Cemburu Berat Istri-Istri Nabi dengan Mariyah al-Qibthiyah

Senin, 25 Mei 2020 - 15:16 WIB
loading...
Cemburu Berat Istri-Istri Nabi dengan Mariyah al-Qibthiyah
Setelah kematian anaknya, Ibrahim, dan Rasulullah, beliau menghabiskan hidupnya dengan beribadah. Ilustrasi/Ist
A A A
Mariyah Al-Qibthiyah binti Syam'um sering juga disebut Maria, merupakan budak dari Mesir. Menurut Imam al-Baladziri, ibunda Mariyah adalah keturunan bangsa Romawi. Mariyah mewarisi kecantikan ibunya sehingga memiliki kulit yang putih, berparas cantik, berpengetahuan luas, dan berambut ikal.

Mariyah terlahir dari seorang ayah berdarah Qibti dan ibu beragama Nasrani dari Romawi. Beliau lahir di sebuah desa yang jauh di Mesir, yaitu Hafn.

Pada awal usia remajanya, Raja Qibti al-Muqauqis telah meminangnya bersama saudarinya, Sirin. Mariyah dan saudarinya pun berpindah ke Istana untuk menjadi seorang pelayan raja dan selalu ada di sisi raja.

Pada suatu ketika Rasulullah saw mengirim utusan, Hathib bin Abi Balta'ah untuk menyampaikan sepucuk surat kepada Raja Qibti al-Muqauqis yang berisi ajakan untuk memeluk Islam. ( )

Raja menolak ajakan ini namun mengirim hadiah kepada Nabi. Hadiah itu antara lain budak bernama Mariyah, Sirin dan Maburi serta hadiah kerajinan dari Mesir. Selain itu, raja tersebut juga memberikan hadiah keledai dan kuda putih.

Hingga Hatib kembali kepada Rasulullah dengan oleh-oleh hadiah dari raja tersebut. Tapi dalam perjalanan, Hatib merasakan kesedihan pada diri Mariyah karena harus meninggalkan kampung halamannya. Hatib kemudian menghiburnya selama perjalanan dengan menceritakan sosok Rasulullah dan Islam. Pada saat itu, Mariyah diajak untuk memeluk Islam dan ia menerimanya.

Menurut Buku Biografi 39 Tokoh Wanita Pengukir Sejarah Islam, selanjutnya Rasulullah mengambil Mariyah untuk dirinya. Sementara, Sirin diberikan kepada Hasan bin Tsabit.

Kecemburuan segera membakar hati para istri Rasulullah ketika berita kedatangan Mariyah terdengar dalam rumah tangga Nabi, terutama Sayyidah Aisyah. Musababnya, Rasulullah sudah memperistri Mariyah.

Rasulullah saw menyadari apa yang terjadi antara Aisyah dan para istri nya yang cemburu kepada Mariyah, sehingga Mariyah dipindahkan ke al-Aliyah, sejauh 3 mil dari Madinah , di sanalah Mariyah menetap.



Setahun di Madinah, Allah menghendaki perempuan yang sopan dan ramah ini hamil. Suatu malam Mariyah menceritakan kepada Rasulullah bahwa ia telah mengandung. Beliau pun menerima kabar itu dengan memuji dan bersyukur kepada Allah. Berita tersebut langsung tersebar di Madinah dan semua menanti kabar gembira tersebut, namun para istri Nabi menyambut dengan sedih. Ketika perut mereka bersikap "kikir", perut Mariyah itu bersikap "pemurah".

Rasulullah saw pantas sangat bahagia mendengar kehamilan Mariyah, terlebih setelah putra-putrinya, yaitu Abdullah, Qasim, dan Ruqayah meninggal dunia. Mariyah adalah istri Rasulullah setelah Khadijah yang bisa memberi Rasulullah anak.

Bulan Dzulhijjah tahun kedelapan Hijrah, Mariyah melahirkan bayi laki-laki. Kelahiran anaknya menjadikan Mariyah sebagai budak yang merdeka sepenuhnya. Kehadiran bayi dari Mariyah ini mendapat sambutan gembira dari masyarakat Madinah.

