Pidato Lengkap Haedar Nashir pada Milad Muhammadiyah ke-109
loading...
A
A
A
Manusia harus menggunakan akal budinya dengan baik agar tidak berperangai seperti hewan, sebagaimana peringatan Allah dalam Al-Qur'an yang artinya: “Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah" (QS Al-A'raf : 179).
Perilaku hewaniah itu kadang bias atau absurd karena sering dibingkai oleh alam pikiran dan ilmu pengetahuan yang secara teoritik tampak benar dan sejatinya salah kaprah sehingga merendahkan martabat dan kemuliaan manusia. Manusia modern yang semestinya membangun kehidupan dengan keadaban luhur, malah jauh ke dalam sangkar besi kemodernan yang dibangunnya sendiri, sehingga menurut sosiolog Peter L. Berger manusia menjadi 'chaos”, yakni menjalani kehidupan yang kacau. Alam pikiran posmodern dengan nalar dekonstruksi dapat memutar balik epistemologi ilmu dan kehidupan yang benar menjadi salah atau disalahkan sebagaimana paradigma “post truth” yang kini meluas di ruang publik. Kemudian terjadi ironi yang salah dibenarkan dan memperoleh dukungan luas, sementara yang benar disalahkan dan ditepikan. Kehidupan 'chaos' seperti itu dalam rujukan nalar sejarah Tanah Jawa disebut hidup di zaman “Kalabendu” sebagaimana tertulis pada “Ramalan Jayabaya”.
Ketiga, nilai persaudaraan dan kebersamaan. Pandemi ini masalah bersama. Tindakan satu orang berpengaruh terhadap pihak lain dan lingkungan sekitar. Manusia tidak bisa egois dan merasa bebas dari wabah ini. Pandemi ini merupakan penderitaan semua umat manusia. Kaum beriman diajarkan bersabar dan tawakal dalam menerima musibah. Namun bukan berarti insan beriman abai dan tidak peduli terhadap keadaan, termasuk dalam merasakan penderitaan saudaranya yang terpapar dan lebih lebih yang meninggal dunia. Karenanya diperlukan rasa persaudaraan dan kebersamaan dari semua pihak sebagai wujud aktualisasi nilai utama agar menjalani kehidupan bersama di tengah perasaan satu nasib.
Kondisi darurat dan musibah ini sungguh memerlukan sikap bersaudara dan kebersamaan seluruh warga bangsa dengan nilai kasih sayang dan saling menolong. Nabi mengajarkan nilai persaudaraan sebagai berikut:
“Barangsiapa yang melapangkan salah satu kesusahan di dunia dari seorang mukmin, maka Allah akan melapangkan darinya salah satu kesusahan di hari kiamat. Barangsiapa yang memudahkan memudahkan atas kesulitan orang lain, maka Allah akan memudahkan atasnya di dunia dan akhirat. Barangsiapa yang menutupi (aib) seorang muslim, maka Allah akan menutupi (aib)nya di dunia dan akhirat. Allah senantiasa menolong hamba-Nya selagi hamba tersebut menolong saudaranya” (HR Muslim dari Abu Hurairah).
Baik dalam menghadapi pandemi maupun masalah bangsa jika ditanggung bersama dengan semangat persaudaraan maka akan lebih mudah sebagaimana pepatah Melayu, “Berat sama dipikul, Ringan sama dijinjing”. Bila terdapat perbedaan dicarikan titik temu karena ada ikatan persaudaraan dan kebersamaan. Dua jiwa utama tersebut dapat menjadi kekuatan untuk menumbuhkan sikap saling tenggang, toleran, lapang hati, dan kerja sama demi membangun kehidupan bersama. Seraya menjauhkan diri dari tindakan egoistik, pemaksaan kehendak, merasa paling benar, merasa paling digdaya, dan menjadikan Indonesia sebagai milik pribadi dan golongan sendiri. Ukhuwah dan persatuan Indonesia harus dibangun makin kokoh yang lahir dari jiwa tulus dan jujur, sehingga dapat menyelesaikan masalah masalah bangsa secara bersama.
