Tatkala Suami Masih Kafir, Kisah Mengharukan Zainab Putri Rasulullah

Jum'at, 29 Mei 2020 - 05:00 WIB
loading...
Tatkala Suami Masih Kafir, Kisah Mengharukan Zainab Putri Rasulullah
Setahun berselang, semenjak pasangan suami istri itu kembali bertemu, kini mereka mesti berpisah. Perpisahan kali ini adalah perpisahan untuk selamanya. Foto/Ilustrasi/SINDOnews
A A A
PADA suatu hari di tahun 8 hijriyah. Suasana sedih menyelimuti Kota Madinah . Hari itu adalah hari berkabung. Zainab putri Rasulullah menghadap Illahi. Kematian Zainab menjadi musibah besar bagi sang suami, Abu al-'Ash. Pria yang baru setahun dipertemukan kembali dengan kekasihnya itu mendekati jenazah Zainab seraya mengucapkan salam perpisahan. Air matanya berlinang. Semua orang yang hadir pun ikut menangis.

Begitu juga Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam (SAW). Beliau diliputi kesedihan. Matanya pun basah. Beliau mendoakan dan menyerahkan sang putri kepada Allah SWT lalu memerintahkan kepada para wanita yang ada ketika itu: "Mandikanlah jenazahnya dengan jumlah ganjil: tiga atau lima kali. Berikanlah kapur untuk perjalanannya ke akhirat."

Zainab Binti Muhammad adalah anak sulung nabi Nabi Muhammad hasil pernikahannya dengan Sayyidah Khadijah binti Khuwailid. Zainab lahir 23 tahun sebelum Hijrah/600 M di Kota Mekah. Saat beliau wafat usianya baru 29 tahun.

Dr Bassam Muhammad Hamami dalam “Biografi 39 Tokoh Wanita Pengukir Sejarah Islam” menceritakan, Zainab menikah dengan Abu al-Ash ibn Rabi' sebelum Muhammad menerima wahyu kenabian. Abu al-Ash adalah saudara sepupu Zainab.

Sang suami dikenal sebagai salah seorang tokoh Makkah yang tiada tertandingi kekayaan dan kehormatannya. Ia adalah laki-laki keturunan Quraisy tulen yang nasabnya dari pihak ayah bertemu dengan Nabi pada Abdu Manaf ibn Qushay dan dari pihak ibu, nasabnya pada kakek terdekatnya, Khuwailid. Hal itu karena ibunya, Halah binti Khuwailid, adalah saudara dari Khadijah binti Khuwailid. (Baca Juga: Baca juga: Biografi Nabi Muhammad, Manusia Teragung Sepanjang Masa
Abu al-'Ash ibn Rabi' di samping merupakan keturunan orang-orang terhormat, ia juga adalah seorang yang mulia dan berkepribadian baik. Sebagaimana julukan Muhammad ibn Abdullah, ia juga mendapat julukan dari kaumnya dengan al-Amin. Sifat amanah yang ia miliki telah mendatangkan kepercayaan dan keyakinan masyarakat terhadap dirinya.

Pada saat melamar Zainab, Abu al-'Ash ibn Rabi' mengajak beberapa saudaranya mendatangi rumah Sayidina Muhammad. Kala itu, Sayidina Muhammad bersabda, "Itu sungguh merupakan besan yang terbaik dan sekufu."

Hanya saja, beliau tidak memberikan jawaban atas lamaran Abu al-'Ash sebelum menemui putrinya dan menawarkan lamaran tersebut: "Wahai putriku, sesungguhnya sepupumu Abu al-Ash ibn Rabi' datang untuk melamar dirimu."

Zainab tidak memberi jawaban selain dengan menganggukkan kepala karena malu sementara kebahagiaan tampak bersinar di wajahnya. Kedua matanya berbinar sebelum tertutup oleh kedua pelupuknya.