Meski begitu, saat kabar bahagia datang, tersebar pula bisikan yang meragukan kesucian Mariyah. Para penebar fitnah tersebut berprasangka bahwa ada laki-laki Qibti yang datang bersama Mariyah dari Mesir di antara hadiah Raja al-Muqauqis. Laki-laki itu selalu datang kepada Mariyah untuk membawakan air dan kayu bakar.



Pembicaraan terus berkembang hingga menjadi kegaduhan. Menjadi kisah dusta baru yang disambut senang oleh para munafik. Mereka mengatakan, "keledai jantan telah menggauli keledai betina."

Alangkah buruknya para penebar keburukan itu. Mereka telah menikmati berita palsu, sebelumnya telah menuduh Sayyidah Aisyah dengan Shafwan, selanjutnya mereka menuduh Sayyidah Mariyah ibn Syam'un dengan seorang laki-laki impoten. Perlahan tapi pasti fitnah tersebut mereda karena tak terbukti.

Mariyah telah melahirkan seorang anak laki-laki. Rasulullah menemui Mariyah dengan senyum di wajahnya. Setelah memuji Allah atas keselamatan Mariyah, beliau mendekati sang bayi dan menggendongnya dengan lembut.

Rasulullah memberi nama anak laki-lakinya itu Ibrahim bin Muhammad. Harapannya kelak Ibrahim kecil mendapat berkah sebagai mana nama bapak para nabi, Nabi Ibrahim AS. Ibrahim kecil disusui oleh seorang istri tukang pandai besi bernama Abu Saif yang tinggal di perbukitan Madinah.



Mendengar kabar gembira ini para Ummahatul Mukminin bertambah dongkol. Pasalnya, setelah beberapa tahun menikah dengan Rasulullah, istri Nabi yang lain tidak kunjung diberikan anak. Pernah suatu ketika Aisyah mengungkapkan kecemburuannya langsung kepada Mariyah.

"Aku tidak pernah cemburu kepada wanita kecuali kepada Mariyah karena dia berparas cantik dan Rasulullah sangat tertarik kepadanya. Ketika pertama kali datang, Rasulullah menitipkannya di rumah Haritsah bin Nu'man al-Anshari, lalu dia menjadi tetangga kami. Akan tetapi, beliau sering kali di sana siang dan malam. Aku merasa sedih. Oleh karena itu, Rasulullah memindahkannya ke kamar atas, tetapi beliau tetap mendatangi tempat itu. Sungguh itu lebih menyakitkan bagi kami," kata Aisyah.

Dalam riwayat lainnya disebutkan tentang kecemburuan Aisyah atas dikaruniakannya Mariyah seorang anak. Aisyah berkata, "Allah memberinya anak, sementara kami tidak dikarunia anak seorang pun."



Perlakuan Nabi kepada Ibrahim dari hari ke hari makin memperbesar kecemburuan mereka. Muhammad Husain Haekal dalam Sejarah Hidup Muhammad menulis, setiap hari Rasulullah singgah ke rumah Maria sekadar ingin melihat Ibrahim, dan ia pun tambah gembira setiap melihat senyuman bayi yang masih suci dan bersih itu. Makin senang hati beliau setiap melihat pertumbuhan bayi bertambah indah.

Dengan penuh perasaan gembira pada suatu hari Nabi datang dengan memondong Ibrahim kepada Aisyah. Dipanggilnya Aisyah supaya melihat betapa besarnya persamaan Ibrahim dengan dirinya itu. Aisyah melihat kepada bayi itu, kemudian katanya, bahwa dia tidak melihat adanya persamaan itu.

Setelah dilihatnya Nabi begitu gembira karena pertumbuhan bayi itu, ia tampak marah; semua bayi yang mendapat susu seperti Ibrahim, akan sama pertumbuhannya atau akan lebih baik.



Beda Pendapat
Tentang Mariyah, masih ada sedikit keraguan dalam hati Rasulullah hingga datanglah Jibril dan berkata, "Assalamualaika ya Aba Ibrahim". Mendengar kalimat Jibril ini, hati Rasulullah menjadi tenang dan senang atas rahmat Allah dan penyucian nama baik Mariyah.