Muhammadiyah sejak awal berkomitmen membangun kesatuan dan kebersamaan dalam berbangsa dan kemanusian semesta berlandaskan ajaran agama. Kyai Haji Ahmad Dahlan sebagaimana dipubtikasikan oleh HB Muhammadiyah Majelis Taman Pustaka pada 1923 (Mulkan, 1990), menyampaikan pesan bahwa "Manusia seluruhnya harus bersatu hati, karena: 1. Meskipun manusia memiliki kebangsaan yang berbeda-beda, sesungguhnya nenek moyang mereka adalah satu, yaitu Nabi Adam dan Hawa. Jadi sesungguhnya seluruh manusia itu satu darah daging. 2. Agar supaya dengan bersatu hati manusia dapat hidup senang secara bersama di dunia".
Keempat, nilai kasih sayang. Ajaran kasih sayang dalam Islam sangat penting dan luas yang lahir dari nilai ihsan, ukhuwah, silaturahmi, dan fa'awun dalam wujud kepeduliaan, empati, simpati, kerjasama, dan kebersamaan atas nasib sesama. Jika tidak mau membantu sesama jangan bertindak semaunya. Jika tidak dapat memberi solusi atas masalah yang dihadapi, jangan menjadi bagian dari masalah dan mengabaikan masalah. Nilai kasih sayang antarmanusia terhubung dengan kasih sayang Tuhan, sebagaimana hadis Nabi yang artinya: “Orang-orang yang penyayang itu akan dikasihi oleh Yang Maha Penyayang dan Yang Mahasuci lagi Mahatinggi, maka sayangilah makhluk yang ada di bumi niscaya kalian akan disayangi oleh makhluk yang ada di langit” (HR 'Abdullah bin Amr r.a.).
Mari letakkan musibah global ini dalam pandangan kemanusiaan yang humanistik. Menurut Steven Pinker (2018) dalam “Enlightment Now", manusia di era Pencerahan dunia modern mesti mengembangkan “a humanistic sensibility", yang menumbuhkan sentimen empati seperti kemurahan hati, belas kasih, dan rasa saling memahami satu sama lain. Sifat-sifat empati tersebut menghidupkan watak alami manusia sebagai makhluk yang “merasa” (sentient) seperti senang dan sedih, suka dan duka, bahagia dan derita. Sifat-sifat manusiawi yang alamiah itu boleh jadi sering terdelusi oleh pola pikir sekular yang rasional instrumental maupun pandangan keagamaan yang dangkal.
Islam mengajarkan nilai “tarahum” atau welas asih dengan sesama secara praksis. Al-Ma'un mengandung praksis kemanusiaan pro-duafa yang berwatak welas asih itu. Menurut Dokter Soetomo, tokoh Boedi Oetomo yang juga perintis Klinik PKU Muhammadiyah Surabaya tahun 1924, nilai welas asih (kasih sayang) dari ajaran al-Ma'un berbeda dengan pandangan tentang perjuangan manusia dalam seleksi alam ala Charles Darwin (The Orogin Of Species), bahwa hanya organisme unggul yang akan mampu bertahan dalam perjuangan hidup. Narasi itu sejalan dengan hukum siapa yang kuat maka dia yang menang dalam teori “survival of the fittest" dari sosiolog Herbert Spencer.
Sebaliknya ajaran welas asih dari Al-Ma' un justru mendasarkan perjuangan hidup secara bersama sehingga yang kuat mau berbagi dengan yang lemah, bukan sebaliknya mengorbankan yang lemah. Mereka yang lemah pun tetap berbuat baik terhadap sesama. Penderitaan akibat pandemi ini mestinya diletakkan dalam kemanusiaan yang humanistik dan profetik tentang pentingnya hidup “peduli dan berbagi" dalam bingkai nilai kasih sayang yang diajarkan Islam. Kyai Dahlan dengan cerdas dan orisinil mampu menerjemahkan ajaran welas asih dari Al Ma'un ke dalam pranata modern berupa wujud rumah sakit (hospital, ziekenhuis), rumah miskin (armeinhuis), dan rumah yatim (weeshuis). Kini Muhammadiyah dalam menghadapi pandemi Covid 19 dengan segala dampaknya terus berikhtiar tiada henti sebagai bukti konsistensi mewujudkan Islam sebagai ajaran kasih sayang bagi kemanusiaan dan kehidupan semesta.