Sayidina Muhammad beralih kepada istrinya, Sayyidah Khadijah, dan memberitahukan akan persetujuan Zainab. Pasalnya, diamnya Zainab menunjukkan persetujuannya untuk menikah.

Kabar menggembirakan itu segera tersebar di seantero Mekah. Binatang-binatang disembelih, hidangan disebarkan, dan para budak wanita berdiri untuk menari. Suara mereka menggemakan senandung pujian hingga kegembiraan menyelimuti seluruh Makkah karena pernikahan penuh berkah itu.

Begitu malam tiba, Abu al-'Ash ibn Rabi' memboyong Zainab ke rumahnya. Rasulullah mengawasi sementara sang ibu memandanginya dengan kedua mata yang terbalut oleh air mata. Dalam hati bersemayam kebahagiaan sementara nuraninya memanjatkan berbagai doa. Dengan segenap doa, Khadijah mengharapkan taufik dan kebahagiaan untuk sang putri.



Di rumah barunya, Zainab hidup dengan terhormat, mulia, dan bahagia. la jalani hidup di bawah naungan suami tercinta yang mulia, Abu al-'Ash. Ia merasakan kedamaian dalam hidup baru itu setelah semua yang diimpikan telah terwujud sebagaimana layaknya semua gadis yang menjalani kehidupan di dunia ini.

Pasangan ini mendapat anugerah dua orang putra, putra pertama bernama Ali ibn Abi al-'Ash dan yang kedua bernama Umamah binti Abu al-'Ash.

Masa Kenabian
Hari-hari terus berjalan. Sebagai pedagang, sang suami selalu bepergian ke negeri-negeri Syam dan negeri lainnya, meninggalkan sang istri tercinta, Zainab. Sementara itu di tempat lain, tepatnya di Gua Hira, saat Muhammad menerima wahyu. Allah memerintahkan beliau untuk melawan kerusakan yang telah merajalela di muka bumi.

Beliau menjalankan tugas kenabian didampingi istri tercinta Khadijah. Sang istri berkata, "Semoga Allah melindungi kita wahai Abu Qasim. Bergembiralah wahai suamiku dan teguhkanlah hatimu. Demi Allah, Dia tidak akan pernah menyusahkan dirimu karena engkau orang yang senang menyambung silaturahim, berbicara dengan jujur, menyampaikan amanah, menanggung segalanya, menghormati tamu, dan membantu orang-orang yang benar."

Mendengar berita itu, Zainab tertegun di tempatnya, diam bergeming. Pikirannya tidak menentu hingga ia tidak tahu dari mana pikiran itu bermula dan ke mana akan berujung. Bahkan, ia membayangkan seolah dirinya sedang dalam samudra yang dalam tanpa tahu ke mana akan berlabuh.



Rupanya sang suami juga telah mendengar desas-desus yang diceritakan para musyafir tentang kenabian ayah mertuanya itu. Kepada Zainab ia bertanya kebenaran cerita itu. Zainab membenarkan apa yang sudah didengar suaminya itu tentang turunnya wahyu Allah kepada Nabi Muhammad di Gua Hira. Zainab juga menegaskan dirinya telah mengikuti agama Rasulullah, mengikuti agama lslam bersama ibu dan para saudarinya.

"Benarkah engkau telah berbuat demikian wahai Zainab?" Abu al-Ash bertanya dengan heran.

"Aku tidak akan mendustakan ayahku. Demi Allah, sebagaimana engkau kenal, beliau adalah ash-Shadiq al-Amin," jawab Zainab.

Selanjutnya putri sulung Rasulullah ini mengajak suaminya untuk masuk Islam dan tidak lagi menyembah batu dan para berhala sebagaimana yang dikerjakan oleh kaumnya. Zainab juga menyampaikan bahwa beberapa orang terhormat dari kaumnya telah lebih dahulu masuk islam, seperti Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali ibn Abi Thalib, saudara sepupunya Utsman ibn Affan, dan Zubair ibn 'Awwam.

