggapan tidak ada yang diharamkan selain hanya empat perkara yang tersebut dalam ayat ini merupakan anggapan batil dengan kesepakatan seluruh kaum muslimin, sebab seluruh kaum muslimin telah bersepakat dengan bimbingan al-Qur’an dan hadis akan haramnya khamar. Hal ini merupakan dalil yang kuat akan haramnya selain empat perkara yang tersebut dalam ayat ini. Barang siapa mengatakan bahwa khamar hukumnya halal berdasarkan ayat ini maka dia kafir tanpa perselisihan di kalangan ulama.” (Adhwā’ul-Bayān (2:221)
Al-Imam al-Qurthubi juga berkata: “Hal yang menguatkan pendapat ini adalah ijmā‘ (kesepakatan ulama) akan haramnya makan kotoran, kencing, binatang-binatang menjijikkan, dan khamar padahal semua itu tidak tersebut dalam ayat ini.”
Kedua: Tidak ada kontradiksi antara ayat dengan hadis. Terdapat beragam jawaban para ulama dalam menjawab ayat di atas, tetapi yang terbagus bahwa pada saat turunnya ayat tersebut memang hanya empat perkara tersebut yang diharamkan, tetapi hal ini tidak menutup kemungkinan adanya pengharaman setelahnya yang harus diterima.
Berikut ini komentar para ulama yang menguatkan jawaban ini:
Ibnu ‘Abdil-Barr berkata: “Mayoritas ahli ilmu dari ahli hadis dan selainnya mengatakan bahwa ayat ini adalah muhkam tidak terhapus hukumnya. Dan setiap yang diharamkan oleh Rasulullah SAW ditambahkan padanya, karena itu adalah tambahan hukum dari Allah melalui lisan Rasul-Nya, sedangkan tidak ada bedanya antara apa yang diharamkan Allah dalam kitab-Nya dan apa yang Dia haramkan melalui lisan Rasul-Nya, berdasarkan firman Allah:
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ ۖ وَمَنْ تَوَلَّىٰ فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا
Barang siapa menaati Rasul maka sesungguhnya ia telah menaati Allah. {QS an-Nisā’ (4):80}
وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَىٰ فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ ۚ
Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan al-Hikmah. {QS al-Ahzāb (33):34}
Ahli ilmu mengatakan yakni al-Qur’an dan as-Sunnah. Dalam ayat ini tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa perkara haram hanya terbatas pada empat perkara tersebut saja; yang ada hanyalah perintah Allah kepada Rasul-Nya agar beliau mengabarkan kepada para hamba-Nya bahwa beliau tidak menjumpai dalam al-Qur’an makanan atau minuman yang ditegaskan keharamannya kecuali apa yang tersebut dalam ayat ini.
Hal ini tidak menutup kemungkinan kalau Allah mengharamkan dalam kitab-Nya setelah itu atau melalui lisan Rasul-Nya perkara-perkara lain selain yang tersebut dalam ayat ini…” [At-Tamhīd (1:145–146)]
An-Nawawi berkata: “Para sahabat kami (Syafi’iyah) berdalil dengan hadis-hadis ini seraya mengatakan: Ayat di atas hanyalah menunjukkan bahwa beliau tidak mendapati waktu itu sesuatu yang diharamkan kecuali hanya empat perkara tersebut, kemudian setelah itu diwahyukan kepada beliau haramnya binatang buas yang bertaring, sehingga wajib diterima dan diamalkan konsekuensinya.” [Syarh Shahīh Muslim (3:82–83)]
Asy-Syinqithi berkata: “Pendapat terkuat yang didukung oleh dalil adalah pendapat mayoritas ulama yang menyatakan bahwa setiap perkara yang ditegaskan keharamannya berlandaskan al-Qur’an dan as-Sunnah maka hukumnya adalah haram yang ditambahkan pada empat perkara tersebut.
Hal ini tidak bertentangan sama sekali dengan al-Qur’an, karena perkara-perkara haram ini ditambahkan pada empat perkara tersebut setelahnya.”
Beliau melanjutkan penjelasannya: “Sewaktu turunnya ayat tersebut, tidak ada yang diharamkan kecuali empat perkara saja. Namun, apabila muncul pengharaman baru lainnya maka hal itu tidaklah bertentangan dengan pembatasan pertama karena yang ini datang setelahnya. Inilah pendapat terkuat dalam masalah ini Insyaallah.” [Adhwā’ul-Bayān (2:224). Lihat pula ar-Risālah al-Imam asy-Syafi‘i (hlm. 206–208), al-Qawā‘id an-Nūranīyah Ibnu Taimiyah (hlm. 23–25), Zādul-Ma‘ād Ibnul-Qayyim (3:304), Nailul-Authār (10:42) dan Fathul-Qadīr (2:172) asy Syaukani, Subulus-Salām ash-Shan‘ani (7:279)].
Ketiga: Berdalil dengan ayat ini bisa dikatakan benar dalam hal-hal yang belum ditegaskan keharamannya dalam al Qur’an dan hadits, sedangkan binatang buas telah shahih dalil yang menegaskan keharamannya. Maka ketegasan ini harus lebih didahulukan daripada keumuman ayat di atas. [Fathul-Bārī Ibnu Hajar (9:655), Nailul-Authār asy-Syaukani (8:118) 16 Taisīr Karīm Rahmān, as-Sa‘di (1:228)]
Keempat: Ayat ini mencakup seluruh makanan yang di haramkan, sebagiannya dengan ketegasan nash, dan sebagiannya secara makna dan keumuman lafazh. Sebab, dalam ayat tersebut Allah menegaskan bahwa Dia mengharamkan hal-hal tersebut karena barang-barang tersebut adalah “kotor”.
Hal ini merupakan sifat yang mencakup seluruh perkara haram, sebab semua yang haram itu adalah kotor yang diharamkan oleh Allah kepada hamba-Nya sebagai penjagaan dan kemuliaan bagi mereka. Adapun perincian perkara yang haram diambil dari hadis, karena hadis merupakan penjelas al-Qur’an.
(mhy)