Karenanya dengan pandemi ini penting semua orang di manapun berada mau belajar rendah hati, ternyata dengan virus kecil ini dunia kehidupan menjadi porakporanda. Menurut Albert Camus, akibat wabah manusia dilanda “absurditas”, hidup sarat kegalauan dan ketidakpastian. Filosof Perancis kelahiran Al Jazair itu mengupas kisah wabah pes di kota Oran Al-Jazair tahun 1930an, melalui karya novelnya yang terkenal “La Peste. Bagi Camus, ketika terjadi wabah, manusia jangan menjadi unta dengan mengiyakan semuanya begitu saja yang terjadi. Tapi jangan pula menjadi singa yang memberontak, melawan, dan ingin heroik. Jadilah bayi, terima segala yang terjadi, cintai apa yang terjadi. Filsuf beraliran eksistensialis itu menawarkan manusia agar “bertindak membela yang dikenai kemalangan”.
Kelima, nllai tengahan atau moderat. Moderat merupakan sinonim bahasa Arab dari tawasuf itidal tawazun, dan iqtisad yang sangat selaras dengan konsep keadilan, yang mengandung arti memilih posisi di tengah dan di antara titik-titik ekstrem. Moderat sering digunakan secara bergantian dengan istilah "rata-rata," “inti,” dan "standar,". Kebalikan dari moderat atau wasatiyyah adalah ttarruf, uluw, yang menunjukkan "kecenderungan" ke arah penggiran dan dikenal sebagai "ekstrem", "radikal" dan “berlebihan”. Wasafiyyah juga berarti pilihan terbaik seperti dalam hadis: “Nabi Muhammad adalah yang terbaik (awsat) dari keturunan Quraisy", sebagaimana hadis lain “Khairu al-'umur awsatuha”, bahwa sebaik-baik urusan ialah yang tengahan.
Di dalam diktum Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua antara lain disebutkan, bahwa: Dengan gerakan pencerahan Muhammadiyah terus bergerak dalam mengemban misi dakwah dan tajdid untuk menghadirkan Islam sebagai ajaran yang mengembangkan sikap tengahan (wasatiyyah), membangun perdamaian, menghargai kemajemukan, menghormati harkat martabat kemanusiaan laki-laki maupun perempuan, mencerdaskan kehidupan bangsa, menjunjung tinggi akhlak mulia, dan memajukan kehidupan umat manusia. Komitmen Muhammadiyah tersebut menunjukkan karakter gerakan Islam yang dinamis dan progresif dalam menjawab tantangan zaman, tanpa harus kehilangan identitas dan rujukan Islam yang autentik.”.
Muhammadiyah dalam menghadapi pandemi Covid-19 mengembangkan pendekatan wasatiyah dengan mengambil langkah berdasarkan pertimbangan "rasional ilmiah” dan "spiritual rohaniah”. Buya Hamka dalam “Taswuf Modern" menuliskan pesan sikap “tawazun" atau tawasut” dalam mengatasi masalah. Muslim tidak boleh memiliki sifat 'al jubnu” yakni takut berlebihan dalam menghadapi keadaan. Sebaliknya dilarang bersikap “tahawwur”, yaitu nekad tanpa perhitungan. Adapun sikap yang dianjurkan 'alah “syaja'ah”, yakni berani dengan seksama. Itulah ajaran “wasatiyyah Islam” dalam bersikap menghadapi sesuatu yang tidak menyenangkan agar tidak terjebak pada sikap ekstrem atau berlebihan.