Abu al-Ash sangat gelisah. la berpikir begitu jauh tentang apa yang akan ia dengar dari keluarga dan kerabatnya bahwa sekiranya dirinya telah meninggalkan agama nenek moyang dan mengikuti agama istrinya.



Dengan suara tertekan, Abu al-Ash berkata kepada istrinya, "Wahai Zainab, demi Allah aku tidaklah meragukan kejujuran ayahmu. Tidak ada yang lebih aku sukai dibandingkan dengan menempuh jalan yang sama denganmu, wahai kekasih. Namun, aku tidak ingin jika dikatakan bahwa suamimu telah mengkhianati kaumnya dan kufur kepada nenek moyang demi menyenangkan istrinya. Apakah engkau telah memikirkan hal ini?"

Hijrah ke Madinah
Zainab merasa gagal meyakinkan Abu al-Ash. Di sisi lain, kaum Quraisy semakin keras memusuhi Rasululah SAW. Mereka selalu mengintai siapa saja yang menjadi pengikut Islam untuk menimpakan siksa dan tekanan kepada mereka, menjauhkan mereka dari harta benda dan rumah-rumah mereka, hingga terjadi pemboikotan mengerikan yang tercatat dalam sebuah lembaran dan digantungkan di pintu Kakbah.

Rasulullah bersama kaum mukminin tinggal di suatu daerah atau lembah yang wilayahnya dikuasai oleh Abu Thalib, di luar Makkah. Mereka tinggal di sana dalam pemboikotan yang berlangsung kurang lebih selama tiga tahun.

Enam bulan setelah catatan pemboikotan itu hancur, paman Rasulullah, Abu Thalib, meninggal dunia. Selanjutnya, tiga hari kemudian, Ummul Mukminin Khadijah al-Kubra, ibu dari para putri Rasulullah SAW, menyusul berpulang ke rahmatullah.



Suatu ketika, pagi Makkah tanpa keberadaan Rasulullah dan sahabat setianya Abu Bakar ash-Shiddiq. Malam sebelumnya, peristiwa hijrah telah terjadi. Rombongan hijrah mengarungi padang pasir di tengah kegelapan malam.

Rasulullah melakukan hijrah diikuti oleh semua sahabat dan semua orang yang beriman kepada beliau. Demikian juga halnya para putri Rasulullah lainnya Fathimah, Ummu Kultsum, dan Ruqayyah. Mereka hijrah menyusul sang Ayah.

Zainab menoleh ke kiri dan kanan. Dia tak menemukan ayah dan saudarinya di Makkah. "Di manakah ayah dan ibuku? Di manakah Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fathimah? Di manakah Qasim dan Abdullah? Di manakah keluargaku? Mereka semua telah pergi dan meninggalkan diriku seorang diri di tanah yang gersang dan panas ini, di tengah orang-orang kafir dan durhaka," jerit Zainab dalam hati.

Zainab pergi menziarahi makam mendiang ibunya Khadijah. Ia menyirami tanah kuburan itu dengan air matanya dan membacakan apa yang telah ia pelajari dari madrasah nubuwah sang ayah.

Ibunya yang telah beristirahat dengan tenang di dalam kubur itu kini menjadi orang yang paling dekat dengan dirinya. Sementara itu, orang-orang yang ada di dekatnya kini semuanya menjadi jauh.

Satu pukulan berat bagi Zainab adalah karena sang suami belum mau masuk Islam sehingga suasana rumahnya dipenuhi dengan kegelisahan dan duka nestapa. Sang suami tetap kukuh menjadi penyembah berhala-berhala dan batu-batu. Nikmat yang mereka rasakan bersama berubah menjadi neraka.

Kini, tidak ada lagi yang ia miliki selain Allah yang kepada-Nya ia merendahkan diri dan berdoa agar diberi kesabaran.

