Islam Membangun Negara Tanpa Pajak dan Utang (1)

Rabu, 16 Juni 2021 - 14:54 WIB
loading...
Islam Membangun Negara Tanpa Pajak dan Utang (1)
Pajak dibolehkan oleh empat Mazhab, namun menerapkannya harus dengan sistem pajak yang adil (prinsip keadilan) sehingga tidak ada yang dizalimi. Foto/Ist
A A A
Rencana pemberlakuan pajak (PPN) terhadap kebutuhan pokok (sembako) hingga jasa pendidikan menuai sorotan dan perbincangan publik di Tanah Air. Negara dinilai tak mampu mengatur dan mengelola keuangannya sehingga membebani masyarakat luas.

Bagaimana pandangan Islam terhadap penerapan pajak? Sebelum kita bahas menurut perspektif syariat, ada catatan menarik yang dipublish "Indonesia Mengaji" lewat akun IG-nya @indonesiamengajiid, kemarin. Berikut pandangannya:

Setiap negara bersistem demokrasi-kapitalis membangun negeri dengan pajak dan utang. Sementara rakyat harus membayar kebutuhan hidupnya seperti pendidikan, dan kesehatan. Paling banter, negeri kapitalis hanya meyelenggarakan wajib asuransi.



Berbeda dengan sistem negara Islam. Negara bisa dibangun tanpa utang tanpa pajak. Bahkan kesehatan dan pendidikan rakyat bisa gratis bagi seluruh rakyat, baik muslim maupun non-muslim.

Islam mengatur kehidupan negara dengan sangat baik. Sehingga negara bisa dibangun tanpa membebani rakyat dengan utang dan pajak. Bahkan kebutuhan rakyat seperti pendidikan dan kesehatan bisa gratis.

Rahasianya adalah pada pengelolaan kepemilikan sumber daya alam dan industri dengan syariat Islam. Di dalam sistem Islam, kepemilikan sumber daya dibagi tiga yaitu (1) milik negara, (2) milik rakyat bersama, (3) milik individu.

Sumber daya air (sungai, laut, danau), api (minyak bumi, batu bara, gas, dll) dan vegetasi (hutan, padang rumput), adalah milik rakyat. Dikelola oleh negara, kemudian hasilnya digunakan untuk memenuhi hajat hidup rakyat seperti kesehatan dan pendidikan gratis.

Sementara itu, sumber daya selain ketiganya, yaitu seperti emas, timah, nikel, dll, adalah milik negara. Hasilnya untuk membangun negara dan membiayai operasional negara. Dengan demikian negara tidak perlu utang dan menarik pajak.

Industri yang berkaitan dengan hajat hidup rakyat, seperti listrik, telekomunikasi, transportasi, dll, juga dikelola negara. Sementara rakyat secara individual boleh memiliki bisnis apapun asal dihalalkan oleh syariat.

Negeri demokrasi-kapitalis tidak bisa melakukan seperti itu. Negara kapitalis harus membangun negeri dengan pajak. Memenuhi hajat hidup rakyat dengan asuransi.

Karena sumber daya yang mestinya digunakan untuk membiayai negara dan hajat hidup rakyat justru diserahkan pada para kapitalis. Sungguh tragis rakyat di negeri kapitalis.

Konsep Pajak Menurut Ibnu Khaldun
Menurut Intelektual Muslim Ibnu Khaldun (1332-1408) Ibnu Khaldun, di antara tanda sebuah negara akan hancur, semakin besar dan beraneka ragamnya pajak yang dipungut dari rakyatnya.

Menurut Ibnu Khaldun, pajak merupakan tanggungan-tanggungan yang dibebankan kepada masyarakat yang sesuai dengan syariat seperti zakat-zakat, pajak bumi (kharaj) dan pajak kepala (Jizyah) yang digunakan untuk pembangunan negara. (Muqadimmah, 493)

Pemerintahlah yang harusnya menetapkan setiap peraturan termasuk pajak dan masyarakat wajib untuk mentaati peraturan tersebut, hal tersebut tertera dalam Surah An-Nisa Ayat 59 yang berbunyi: "Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."

Tokoh sejarawan dan pemikir Islam kelahiran Tunisia ini bukan bermaksud menolak pajak. Konsep pajak yang ditawarkan Ibnu Khaldun menekankan pada keringanan pajak yang ditetapkan oleh negara kepada masyarakat. Sehingga menjadi motivasi bagi masyarakat untuk lebih giat bekerja.

Pandangan Islam Terhadap Pajak
Menurut Ustaz Farid Nu'man Hasan (Dai lulusan Sastra Arab Univeristas Indonesia), dalam pemerintahan Islam masa lalu, uang belanja negara didapatkan dari:
1. Ghanimah (harta rampasan perang)
2. Fa'i (harta rampasan perang tanpa peperangan, musuh meninggalkan hartanya karena kabur/takut, seperti perang tabuk)
3. Jizyah dari Kafir Dzimmi
4. Zakat
5. Hadiah dari negara sahabat.

Tapi saat ini dan ada beberapa sumber yang belum bisa lagi dilaksanakan (seperti ghanimah, fa'i, dan jizyah), maka banyak negeri-negeri muslim menambahkan melalui sumber lain, seperti: eksport impor, utang dan pajak.

Pajak dibolehkan oleh empat Mazhab, yaitu Adh Dharaaib Al 'Adilah (pajak yang adil), sebagai biaya belanja negara, seperti penjelasan nanti. Namun, sebagian ulama ada yang mengharamkannya, dan menyamakannya dengab Al-Maks (pungli).

Perselisihan ini diawali oleh apakah kewajiban harta itu hanya zakat? Ataukah ada kewajiban lain selain zakat?

(Bersambung..!)

(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1118 seconds (0.1#10.140)