Sikap wasathiyah Muhammadiyah dalam memandang dan menyikapi pandemi Covid-19 maupun masalah kehidupan lainnya merujuk pada asas interkoneksi tentang “Maqasidu al Syari'ah" (tujuan bersyariat). Aspek “hifz nafs" (menjaga jiwa) 'hifz al-aql" (menjaga akal) “hifz al-mal” (menjaga harta), dan “hifz al nasl” (menjaga keturunan) merupakan satu kesatuan yang terhubung dengan dan memiliki dasar kuat pada 'hifz al din” (menjaga agama). Kelimanya tidak dapat dipisahkan apalagi dipertentangkan, tetapi merupakan satu kesatuan yang berlandaskan pada “al Ruju ila al-Qur'an wa al Sunnah" dengan jalan ijtihad untuk menjawab problematika kehidupan. Wasatiyah Muhammadiyah merujuk pada jiwa Al-Qur'an, "Wa kazalika ja'ainakum ummatan wasatan litakunu syuhada'a ala al nasi wa yakuna al rasalu 'alaikum syahida”, yang artinya “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu" (QS Al Baqarah: 143).
Muhammadiyah berusaha mengembangkan nilai moderat atau wasatiyah yang berprinsip dan autentik, tanpa merasa paling wasatiyah, tetapi tidak pula bias wasatiyah yang atas nama moderat membenarkan "apa saja" dan menjurus pada hal-hal yang ekstrem (guluw atau tafarruf). Nilai wasatiyah Muhammadiyah didasarkan pada rujukan Al-Qur'an, Sunah Nabi yang maqbulah, dan ijtihad dengan pendekatan bayani, burhani, dan irfani yang interkoneksi didukung khazanah ilmu dan hikmah.
Keenam, nilai kesungguhan berusaha. Usaha mengatasi pandemi merupakan komitmen dan tanggung jawab bersama. Konsistensi melaksanakan kebijakan oleh pemerintah, disiplin menjalankan protokol kesehatan, melakukan vaksinasi, dan berbagai langkah lainnya merupakan keniscayaan dalam mengatasi pandemi ini. Segala ikhtiar maksimal yang bersifat rasional ilmiah dan spiritual rohaniah harus terus dilakukan sebagai jalan jihad untuk mengakhirinya. Allah memberikan jalan lapang bagi siapapun yang bersungguh-sungguh dalam berjuang mengatasi masalah kehidupan (QS Al-Ankabut: 69).
Perilaku hewaniah itu kadang bias atau absurd karena sering dibingkai oleh alam pikiran dan ilmu pengetahuan yang secara teoritik tampak benar dan sejatinya salah kaprah sehingga merendahkan martabat dan kemuliaan manusia. Manusia modern yang semestinya membangun kehidupan dengan keadaban luhur, malah jauh ke dalam sangkar besi kemodernan yang dibangunnya sendiri, sehingga menurut sosiolog Peter L. Berger manusia menjadi 'chaos”, yakni menjalani kehidupan yang kacau. Alam pikiran posmodern dengan nalar dekonstruksi dapat memutar balik epistemologi ilmu dan kehidupan yang benar menjadi salah atau disalahkan sebagaimana paradigma “post truth” yang kini meluas di ruang publik. Kemudian terjadi ironi yang salah dibenarkan dan memperoleh dukungan luas, sementara yang benar disalahkan dan ditepikan. Kehidupan 'chaos' seperti itu dalam rujukan nalar sejarah Tanah Jawa disebut hidup di zaman “Kalabendu” sebagaimana tertulis pada “Ramalan Jayabaya”.
Ketiga, nilai persaudaraan dan kebersamaan. Pandemi ini masalah bersama. Tindakan satu orang berpengaruh terhadap pihak lain dan lingkungan sekitar. Manusia tidak bisa egois dan merasa bebas dari wabah ini. Pandemi ini merupakan penderitaan semua umat manusia. Kaum beriman diajarkan bersabar dan tawakal dalam menerima musibah. Namun bukan berarti insan beriman abai dan tidak peduli terhadap keadaan, termasuk dalam merasakan penderitaan saudaranya yang terpapar dan lebih lebih yang meninggal dunia. Karenanya diperlukan rasa persaudaraan dan kebersamaan dari semua pihak sebagai wujud aktualisasi nilai utama agar menjalani kehidupan bersama di tengah perasaan satu nasib.