Menebus Suami
Hati Zainab benar-benar pedih tatkala pecah perang Badar . Kaum musyrikin meminta suaminya, Abu al-Ash ibn Rabi', untuk pergi bersama mereka memerangi kaum Muslimin dan Rasulullah. (
Abu al-'Ash segera memenuhi panggilan itu. la pergi untuk berperang, tetapi dalam perang ini, ia jatuh menjadi tawanan kaum muslimin. Ketika mendengar suaminya tertawan oleh kaum Muslimin, kesedihan Zainab semakin dalam.

la menyesalkan karena suaminya itu memusuhi ayahnya sendiri, Rasulullah, yang tidak pernah memberikan kepadanya selain kebaikan dan kebenaran.

Abu al-Ash adalah seorang jutawan Makkah. Keluarganya tentu bisa menebus dirinya meski dengan harga yang mahal. Namun, sang istri, Zainab menginginkan untuk menebus sang suami dengan sesuatu yang lebih mahal daripada harta benda.


Ibnu Ishaq meriwayatkan dari Aisyah RA, ia menceritakan, "Ketika penduduk Makkah mengirimkan tebusan keluarga mereka yang menjadi tawanan, Zainab binti Rasulullah mengirim sejumlah harta untuk menebus Abu al-Ash ibn Rabi', sang suami. Dari sekian harta benda yang dikirimkan itu, ia kirimkan sebuah kalung miliknya. Sebuah kalung yang diberikan oleh Khadijah saat Zainab diboyong ke rumah Abu al-Ash.

Aisyah mengatakan, "Ketika Rasulullah melihat kalung tersebut, beliau merasa sangat tersentuh. Beliau bersabda: Jika kalian berpikir untuk melepaskan tawanan dan mengembalikan harta benda (Zainab), lakukanlah!"

Mereka menjawab: “Baik, wahai Rasulullah”. Mereka melepaskan Abu al-Ash dan mengembalikan harta milik Zainab.

Sementara itu, Rasulullah meminta Abu al-Ash untuk berjanji agar melepaskan Zainab sehingga ia dapat menyusul beliau. Janji ini adalah janji yang harus ia tepati sebagaimana ia dikenal sebagai orang yang tidak pernah mengingkarı janji.

Rasulullah mengutus Zaid ibn Haritsah dan seorang laki-laki Anshar. Beliau memerintahkan, "Berhentilah kalian di Ya'jaj (sebuah tempat sejauh 8 mil dari Makkah) hingga kalian bertemu dengan Zainab lalu temanilah ia sampai menemuiku."

Abu al-Ash telah bebas dan kembali ke Makkah. la segera menunaikan thawaf tujuh kali mengelilingi Baitullah. Setelah itu, bergegas pulang menemui sang istri, Zainab, yang telah menebus dirinya dengan harta paling berharga yang dimiliki.

Sepanjang perjalanan, ia selalu terbayang wajah Rasulullah dan merasa sangat kasihan kepada Zainab. la tahu betapa besar cinta Rasulullah kepada bibinya, Khadijah, tetapi ia tidak pernah membayangkan bahwa cinta itu mampu meluluhkan hati beliau dengan hanya melihat kalung milik Sayyidah Khadijah.

Abu al-Ash ibn Rabi' melangkah lebih cepat untuk segera bertemu dengan sang istri sementara kerinduan begitu menggebu dalam dada. Hatinya penuh dengan cinta dan harapan.

la hendak melantunkan sebuah syair untuk mengungkapkan betapa berat emosi dan perasaannya itu, tetapi ia segera sadar dan teringat akan janji yang telah ia ucapkan kepada Rasulullah.

Abu al-Ash tidak mampu mengingkari janji karena itu akan mengotori sifat amanah yang membuatnya terkenal di tengah kaumnya.



Janji itu merupakan sesuatu yang menyakitkan dan memedihkan hati. Janji yang akan merusak rumah tangganya yang damai, rumah tangga yang sebelumnya tidak pernah terguncang meskipun oleh badai sekalipun.