Tujuh hari setelah kelahiran putranya, Ibrahim, Rasulullah melaksanakan akikah dengan menyembelih kambing, mencukur rambut Ibrahim, dan bersedekah perak pada kaum miskin senilai berat timbangan rambut Ibrahim. Mereka mengambil rambut Ibrahim lalu menguburnya.

Tentang status Mariyah sampai sekarang memang ada beda pendapat. Pendapat pertama, Rasulullah memerdekakan Mariyah lalu menikahinya. Namun, hal ini belum jelas apakah fakta historis atau apologis historis.

Persoalan lainnya adalah, seorang budak tidak secara otomotis merdeka karena masuk Islam sehingga tidak jelas alasan Mariyah harus dimerdekakan jika ia siap diislamkan. Ibnu Qoyyim bahkan menyatakan bahwa Mariyah hanya seorang selir.



Muhammad Husain Haekal juga berpendapat senada. Maria, begitu dia menyebut, berstatus hamba sahaya. Oleh karena itu tempatnya tidak di samping masjid seperti isteri-isteri Nabi Umm'l-Mukminin yang lain. Rasulullah menempatkannya di 'Alia, di bagian luar kota Medinah, di tempat yang sekarang diberi nama Masyraba Umm Ibrahim, dalam sebuah rumah di tengah-tengah kebun anggur.

Menurut Haekal, Rasulullah sering berkunjung ke sana seperti biasanya orang mengunjungi hak-miliknya. Setelah ternyata Maria mengandung dan kemudian lahir Ibrahim - ketika itu usianya sudah lampau enampuluh tahun - beliau sangat gembira. Rasa sukacita telah memenuhi hati manusia besar ini. Dengan kelahirannya itu kedudukan Maria dalam pandangannya tampak lebih tinggi, dari tingkat bekas-bekas budak ke derajat isteri. Ini menambah ia lebih disenangi dan lebih dekat lagi.

Ibrahim Wafat
Ketika berusia 19 bulan, Ibrahim sakit. Kondisi ini membuat Rasulullah SAW dan Mariyah sedih. Mariyah ditemani saudara perempuannya Sirin menunggui Ibrahim yang kondisinya semakin parah. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Kami tidak dapat menolongmu dari kehendak Allah, wahai Ibrahim.”

Tanpa disadari Rasulullah yang ditemani Abdurrahman bin Auf menangis bercucuran air mata. Kondisinya semakin parah dan atas kehendak-Nya Ibrahim kecil meninggal dunia. Rasulullah saw kembali bersabda, “Wahai Ibrahim, seandainya ini bukan perintah yang hak, janji yang benar, dan masa akhir kita yang menyusuli masa awal kita, niscaya kami akan merasa sedih atas kematianmu lebih dari ini. Kami semua merasa sedih, wahai Ibrahim .… Mata kami menangis, hati kami bersedih, dan kami tidak akan mengucapkan sesuatu yang menyebabkan murka Allah.”



Begitulah ungkapan kesedihan Rasulullah saw saat menghadapi kepergian putra yang dicintainya. Walaupun perasaannya sangat sedih, beliau tidak meratapi, apalagi berteriak mengucapkan kata-kata yang berlebihan. “Menangis adalah bukti kasih sayang, sedangkan teriakan itu dari setan.” Hal ini sebagai contoh bagi umatnya ketika menghadapi musibah, walaupun demikian berat tidak berlebihan.

Rasulullah mengurus sendiri jenazah Ibrahim dan mensalati dengan takbir empat kali. Ibrahim dimakamkan di Baqi bertepatan dengan terjadinya gerhana matahari. Orang lalu menghubungkan kematian Ibrahim dengan gerhana. Namun Rasulullah meluruskan, “Gerhana bulan dan matahari tidak terjadi karena kematian atau hidupya seseorang.” ( )

Setelah Rasulullah wafat, Mariyah hidup menyendiri. Setelah kematian anaknya, Ibrahim, dan Rasulullah, beliau menghabiskan hidupnya dengan beribadah. Mariyah wafat lima tahun setelah wafatnya Rasulullah saw, yaitu bulan Muharram tahun ke-46 H. Saat itu masa kekhalifahan Umar bin Khattab. Khalifah Umar yang mensalati jenazah istri Rasulullah tersebut, kemudian dimakamkan di Baqi. ( )
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.4418 seconds (0.1#10.140)