Kondisi darurat dan musibah ini sungguh memerlukan sikap bersaudara dan kebersamaan seluruh warga bangsa dengan nilai kasih sayang dan saling menolong. Nabi mengajarkan nilai persaudaraan sebagai berikut:
“Barangsiapa yang melapangkan salah satu kesusahan di dunia dari seorang mukmin, maka Allah akan melapangkan darinya salah satu kesusahan di hari kiamat. Barangsiapa yang memudahkan memudahkan atas kesulitan orang lain, maka Allah akan memudahkan atasnya di dunia dan akhirat. Barangsiapa yang menutupi (aib) seorang muslim, maka Allah akan menutupi (aib)nya di dunia dan akhirat. Allah senantiasa menolong hamba-Nya selagi hamba tersebut menolong saudaranya” (HR Muslim dari Abu Hurairah).
Baik dalam menghadapi pandemi maupun masalah bangsa jika ditanggung bersama dengan semangat persaudaraan maka akan lebih mudah sebagaimana pepatah Melayu, “Berat sama dipikul, Ringan sama dijinjing”. Bila terdapat perbedaan dicarikan titik temu karena ada ikatan persaudaraan dan kebersamaan. Dua jiwa utama tersebut dapat menjadi kekuatan untuk menumbuhkan sikap saling tenggang, toleran, lapang hati, dan kerja sama demi membangun kehidupan bersama. Seraya menjauhkan diri dari tindakan egoistik, pemaksaan kehendak, merasa paling benar, merasa paling digdaya, dan menjadikan Indonesia sebagai milik pribadi dan golongan sendiri. Ukhuwah dan persatuan Indonesia harus dibangun makin kokoh yang lahir dari jiwa tulus dan jujur, sehingga dapat menyelesaikan masalah masalah bangsa secara bersama.
Muhammadiyah sejak awal berkomitmen membangun kesatuan dan kebersamaan dalam berbangsa dan kemanusian semesta berlandaskan ajaran agama. Kyai Haji Ahmad Dahlan sebagaimana dipubtikasikan oleh HB Muhammadiyah Majelis Taman Pustaka pada 1923 (Mulkan, 1990), menyampaikan pesan bahwa "Manusia seluruhnya harus bersatu hati, karena: 1. Meskipun manusia memiliki kebangsaan yang berbeda-beda, sesungguhnya nenek moyang mereka adalah satu, yaitu Nabi Adam dan Hawa. Jadi sesungguhnya seluruh manusia itu satu darah daging. 2. Agar supaya dengan bersatu hati manusia dapat hidup senang secara bersama di dunia".
Keempat, nilai kasih sayang. Ajaran kasih sayang dalam Islam sangat penting dan luas yang lahir dari nilai ihsan, ukhuwah, silaturahmi, dan fa'awun dalam wujud kepeduliaan, empati, simpati, kerjasama, dan kebersamaan atas nasib sesama. Jika tidak mau membantu sesama jangan bertindak semaunya. Jika tidak dapat memberi solusi atas masalah yang dihadapi, jangan menjadi bagian dari masalah dan mengabaikan masalah. Nilai kasih sayang antarmanusia terhubung dengan kasih sayang Tuhan, sebagaimana hadis Nabi yang artinya: “Orang-orang yang penyayang itu akan dikasihi oleh Yang Maha Penyayang dan Yang Mahasuci lagi Mahatinggi, maka sayangilah makhluk yang ada di bumi niscaya kalian akan disayangi oleh makhluk yang ada di langit” (HR 'Abdullah bin Amr r.a.).
Mari letakkan musibah global ini dalam pandangan kemanusiaan yang humanistik. Menurut Steven Pinker (2018) dalam “Enlightment Now", manusia di era Pencerahan dunia modern mesti mengembangkan “a humanistic sensibility", yang menumbuhkan sentimen empati seperti kemurahan hati, belas kasih, dan rasa saling memahami satu sama lain. Sifat-sifat empati tersebut menghidupkan watak alami manusia sebagai makhluk yang “merasa” (sentient) seperti senang dan sedih, suka dan duka, bahagia dan derita. Sifat-sifat manusiawi yang alamiah itu boleh jadi sering terdelusi oleh pola pikir sekular yang rasional instrumental maupun pandangan keagamaan yang dangkal.