Setibanya Abu al-Ash di rumah dan begitu melihat kedatangannya, Zainab menyambutnya dengan air mata kebahagiaan yang membasahi wajahnya. Dalam waktu sekejap saja, wajah itu berubah menjadi cermin hati yang memancarkan berbagai perasaan dan emosi. Tidak ada yang mereka rasakan selain napas dan perasaan mereka yang bergelora hingga tertumpah ruah karena haru.

Namun, tiba-tiba gema suara Rasulullah terngiang di dalam hati Abu al-'Ash. la pun melepaskan sang istri dari dekapannya sambil berkata, "Wahai Zainab, bersiap-siaplah untuk menyusul ayahmu!"

Dengan keheranan, Zainab memandang ke arah suaminya. la belum mengerti apa arti kata-kata Abu al-'Ash itu. Sebelum Zainab mengerti, Abu al-'Ash berbicara dengan wajah menunduk ke tanah, "Islam telah memisahkan aku dengan dirimu."

Abu al-'Ash telah berjanji kepada Rasulullah untuk mengembalikan Zainab kepada beliau, ke Madinah. la pun tahu betapa janji itu begitu berat bagi hatinya. Namun, ia segera menceritakan kepada Zainab tentang syarat yang diberikan oleh Rasulullah.

la merasa bahwa hatinya tercabik-cabik dan berkeping-keping tatkala melihat rombongan yang akan membawa pergi Zainab binti Rasulullah.

Dilema Zainab
Zainab berusaha berperang melawan perasaannya sendiri. la berkemas untuk pergi. Dengan kejujuran lidah dan hatinya, Zainab menyatakan untuk siap melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya. Namun, perasaan membuatnya tidak berdaya hingga tidak mampu ia kendalikan.

Air matanya tidak pernah berhenti mengalir sementara hatinya selalu berdebar merindukan sang kekasih yang merupakan suami terbaiknya sepanjang masa.

Saat berkemas untuk menyusul sang ayah, Zainab bertemu dengan Hindun binti 'Utbah. la adalah wanita yang kehilangan ayah, paman, dan saudara yang tewas dalam Perang Badar.

Hindun berkata, "Wahai putri Muhammad, benarkan bahwa engkau hendak menyusul ayahmu?" Dengan hati-hati, Zainab menjawab, "Aku tidak menginginkan itu."

Hindun kembali berkata, "Wahai saudariku, janganlah engkau lakukan itu. Jika engkau membutuhkan kesenangan atau sesuatu yang bisa menemanimu dalam perjalanan, atau uang untuk bekalmu hingga di tempat ayahmu, aku bisa memenuhinya. Janganlah engkau malu karena tidak akan terjadi di antara wanita apa yang terjadi antara sesama laki-laki."

Zainab terus berkemas hingga selesai. la segera dibawa oleh saudara iparnya, Kinanah ibn Rabi', yang telah mempersiapkan seekor unta untuknya.

Kinanah membawa busur panah beserta tempat anak panahnya. Ia pergi membawa pergi Zainab pada siang hari. la berjalan menuntun unta sementara Zainab berada di dalam sekedup yang ada di atas punggung unta tersebut.

Para laki-laki dan wanita Quraisy ramai membicarakan kepergian Zainab. Mereka saling mencela dan keberatan jika putri Muhammad pergi dalam keadaan demikian.

Putri orang yang telah membunuh ayah dan anak-anak mereka. Karena itu, mereka pergi untuk mengejar hingga menemukan Zainab di daerah Dzu Thuwa. Orang pertama yang mengejarnya adalah Hubar ibn Aswad ibn Abdul Muththalib dan Nafi' ibn Abdul Qais al-Fahari.

Hubar meneror Zainab yang berada dalam sekedup dengan sebuah tombak. Darah pun mengalir dari tubuhnya karena pada saat itu Zainab sedang mengandung.

