Renungan: Membunuh dengan Lidah, Belajar dari Kodok Budeg

Jum'at, 16 April 2021 - 05:00 WIB
loading...
Renungan: Membunuh dengan Lidah, Belajar dari Kodok Budeg
Ilustrasi/Ist
A A A
MALAM ini, hari keempat Ramadhan , seorang lelaki datang kepada rekan yang ia hormati dengan wajah lusuh. Ia mengeluh karena banyak dipersalahkan teman-temannya. Ia merasa inferior dan mengutuk dirinya karena seperti tak berguna. Apa sebab? Semua yang dilakukan dianggap salah oleh teman-teman. Ia merasa terpojok dan memutuskan untuk pergi dari mereka.



Sang rekan pun mendengar keluhannya, kendati ditilik dari wajahnya ia terlihat agak lelah setelah menghadapi rutinitas siang tadi. Jakarta yang tak pernah sepi dari macet membuat penghuninya dilanda stres.

Begitulah. Betapa banyak orang stres di sekitar kita sehingga setiap kalimat yang akan kita ucapkan mesti disaring agar tidak menyinggung perasaaan orang lain. Kata-kata harus kita hemat dan harus kita keluarkan jika benar-benar memiliki manfaat bagi orang lain, termasuk teman-teman kita sendiri.

Bukankah Rasulullah juga bersabda. “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia berkata yang baik atau diam”

Maksud hadis ini tentu apabila seseorang hendak berkata hendaklah ia berpikir terlebih dahulu. Jika diperkirakan perkataannya tidak akan membawa mudharat, maka berbicaralah. Akan tetapi, jika diperkirakan perkataannya itu akan membawa mudharat atau ragu apakah membawa mudharat atau tidak, maka hendaknya diam.

Sebagian ulama berkata, “Seandainya kalian yang membelikan kertas untuk para malaikat yang mencatat amal kalian, niscaya kalian akan lebih banyak diam daripada berbicara”.



Nasihat Imam Abu Hatim Ibnu Hibban Al-Busti rasanya juga menjadi sangat relevan. “Orang yang berakal selayaknya lebih banyak diam daripada bicara. Hal itu karena betapa banyak orang yang menyesal karena bicara, dan sedikit yang menyesal karena diam. Orang yang paling celaka dan paling besar mendapat bagian musibah adalah orang yang lisannya senantiasa berbicara, sedangkan pikirannya tidak mau jalan.”

Orang yang berakal seharusnya lebih banyak mempergunakan kedua telinganya daripada mulutnya. Dia perlu menyadari bahwa dia diberi telinga dua buah, sedangkan diberi mulut hanya satu adalah supaya dia lebih banyak mendengar daripada berbicara.

Seringkali orang menyesal di kemudian hari karena perkataan yang diucapkannya, sementara diamnya tidak akan pernah membawa penyesalan. Dan menarik diri dari perkataan yang belum diucapkan adalah lebih mudah dari pada menarik perkataan yang telah terlanjur diucapkan.

Hal itu karena biasanya apabila seseorang tengah berbicara maka perkataan-perkataannya akan menguasai dirinya.

Sebaliknya, bila tidak sedang berbicara maka dia akan mampu mengontrol perkataan-perkataannya.

“Lisan seorang yang berakal berada di bawah kendali hatinya. Ketika dia hendak berbicara, maka dia akan bertanya terlebih dahulu kepada hatinya. Apabila perkataan tersebut bermanfaat bagi dirinya, maka dia akan bebicara, tetapi apabila tidak bermanfaat, maka dia akan diam. Adapun orang yang bodoh, hatinya berada di bawah kendali lisannya. Dia akan berbicara apa saja yang ingin diucapkan oleh lisannya. Seseorang yang tidak bisa menjaga lidahnya berarti tidak paham terhadap agamanya,” tutur Imam Abu Hatim.



Lelaki yang datang dengan membawa setumpuk keluhan itu adalah korban teman-temannya yang banyak bicara dan sembrono. Sang rekan mendengar dengan cermat tumpahan itu.

Lalu ia bercerita tentang sekelompok kodok. Rombongan katak atau kodok itu bepergian melewati hutan, tiba-tiba dua ekor kodok jatuh terjebak dalam lubang yang dalam. Kodok yang selamat berkumpul di sekitar lubang. Ketika mereka melihat ke dalam lubang, mereka mengatakan kepada kodok malang itu bahwa sulit untuk selamat.

Mustahil bagi mereka untuk dapat keluar dari lubang yang dalam itu. Kedua kodok mengabaikan komentar teman-temannya dan mencoba melompat dari lubang.

Katak-katak lainnya mengatakan kepada mereka untuk menghentikan usaha yang sia-sia itu. Seekor kodok mendengarkan apa dikatakan kodok lain itu. Ia menyerah, lalu jatuh dan mati.

Tapi ada satu kodok yang terus berjuang melompat sekuat tenaga. Sekali lagi, kerumunan kodok berteriak padanya untuk menghentikan rasa sakit dan penderitaan seperti itu. Tapi dia tetap melompat bahkan lebih keras dan keras lagi hingga akhirnya ia berhasil keluar.

Ketika ia lolos dari lubang maut itu katak-katak lain bertanya, "Kenapa kau terus melompat? Apa kau tidak mendengar kami?"

Kodok itu bilang bahwa dirinya tuli. Ia pikir para kodok itu memberikan support agar ia terus berjuang sepanjang waktu.



"Kisah ini memberikan pembelajaran bahwa ada kekuatan kehidupan dan kematian di lidah. Sebuah kata yang membesarkan hati seseorang yang sedang down bisa mengangkat mereka dan membantu mereka melewati kesulitannya."

Sebaliknya, ujar rekan itu, kata yang destruktif kepada seseorang yang tengah mengalami masalah, dapat membunuh mereka. Jadi berhati-hatilah dengan apa yang kita katakan.

Kekuatan kata-kata kadang-kadang memang sulit untuk dipahami. Bahwa sebuah kata bisa memberi motivasi kepada seseorang akan tetapi juga dapat mendorong orang frustasi. Dan sungguh mudah berbicara dengan kata-kata yang merampok semangat orang di masa-masa sulit seperti ini.

"Jadilah kodok budeg, sehingga tak perlu bunuh diri," ujar sang rekan dengan suara rendah.

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1643 seconds (0.1#10.140)