Islam mengajarkan nilai “tarahum” atau welas asih dengan sesama secara praksis. Al-Ma'un mengandung praksis kemanusiaan pro-duafa yang berwatak welas asih itu. Menurut Dokter Soetomo, tokoh Boedi Oetomo yang juga perintis Klinik PKU Muhammadiyah Surabaya tahun 1924, nilai welas asih (kasih sayang) dari ajaran al-Ma'un berbeda dengan pandangan tentang perjuangan manusia dalam seleksi alam ala Charles Darwin (The Orogin Of Species), bahwa hanya organisme unggul yang akan mampu bertahan dalam perjuangan hidup. Narasi itu sejalan dengan hukum siapa yang kuat maka dia yang menang dalam teori “survival of the fittest" dari sosiolog Herbert Spencer.
Sebaliknya ajaran welas asih dari Al-Ma' un justru mendasarkan perjuangan hidup secara bersama sehingga yang kuat mau berbagi dengan yang lemah, bukan sebaliknya mengorbankan yang lemah. Mereka yang lemah pun tetap berbuat baik terhadap sesama. Penderitaan akibat pandemi ini mestinya diletakkan dalam kemanusiaan yang humanistik dan profetik tentang pentingnya hidup “peduli dan berbagi" dalam bingkai nilai kasih sayang yang diajarkan Islam. Kyai Dahlan dengan cerdas dan orisinil mampu menerjemahkan ajaran welas asih dari Al Ma'un ke dalam pranata modern berupa wujud rumah sakit (hospital, ziekenhuis), rumah miskin (armeinhuis), dan rumah yatim (weeshuis). Kini Muhammadiyah dalam menghadapi pandemi Covid 19 dengan segala dampaknya terus berikhtiar tiada henti sebagai bukti konsistensi mewujudkan Islam sebagai ajaran kasih sayang bagi kemanusiaan dan kehidupan semesta.
Karenanya dengan pandemi ini penting semua orang di manapun berada mau belajar rendah hati, ternyata dengan virus kecil ini dunia kehidupan menjadi porakporanda. Menurut Albert Camus, akibat wabah manusia dilanda “absurditas”, hidup sarat kegalauan dan ketidakpastian. Filosof Perancis kelahiran Al Jazair itu mengupas kisah wabah pes di kota Oran Al-Jazair tahun 1930an, melalui karya novelnya yang terkenal “La Peste. Bagi Camus, ketika terjadi wabah, manusia jangan menjadi unta dengan mengiyakan semuanya begitu saja yang terjadi. Tapi jangan pula menjadi singa yang memberontak, melawan, dan ingin heroik. Jadilah bayi, terima segala yang terjadi, cintai apa yang terjadi. Filsuf beraliran eksistensialis itu menawarkan manusia agar “bertindak membela yang dikenai kemalangan”.
Kelima, nllai tengahan atau moderat. Moderat merupakan sinonim bahasa Arab dari tawasuf itidal tawazun, dan iqtisad yang sangat selaras dengan konsep keadilan, yang mengandung arti memilih posisi di tengah dan di antara titik-titik ekstrem. Moderat sering digunakan secara bergantian dengan istilah "rata-rata," “inti,” dan "standar,". Kebalikan dari moderat atau wasatiyyah adalah ttarruf, uluw, yang menunjukkan "kecenderungan" ke arah penggiran dan dikenal sebagai "ekstrem", "radikal" dan “berlebihan”. Wasafiyyah juga berarti pilihan terbaik seperti dalam hadis: “Nabi Muhammad adalah yang terbaik (awsat) dari keturunan Quraisy", sebagaimana hadis lain “Khairu al-'umur awsatuha”, bahwa sebaik-baik urusan ialah yang tengahan.