Kinanah ibn Rabi', yang saat itu bertugas menjaga Zainab, berdiri sambil membuka wadah anak panahnya. la ambil satu anak panah dan meletakkannya pada busurnya. la berkata, "Demi Allah, tidak seorang pun hari ini mendekati Zainab, kecuali aku tembus tubuhnya dengan anak panahku." Akhirnya, mereka pun mundur dan menjauh dari Kinanah.

Dalam kumpulan kaum Quraisy yang datang saat itu, majulah Abu Sufyan dan berteriak, "Wahai kawan, tahanlah anak panahmu! Kami ingin bicara denganmu!" Kinanah menahan anak panahnya.

Abu Sufyan mendekat dan berdiri di hadapannya. Ia berbicara, "Sungguh engkau telah melakukan kesalahan besar. Engkau pergi membawa perempuan ini secara terang-terangan dan di depan orang banyak sementara engkau tahu bagaimana musibah dan malapetaka yang telah kita alami karena Muhammad, ayah perempuan yang engkau bawa itu. Karena itu, jika engkau membawa pergi putri Muhammad ini untuk menemuinya secara terang-terangan, hal itu akan menunjukkan kerendahan yang kita alami dan kelemahan yang terjadi. Demi Allah, kita tidak perlu menahannya untuk menyusul ayahnya karena ia tidak bersalah, tetapi bawalah kembali perempuan ini sampal keadaan menjadi tenang dan orang-orang menyetujui untuk memulangkannya secara damai dan diam-diam. Setelah itu, bawalah ia untuk menyusul ayahnya."

Dengan perasaan takut, Zainab memandangi darah yang mengalir dari tubuhnya. Kinanah ibn Rabi' segera berpikir untuk membawa Zainab kembali, memenuhi saran Abu Sufyan, dan menyelamatkan nyawa istri saudaranya itu.

Saat orang-orang yang mengejar Zainab itu kembali, Hindun menyaksikan kedatangan mereka. Ia berkata kepada mereka, "Apakah dalam damai para laki-laki menjadi kasar dan kejam, sedangkan dalam perang mereka laksana wanita yang datang bulan?"

Terpaksa mereka kembali ke Makkah, tiba-tiba Zainab mengalami keguguran dan tubuhnya menjadi lemah. Setibanya di rumah suaminya, Abu al-' Ash, semua orang menghambur dan menggotong Zainab yang berlumuran darah.

Abu al-'Ash ibn Rabi' berusaha membalut derita sang istri yang telah dipisahkan darinya karena Islam.

Beberapa hari kemudian, Zainab berhasil memulihkan sedikit tenaganya. Pembicaraan tentang dirinya telah mereda. Karena itu, Kinanah ibn Rabi' segera mengajaknya untuk kembali menaiki unta sementara air mata Zainab bercucuran karena hendak berpisah dengan suaminya, Abu al-Ash.

Kali ini Kinanah membawa Zainab pada malam hari secara diam-diam. la pergi dengan sangat waspada karena takut akan dikejar kembali. Akhirnya, Kinanah ibn Rabi' berhasil membawa Zainab ke tempat yang di situ kedua utusan Rasulullah telah menanti, yaitu di daerah Dzu Thuwa.

la segera menyerahkan Zainab kepada mereka sambil berkata, "Aku heran terhadap Hubar dan kaumnya yang rendah. Mereka menginginkan agar aku berkhianat atas putri Muhammad. Namun, aku tidak peduli berapa pun banyaknya mereka selagi aku hidup, aku tidak akan menyerahkannya (Zainab) kepada mereka."

Kedua laki-laki itu pun membawa Zainab hingga menghadap Rasulullah. Ketika mereka tiba, hati Rasulullah berdebar saat menyambut kedatangan putri tercintanya itu dari negeri yang penuh dengan kesyirikan memasuki negeri lslam yang penuh dengan keimanan.

