Akhir Kisah Perdebatan Sengit Imam Syafi’i dan Imam Sufyan ats-Tsauri
loading...
A
A
A
SUATU ketika, Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i dan Imam Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri dipertemukan dalam perdebatan yang sangat sengit. Keduanya sama-sama mempertahankan pendapat masing-masing disertai argumentasi yang kuat. Mereka berselisih tentang kulit bangkai yang bisa suci dengan disamak.
Menurut Imam asy-Syafi’i, kulit bangkai selamanya tidak dapat disucikan dengan cara disamak. Ia berdalil, dahulu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menulis surat kepada sahabat Juhainah yang isinya tentang larangan memanfaatkan kulit dan urat bangkai. Hal ini sebagaimana termaktub dalam kitab Tuhfah at-Thâlib bi Ma’rifati Mukhtashar Ibnu Hâjib (hal. 200), buah karya Imam Ibnu Katsir. Berikut redaksinya:
إنّي كنتُ رخّصتُ لكم في جلود الميتة فإذا جاءكم كتابي هذا فلا تنتفعوا من الميتة بإيهاب ولا عصب
Artinya, “Sungguh, aku memang telah beri dispensasi kepada kalian tentang kulit-kulit bangkai (yang suci dengan disamak). Maka, ketika suratku ini telah kalian terima, maka jangan sekali-kali memanfaatkan kulit dan urat bangkai lagi,” (HR Abu Daud dan Ahmad).
Imam Sufyan ats-Tsauri justru berpendapat sebaliknya. Menurutnya, kulit bangkai bisa suci dengan cara disamak dengan dalil Hadis riwayat Abdullah bin Abbas radliyallahu ‘anh tentang bangkai seekor kambing sedekah yang diberikan kepada seorang mantan budak Maimunah.
Saat itu, secara tidak sengaja Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertemu dengan para sahabatnya yang hendak membuang bangkai kambing tersebut.
Nabi bersabda:
هلاّ أخذتم إهابها فدبغتموه فانتفعتم به؟ فقالوا: إنها ميتة. فقال: إنما حرم أكلها
Artinya, “Mengapa tidak kalian ambil kulitnya, lalu menyamaknya sehingga bisa dimanfaatkan? Para sahabat menjawab, ‘Ini sudah jadi bangkai’. Lalu, nabi bersabda, ‘Bangkai itu hanya haram dimakan’,” (HR Muslim).
Singkatnya, Imam asy-Syafi’i dan Sufyan ats-Tsauri tetap kokoh dengan pendapatnya masing-masing. Namun menariknya, setelah lama merenung kembali, Imam asy-Syafi’i malah menarik pendapatnya dan lebih memilih pendapat Imam Sufyan ats-Tsauri.
Demikian halnya Imam Sufyan, secara bersamaan juga menarik pendapatnya dan berpindah kepada pendapat asy-Syafi’i yang pertama.
Oleh karena itu, sampai saat ini, dalam kitab-kitab fiqih mazhab Syafi’i pasti ada pembahasan seputar kebolehan menyamak kulit bangkai dan memanfaatkannya.
Hukum ini berawal dari perdebatan sengitnya dengan Imam Sufyan. Kisah bersejarah ini disadur dari kitab Syarh al-Yâqût an-Nafîs fi Madzhab Ibni Idris (hal. 63) karya habib Muhammad bin Ahmad bin Umar Asy-Syathiriy.
Adapun mutiara hikmah yang dapat kita teladani dari kisah inspiratif ini, bahwa dalam kaca mata para ulama terdahulu, tak sedikit pun noda fanatisme yang berlebihan dan intoleransi, apalagi hanya urusan berbeda pendapat. Tentu nyaris tak ditemukan.
Jadi, dalam persoalan mencari kebenaran (ittibâ’ul haqq) para ulama as-salaf as-shâlih benar-benar membuka diri untuk menerima kebenaran, kapanpun dan dari manapun datangnya. Wallahu a’lam.
Menurut Imam asy-Syafi’i, kulit bangkai selamanya tidak dapat disucikan dengan cara disamak. Ia berdalil, dahulu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menulis surat kepada sahabat Juhainah yang isinya tentang larangan memanfaatkan kulit dan urat bangkai. Hal ini sebagaimana termaktub dalam kitab Tuhfah at-Thâlib bi Ma’rifati Mukhtashar Ibnu Hâjib (hal. 200), buah karya Imam Ibnu Katsir. Berikut redaksinya:
إنّي كنتُ رخّصتُ لكم في جلود الميتة فإذا جاءكم كتابي هذا فلا تنتفعوا من الميتة بإيهاب ولا عصب
Artinya, “Sungguh, aku memang telah beri dispensasi kepada kalian tentang kulit-kulit bangkai (yang suci dengan disamak). Maka, ketika suratku ini telah kalian terima, maka jangan sekali-kali memanfaatkan kulit dan urat bangkai lagi,” (HR Abu Daud dan Ahmad).
Imam Sufyan ats-Tsauri justru berpendapat sebaliknya. Menurutnya, kulit bangkai bisa suci dengan cara disamak dengan dalil Hadis riwayat Abdullah bin Abbas radliyallahu ‘anh tentang bangkai seekor kambing sedekah yang diberikan kepada seorang mantan budak Maimunah.
Saat itu, secara tidak sengaja Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertemu dengan para sahabatnya yang hendak membuang bangkai kambing tersebut.
Nabi bersabda:
هلاّ أخذتم إهابها فدبغتموه فانتفعتم به؟ فقالوا: إنها ميتة. فقال: إنما حرم أكلها
Artinya, “Mengapa tidak kalian ambil kulitnya, lalu menyamaknya sehingga bisa dimanfaatkan? Para sahabat menjawab, ‘Ini sudah jadi bangkai’. Lalu, nabi bersabda, ‘Bangkai itu hanya haram dimakan’,” (HR Muslim).
Singkatnya, Imam asy-Syafi’i dan Sufyan ats-Tsauri tetap kokoh dengan pendapatnya masing-masing. Namun menariknya, setelah lama merenung kembali, Imam asy-Syafi’i malah menarik pendapatnya dan lebih memilih pendapat Imam Sufyan ats-Tsauri.
Demikian halnya Imam Sufyan, secara bersamaan juga menarik pendapatnya dan berpindah kepada pendapat asy-Syafi’i yang pertama.
Oleh karena itu, sampai saat ini, dalam kitab-kitab fiqih mazhab Syafi’i pasti ada pembahasan seputar kebolehan menyamak kulit bangkai dan memanfaatkannya.
Hukum ini berawal dari perdebatan sengitnya dengan Imam Sufyan. Kisah bersejarah ini disadur dari kitab Syarh al-Yâqût an-Nafîs fi Madzhab Ibni Idris (hal. 63) karya habib Muhammad bin Ahmad bin Umar Asy-Syathiriy.
Adapun mutiara hikmah yang dapat kita teladani dari kisah inspiratif ini, bahwa dalam kaca mata para ulama terdahulu, tak sedikit pun noda fanatisme yang berlebihan dan intoleransi, apalagi hanya urusan berbeda pendapat. Tentu nyaris tak ditemukan.
Jadi, dalam persoalan mencari kebenaran (ittibâ’ul haqq) para ulama as-salaf as-shâlih benar-benar membuka diri untuk menerima kebenaran, kapanpun dan dari manapun datangnya. Wallahu a’lam.
(mhy)