Di dalam diktum Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua antara lain disebutkan, bahwa: Dengan gerakan pencerahan Muhammadiyah terus bergerak dalam mengemban misi dakwah dan tajdid untuk menghadirkan Islam sebagai ajaran yang mengembangkan sikap tengahan (wasatiyyah), membangun perdamaian, menghargai kemajemukan, menghormati harkat martabat kemanusiaan laki-laki maupun perempuan, mencerdaskan kehidupan bangsa, menjunjung tinggi akhlak mulia, dan memajukan kehidupan umat manusia. Komitmen Muhammadiyah tersebut menunjukkan karakter gerakan Islam yang dinamis dan progresif dalam menjawab tantangan zaman, tanpa harus kehilangan identitas dan rujukan Islam yang autentik.”.
Muhammadiyah dalam menghadapi pandemi Covid-19 mengembangkan pendekatan wasatiyah dengan mengambil langkah berdasarkan pertimbangan "rasional ilmiah” dan "spiritual rohaniah”. Buya Hamka dalam “Taswuf Modern" menuliskan pesan sikap “tawazun" atau tawasut” dalam mengatasi masalah. Muslim tidak boleh memiliki sifat 'al jubnu” yakni takut berlebihan dalam menghadapi keadaan. Sebaliknya dilarang bersikap “tahawwur”, yaitu nekad tanpa perhitungan. Adapun sikap yang dianjurkan 'alah “syaja'ah”, yakni berani dengan seksama. Itulah ajaran “wasatiyyah Islam” dalam bersikap menghadapi sesuatu yang tidak menyenangkan agar tidak terjebak pada sikap ekstrem atau berlebihan.
Sikap wasathiyah Muhammadiyah dalam memandang dan menyikapi pandemi Covid-19 maupun masalah kehidupan lainnya merujuk pada asas interkoneksi tentang “Maqasidu al Syari'ah" (tujuan bersyariat). Aspek “hifz nafs" (menjaga jiwa) 'hifz al-aql" (menjaga akal) “hifz al-mal” (menjaga harta), dan “hifz al nasl” (menjaga keturunan) merupakan satu kesatuan yang terhubung dengan dan memiliki dasar kuat pada 'hifz al din” (menjaga agama). Kelimanya tidak dapat dipisahkan apalagi dipertentangkan, tetapi merupakan satu kesatuan yang berlandaskan pada “al Ruju ila al-Qur'an wa al Sunnah" dengan jalan ijtihad untuk menjawab problematika kehidupan. Wasatiyah Muhammadiyah merujuk pada jiwa Al-Qur'an, "Wa kazalika ja'ainakum ummatan wasatan litakunu syuhada'a ala al nasi wa yakuna al rasalu 'alaikum syahida”, yang artinya “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu" (QS Al Baqarah: 143).
Muhammadiyah berusaha mengembangkan nilai moderat atau wasatiyah yang berprinsip dan autentik, tanpa merasa paling wasatiyah, tetapi tidak pula bias wasatiyah yang atas nama moderat membenarkan "apa saja" dan menjurus pada hal-hal yang ekstrem (guluw atau tafarruf). Nilai wasatiyah Muhammadiyah didasarkan pada rujukan Al-Qur'an, Sunah Nabi yang maqbulah, dan ijtihad dengan pendekatan bayani, burhani, dan irfani yang interkoneksi didukung khazanah ilmu dan hikmah.
Keenam, nilai kesungguhan berusaha. Usaha mengatasi pandemi merupakan komitmen dan tanggung jawab bersama. Konsistensi melaksanakan kebijakan oleh pemerintah, disiplin menjalankan protokol kesehatan, melakukan vaksinasi, dan berbagai langkah lainnya merupakan keniscayaan dalam mengatasi pandemi ini. Segala ikhtiar maksimal yang bersifat rasional ilmiah dan spiritual rohaniah harus terus dilakukan sebagai jalan jihad untuk mengakhirinya. Allah memberikan jalan lapang bagi siapapun yang bersungguh-sungguh dalam berjuang mengatasi masalah kehidupan (QS Al-Ankabut: 69).