Beliau melihat bekas darah sang putri yarng telah mengering. Beliau juga mendengar kekejaman yang dilakukan oleh Hubar ibn Aswad terhadap Zainab hingga keguguran.

Memberi Perlindungan
Waktu terus berjalan. Enam tahun telah berlalu sejak Zainab hijrah ke Madinah. Selama itu pula Zainab hidup di bawah naungan sang ayah, Muhammad SAW. Zainab tidak pernah putus asa untuk berharap agar cahaya Islam menembus ke dalam hati suaminya, Abu al-'Ash.

Harapan itu tidak sia-sia. Hidayah akhirnya datang untuk Abu al-'Ash. Ia memeluk Islam. la pun hijrah ke Madinah, menyusul istrinya. Ia bermaksud menjumpai Rasulullah untuk menyatakan syahadat. Zainab mendengar kabar tentang kedatangan sang suami itu. Ia pun menanti dengan hati berdebar.

Begitu sang suami tiba, Zainab segera menyambutnya dengan suka cita dan berkata, "Selamat wahai Abu Ali dan Umamah!"

Sementara itu, suara Rasulullah SAW sedang bergema memenuhi penjuru Madinah dengan lantunan takbir. Beliau mengumandangkan takbir di dalam masjid, diikuti oleh para jamaah.

Setelah mampu menguasai hatinya dan menghimpun segenap tenaga, Zainab melangkah menuju pintu lalu berseru sekeras-kerasnya, "Wahai manusia, sesungguhnya aku telah memberi perlindungan kepada Abu al-'Ash ibn Rabi'."

Suara Zainab menggema ke seluruh sudut rumah. Ketika Rasulullah mengucapkan salam sesudah salat, beliau berpaling kepada jamaah dan bertanya, "Wahai manusia, apakah kalian mendengar apa yang aku dengar?"

Mereka menjawab, "Benar wahai Rasulullah, kami telah mendengarnya."

Rasulullah SAW kemudian bersabda, "Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, aku tidak mengetahui sedikit pun tentang hal itu sebelum aku mendengar apa yang kalian dengar."

Beliau melanjutkan, "Sesungguhnya, ia memberi perlindungan kepada kaum muslimin terdekat dan kita telah melindungi orang yang memberi perlindungan kepadanya."

Sudah selesai melaksanakan salat, Rasulullah menemui Zainab. Beliau mendapati suami Zainab telah berada di sana. Dengan suara penuh harap dan mengiba, Zainab berbicara kepada Rasulullah, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu al-'Ash ini saat dekat adalah keponakanmu dan jika jauh, ia adalah ayah dari anak-anakku. Kini aku telah memberi perlindungan kepadanya."

Beberapa waktu kemudian, Rasulullah memanggil sang putri dengan sikap penuh belas kasih karena terkesan atas sikap Zainab tersebut. Beliau pun kembali mempersatukan Zainab dengan Abu al-Ash setelah beliau yakin akan keislaman Abu al-'Ash dan kasih sayangnya kepada Zainab serta keinginannya agar beliau mengembalikan sang istri kepadanya.

Ada yang mengatakan bahwa Rasulullah mengembalikan Zainab kepada suaminya menurut pernikahan sebelumnya. Namun, ada pula yang mengatakan bahwa Zainab dikembalikan kepada suaminya dengan akad pernikahan baru.

Setahun berselang, semenjak pasangan suami istri itu kembali bertemu, kini mereka mesti berpisah. Perpisahan kali ini adalah perpisahan untuk selamanya. Zainab telah lebih dahulu berpulang ke rahmatullah pada tahun 8 H. Zainab wafat sesudah menderita sakit yang begitu lama sejak mengalami keguguran di tengah padang pasir saat melakukan perjalanan hijrah dari Mekah menuju Madinah.***
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2158 seconds (0.1#10.140)