Pidato Lengkap Haedar Nashir pada Milad Muhammadiyah ke-109

Jum'at, 19 November 2021 - 20:16 WIB
loading...
A A A


Nilai Utama
Pandemi Covid 19 memberi pelajaran berharga ('ibrah, i'tibar) tentang pentingnya manusia menjaga atau memelihara kehidupan. Kehidupan yang menyangkut jiwa raga (hifz al-nafs), akal (hifz al 'aql) harta (hifz al-mal), dan keturunan (hifz al-nasl) dengan segala relasinya harus dijaga penuh pertanggungjawaban dalam satu kesatuan di bawah pondasi hidup beragama (hifz al -din) sebagaimana menjadi tujuan syariat Islam (maqasidu al-syariah). Tujuan khusus syariat tersebut menurut Imam al-Ghazali terhubung dengan tercapainya kemaslahatan umum (al-maslahat al-ama). Allah dengan tegas berfirman:

fa! masiahat al 'amSt). Allah dengan tegas berfirman:

مَن قَتَلَ نَفْسًۢا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِى ٱلْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ ٱلنَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَآ أَحْيَا ٱلنَّاسَ جَمِيعًا ۚ


Artinya: “... barangsiapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi maka seakan akan dia telah membunuh semua manusia. Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia” ( QS Al-Maidah:32 ).

Kehidupan manusia merupakan sesuatu yang luhur, berharga, dan bermakna. Memahami kehidupan dengan segala aspek dan siklusnya niscaya didekati secara bayani, burhani, dan irfani secara interkoneksi yang mendalam, luas, dan seksama. Letakkanlah persoalan pandemi ini dalam dimensi iman, tauhid, dan hablun min Allah yang terhubung langsung dengan hablun min alnas, ilmu, ihsan, dan amal saleh yang hakiki dan melintasi. Hidup, sakit, dan mati bukanlah persoalan praktis laksana barang murah yang mudah dibuang atau sekali pakai (disposable) sebagaimana cara pandang verbal dan instrumental.

Manusia bukanlah benda mati meski berjasad raga. Kendati revolusi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi abad ke-21 telah memasuki fase baru yang melahirkan “Kecerdasan Buatan" (Artificial Intellegence) dan “Rekayasa Genetik" (Genetic Engineering). Sebagaimana pandangan liberal sekutar Yuval Noah Harari yang angkuh bahwa umur manusia dapat diperpanjang sampai 500 tahun serta menganggap kematian sebagai persoalan teknis dan bukan metafisik. Namun manusia bukanlah benda material. Islam memandang manusia sebagai makhluk terbaik (fi ahsan al taqwim) yang terdiri dari jiwa dan raga, di dalam dirinya terdapat hati dan akal yang dianugerahkan Tuhan. Manusia bahkan memiliki fitrah beragama (QS Al-Rum: 30: Al-'Araf. 172). Kecerdasan buatan dan rekayasa genetik sendiri merupakan hasil kerja otak manusia yang diberikan Tuhan, bukan barang jadi yang dipungut di jalanan.

Pandemi ini masalah bersama yang niscaya menjadi ibrah dan hikmah yang menumbuhkan pandangan dan sikap luhur berbasis nilai-nilai utama (al-qiyam al-fadilah).

Nilai (Inggris: value, Arab: qimah qiyam) yakni sesuatu yang berharga dan dijunjung tinggi dalam kehidupan manusia. Di antara nilai-nilai utama yang niscaya dikembangkan ialah nilai tauhid prokemanusiaan (al-qiyam al-tauhid li al-insani), nilai pemuliaan manusia (al-qiyam al-takrim al-insani), nilai persaudaraan dan kebersamaan (al-qiyam al-ukhuwwah wa al jama'iyyah), nilai kasih sayang (al-qiyam al tarahum), nilai tengahan (al qiyam al wasatiyyah), nilai kesungguhan berikhtiar (al qiyam al mujahadah), nilai keilmuan (al-qiyam al-ilmiyyah) serta nilai kemajuan (al-qiyam al-hadariyyah). Nilai-nilai utama tersebut dapat dijadikan dasar orientasi dalam menyikapi pandemi, sekaligus mengembangkan sikap luhur pasca pandemi karena sangat bermakna bagi kehidupan bersama umat manusia.

Pertama, nilai ketauhidan untuk kemanusiaan. Tauhid merupakan asas paling mendasar dalam Islam. Tauhid dalam Islam tidak terbatas menyangkut aspek iman untuk mengesakan Tuhan semata bersamaan dengan itu tauhid maupun iman dan takwa terkait dengan urusan kemanusiaan dan kehidupan. Ajaran tentang iman dan takwa dalam Al-Qur'an banyak disandingkan dengan perintah amal saleh dan kebaikan. Allah menegaskan dalam Surah al-Ma'un, orang disebut mendustakan agama karena tidak peduli pada kaum miskin dan anak yatim. Allah memperingatkan, kerusakan di muka bumi akan terjadi bila tidak ada relasi antara “hablun min Allah” dan “hablun min al-nas" (QS Ali Imran: 112). Nabi bersabda, 'La yu'minu ahadukum hatta yuhibba li akhihi ma yuhibbu li nafsihi", bahwa tidak beriman seseorang hingga dia terbukti mencintai sesamanya sebagaimana mencintai dirinya (HR Muslim).

