Berwisata dan Ketakwaan

Minggu, 23 Mei 2021 - 16:45 WIB
loading...
Berwisata dan Ketakwaan
Berwisata dengan tujuan untuk tadabbur alam, yakni merenungkan keindahan alam ciptaan Allah SWT sangat diperbolehkan, karena dapat menguatkan keimanan kepada Allah dan memotivasi kita untuk memperbanyak ibadah kepada-Nya. Foto ilustrasi/flickr.com
A A A
Pasca Ramadhan , agenda wisata selalu ada dalam kalender kaum muslim yang telah menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh ini. Beragam wisata bisa dipilih, wisata ke lokasi terdekat, berkunjung ke kerabat atau sengaja bersafar ke tempat wisata yang jauh sekalian. Sayangnya, berwisata ini justru membuat kaum muslim banyak terjebak dalam aktivitas keharaman lagi.



Bisa kita lihat banyaknya orang yang berkerumun, bercampur lelaki dan perempuan, membuka aurat di tempat-tempat umum , bersolek, berpacaran, meminum khamr, dan lain sebagainya. Belum lagi berkaitan dengan perintah Allah yang juga banyak terabaikan seperti shalat lima waktu, mengingat banyak sekali tempat wisata di negeri ini yang sangat minim fasilitas termasuk fasilitas toilet dan air bersih untuk berwudhu.

Ada beberapa tempat yang cukup bagus fasilitasnya, tapi jumlah yang menyediakan yang demikian itu bisa dihitung dengan jari. Tidak heran, banyak di antara pengunjung wisata yang meremehkan shalat karena dianggap menyulitkan, sehingga shalat pun ditunda dan akhirnya tak tertunaikan.



Sebenarnya bagaimana Islam memandang tentang berwisata ini? Kata wisata menurut bahasa mengandung arti yang banyak. Akan tetapi dalam istilah yang dikenal sekarang lebih dikhususkan pada sebagian makna saja yakni, yang menunjukkan berjalan-jalan ke suatu tempat untuk rekreasi atau untuk melihat-lihat, mencari dan menyaksikan (sesuatu) atau semisal itu. Bukan untuk mengais (rezki), bekerja dan menetap. (Lihat kitab Al-Mu’jam Al-Wasith, 469).

Jadi, adakah wisata dalam Islam? Diriwayatkan oleh Ibnu Hani dari Ahmad bin Hanbal, beliau ditanya tentang seseorang yang bepergian atau bermukim di suatu kota, mana yang lebih anda sukai? Beliau menjawab: "Wisata tidak ada sedikit pun dalam Islam, tidak juga prilaku para nabi dan orang-orang saleh." (Talbis Iblis, 340).



Ibnu Rajab dalam kitab Fathul Bari, mengomentari perkataan Imam Ahmad dengan mengatakan: "Wisata dengan pemahaman ini telah dilakukan oleh sekelompok orang yang dikenal suka beribadah dan bersungguh-sungguh tanpa didasari ilmu. Di antara mereka ada yang kembali ketika mengetahui hal itu." (Fathul-Bari, karangan Ibnu Rajab, 1/56)

Kamudian Islam datang untuk meninggikan pemahaman wisata dengan mengaitkannya dengan tujuan-tujuan yang mulia. Dikutip dari berbagai sumber, berikut tujuan-tujuan mulia wisata tersebut:

1. Tujuan mulia untuk beribadah.

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya wisatanya umatku adalah berjihad di jalan Allah.” (HR Abu Daud, dinyatakan hasan oleh Al-Albany dalam Shahih Abu Daud dan dikuatkan sanadnya oleh Al-Iraqi dalam kitab Takhrij Ihya Ulumuddin).



Rasulullah mengaitkan wisata dengan tujuan yang agung dan mulia, yaitu untuk berjihad sebagai bagian dari beribadah kepada Allah Subhanahu wa ta'ala.

2. Tujuan mulia untuk mendapatkan ilmu dan pengetahuan.

Pada permulaan Islam, telah ada perjalanan sangat agung dengan tujuan mencari ilmu dan menyebarkannya. Sampai Al-Khatib al-Baghdady menulis kitab yang terkenal Ar-Rihlah Fi Thalabil Hadits, di dalamnya beliau mengumpulkan kisah orang yang melakukan perjalanan hanya untuk mendapatkan dan mencari satu hadis saja. Maka, kita pun bisa berwisata dengan tujuan untuk menuntut ilmu.

3. Tujuan wisata untuk berdakwah, menyampaikan kebenaran Islam

Itulah tugas para Nabi dan Rasul, dan dilanjutkan para sahabatnya yang telah menyebar ke berbagai penjuru dunia untuk mengajarkan Islam kepada manusia. Maka, tugas itu pun dilanjutkan oleh umat-umat setelahnya.



4. Tujuan wisata untuk tadabbur alam, merenungkan keindahan alam ciptaan Allah SWT
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2656 seconds (0.1#10.140)