Muhammadiyah memandang relasi antara “hablun min Allah” dan “hablun min al nas" itu saling terkoneksi yang harus membuahkan segala wujud kebaikan dalam kehidupan. Di dalam Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah pada Pokok Pikiran pertama terkandung pernyataan, “Hidup Manusia harus berdasar Tauhid (meng-esa-kan Allah): ber Tuhan, beribadah, serta tunduk dan taat hanya kepada Allah.” Sedangkan pada Pokok Pikiran kedua disebutkan, “Hidup manusia itu bermasyarakat”, serta pada Pokok Pikiran keempat dinyatakan: “Berjuang menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya adalah wajib sebagai ibadat kepada Allah SWT dan berbuat ihsan kepada sesama manusia."

Karenanya dari musibah covid 19 dapat dipetik hikmah menguatkan keyakinan kaum beriman bahwa sikap bertauhid meniscayakan kepedulian pada persoalan kemanusiaan, termasuk menyelamatkan jiwa manusia. Opini yang menyatakan jangan takut kepada virus corona takutlah kepada Allah", merupakan pandangan bias dalam memahami tauhid. Padahal ketakutan kepada Allah (khasyyah) yang bersendikan iman dan taqwa, berbeda sekali dengan ketakutan dalam makna waspada terhadap virus dan hal lain yang mengancam keselamatan diri. Allah SWT memperingatkan “wa la tulqu bi aidikum ilattahlukati wa ahsinu”, artinya “Janganlah kamu menjatuhkan diri pada kebinasaan dan berbuat baiklah” (QS Al Bagarah: 195).

Asqhar Ali Engineer sebagaimana Ahmad Amin menempatkan tauhid sebagai sumber nilai pembebasan kaum lemah dan tertindas dalam perspektif "The Theology of Liberation" (Teologi Pembebasan). Ali Syari'ati secara luas dan mendalam memandang keyakinan tauhid sebagai sumber nilai utama bagi manusia dan alam semesta dalam satu kesatuan (unity). Kehidupan berbasis tauhid adalah realitas yang integral, holistik, monistik, dan universal. Tauhid itu multidimensi, baik vertikal dalam hubungan dengan Allah maupun horizontal dalam relasi kemanusiaan dan alam semesta. Itulah kredo tauhid yang melahirkan ihsan kepada kemanusiaan dan rahmat bagi semesta alam.

Kedua, nilai pemuliaan manusia. Pandemi covid memberikan pembelajaran pentingnya untuk memuliakan manusia atau jiwa dan fisik manusia agar dihargai dan diselamatkan, sebaliknya jangan sampai diabaikan, disia-siakan, dan direndahkan. Berusaha maksimal mengatasi virus corona dan melakukan vaksinasi sama dengan ikhtiar memelihara dan memuliakan manusia sebagai makhluk Allah yang terbaik (fi ahsan altaqwim) dan harus dihargai dan dijunjung tinggi eksistensinya. Di antara tujuan syariat Islam ialah “menjaga jiwa" (hifz al-nafs) sebagai satu kesatuan dengan menjaga agama (hifz al-din), menjaga akal (hifz al-'aql), menjaga harta (hifz al-mal), dan menjaga keturunan (hifz al nasl). Kehilangan satu nyawa sama dengan seluruh nyawa manusia, sebaliknya menjaga kehidupan satu jiwa manusia sama dengan memelihara seluruh manusia (QS Al-Maidah: 32).

Di dalam Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua tentang “Pandangan Keagamaan” (Islam Berkemajuan) ditegaskan bahwa “Islam yang berkemajuan menyemaikan benih-benih kebenaran, kebaikan, kedamaian, keadilan, kemaslahatan, kemakmuran, dan keutamaan hidup secara dinamis bagi seluruh umat manusia. Islam yang menjunjung tinggi kemuliaan manusia baik laki-laki maupun perempuan tanpa diksriminasi. Islam yang menggelorakan misi antiperang, antiterorisme, antikekerasan, antipenindasan, antiketerbelakangan, dan anti terhadap segala bentuk pengrusakan di muka bumi seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, kejahatan kemanusiaan, eksploitasi alam, serta berbagai kemungkaran yang menghancurkan kehidupan.

Allah menempatkan manusia sebagai insan yang dimuliakan sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur'an:

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا

Artinya: “Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami ben mereka rezeki dari yang baik baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna" ( QS Al-Isra: 70 ).

Ketinggian martabat manusia diawali dari penciptaannya sebagai makhluk terbaik (fi ahsan al taqwim, QS Al-Tin: 4) dengan kedudukan dan tugas selaku "abdullah" untuk mengabdi kepada Allah (QS Az Zariyat : 56) dan “khalifah fi al ard” untuk memakmurkan bumi ( QS Al Baqarah: 30 ; Hud: 61). Pemuliaan derajat itu tidak diberikan dan dimiliki makhluk Tuhan lainnya. Karenanya menjadi suatu hal yang bertentangan dengan prinsip penciptaan manusia manakala ada di antara manusia yang tidak menghargai atau merendahkan keberadaan dirinya atau sesamanya, padahal Allah Yang Maha Pencipta memuliakannya.

Manusia jangan dipandang sebagai makhluk indrawi semata sebagaimana paradigma nalar materialisme, berakal pikiran belaka dalam pandangan liberal sekular, tanpa menyatukannya dengan unsur penting keruhanian dan jiwa (fitrah) beragama sebagaimana pandangan Islam yang holistik. Manusia dengan seluruh dimensinya mesti diletakkan dalam ruang metafisika dan kosmologi kehidupan yang utuh, bermakna, dan multidimensi. Termasuk dalam menempatkan musibah dan derita manusia sebagai urusan yang penting dan berharga, bukan sebagai persoalan parsial dan instrumental. Sebaliknya manusia sendiri jangan merendahkan martabat dan keberadaanya sehingga jatuh ke tempat yang hina dalam posisi yang serendah rendahnya atau “asfala safilin” ( QS At-Tin: 5 ).
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2337 seconds (0.1#10.140)