Adzan Terakhir Bilal Bin Rabah dan Dialog Jelang Sakaratul Maut
loading...
A
A
A
Bilal bin Rabah meninggalkan Madinah dan menghabiskan sisa hidupnya di Suriah. Ia tak lagi mengumandangkan adzan, sampai suatu ketika Khalifah Umar bin Khattab berkunjung ke Suriah. Pada kesempatan tersebut orang-orang meminta khalifah agar meminta Bilal Adzan untuk satu sholat saja.
Banyak pihak menyebut itu adalah Adzan terakhir Bilal bin Rabah. Namun ada versi lainnya yang menceritakan Adzan paripurna Bilal itu yang lebih mengharukan. Kisahnya begini:
Pada suatu malam yang istimewa di Suriah, Bilal sedang tertidur lelap. Malam itu, dia bermimpi didatangi Rasulullah SAW. Dan satu pertanyaan tertuju padanya, “Wahai Bilal, mengapa engkau tak pernah mengunjungiku?”
Sontak, Bilal terperanjat. Jantungnya berdebar. Dia terbangun, lalu dengan sigap ia bersiap-siap untuk menempuh perjalanan ke Madinah. Sesampainya di sana, dia berziarah di makam Nabi Muhammad SAW.
Di Kota Madinah yang penuh kenangan bersama Rasulullah SAW, Bilal menangis tersedu menumpahkan rasa rindu. Rindu kepada Sang Nabi SAW yang telah menunjuknya menjadi muaddzin.
Saat air mata membasahi pipinya, tiba-tiba datanglah dua orang pemuda berjalan mendekat. Mereka adalah cucu Rasulullah SAW, Hasan dan Husain.
Dengan mata sembab Bilal menatap keduanya. Dia bergerak mendekat, memeluk kedua cucu Nabi SAW itu. Salah seorang dari mereka bicara, “Paman, maukah engkau sekali saja mengumandangkan adzan untuk kami? Kami ingin mengenang kakek kami, paman.”
Bilal bin Rabah RA yang sudah semakin tua, hatinya luluh, tak kuasa untuk tidak memenuhi permohonan orang-orang yang lama jauh darinya. Dia pun memenuhi permintaan mereka.
Ketika waktu sholat telah tiba, dengan pijakkan kaki yang teguh, Bilal menaiki tangga ke tempat di mana dahulu dia biasa mengumandangkan Adzan. Ia menarik nafas dalam, memulai suaranya. Lantunan kumandang Adzan pun menyapa pendengaran banyak orang.
“Allahuakbar Allahuakbar….” Bilal memulai Adzan, Kota Madinah tiba-tiba saja menjadi senyap. Penduduk Madinah terkejut. Suara yang telah hilang selama bertahun-tahun terdengar lagi.
Ketika sampai pada kalimat, “Asyhadu an laa ilaha illallah….” orang-orang berlari dari segala penjuru menuju sumber suara itu. “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah…. ” sedu-sedan tangis penduduk Madinah menggema, air mata mereka membanjir. Luapan rindu yang dalam kepada Sang Utusan, Muhammad SAW tak terbendung sudah. Mereka menangis.
Terkenanglah masa-masa saat Rasulullah SAW masih berada di tengah-tengah mereka. Bilal sendiri yang tengah adzan pun tercekat, dia tidak sanggup meneruskannya. Air matanya berderai-derai di pipi.
Hari itu, Madinah berluapan rasa rindu nan syahdu. Tak ada pribadi agung yang begitu dicintai seperti Nabi Muhammad SAW.
Lantunan adzan Bilal bin Rabah-lah yang memulainya, yang memantiknya menjadi nyala cahaya. Itulah Adzan terakhir dalam usia senja sang muadzin pertama dunia. Adzan yang tak pernah dia bisa tuntaskan karena terlalu sedih.
Dialog Menjelang Ajal
Menjelang ajalnya di Suriah, Bilal terbaring di atas tempat tidur, sementara istrinya duduk di sampingnya seraya berkata, “Sungguh menyedihkan musibah yang kualami!”
Bilal menjawab, “Justru inilah saat kebahagiaan dan kesenangan. Tahukah engkau bahwa kematian merupakan sesuatu yang membahagiakan?”
Istrinya berkata, “Saat perpisahan telah tiba.”
Banyak pihak menyebut itu adalah Adzan terakhir Bilal bin Rabah. Namun ada versi lainnya yang menceritakan Adzan paripurna Bilal itu yang lebih mengharukan. Kisahnya begini:
Pada suatu malam yang istimewa di Suriah, Bilal sedang tertidur lelap. Malam itu, dia bermimpi didatangi Rasulullah SAW. Dan satu pertanyaan tertuju padanya, “Wahai Bilal, mengapa engkau tak pernah mengunjungiku?”
Sontak, Bilal terperanjat. Jantungnya berdebar. Dia terbangun, lalu dengan sigap ia bersiap-siap untuk menempuh perjalanan ke Madinah. Sesampainya di sana, dia berziarah di makam Nabi Muhammad SAW.
Di Kota Madinah yang penuh kenangan bersama Rasulullah SAW, Bilal menangis tersedu menumpahkan rasa rindu. Rindu kepada Sang Nabi SAW yang telah menunjuknya menjadi muaddzin.
Saat air mata membasahi pipinya, tiba-tiba datanglah dua orang pemuda berjalan mendekat. Mereka adalah cucu Rasulullah SAW, Hasan dan Husain.
Dengan mata sembab Bilal menatap keduanya. Dia bergerak mendekat, memeluk kedua cucu Nabi SAW itu. Salah seorang dari mereka bicara, “Paman, maukah engkau sekali saja mengumandangkan adzan untuk kami? Kami ingin mengenang kakek kami, paman.”
Bilal bin Rabah RA yang sudah semakin tua, hatinya luluh, tak kuasa untuk tidak memenuhi permohonan orang-orang yang lama jauh darinya. Dia pun memenuhi permintaan mereka.
Ketika waktu sholat telah tiba, dengan pijakkan kaki yang teguh, Bilal menaiki tangga ke tempat di mana dahulu dia biasa mengumandangkan Adzan. Ia menarik nafas dalam, memulai suaranya. Lantunan kumandang Adzan pun menyapa pendengaran banyak orang.
“Allahuakbar Allahuakbar….” Bilal memulai Adzan, Kota Madinah tiba-tiba saja menjadi senyap. Penduduk Madinah terkejut. Suara yang telah hilang selama bertahun-tahun terdengar lagi.
Ketika sampai pada kalimat, “Asyhadu an laa ilaha illallah….” orang-orang berlari dari segala penjuru menuju sumber suara itu. “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah…. ” sedu-sedan tangis penduduk Madinah menggema, air mata mereka membanjir. Luapan rindu yang dalam kepada Sang Utusan, Muhammad SAW tak terbendung sudah. Mereka menangis.
Terkenanglah masa-masa saat Rasulullah SAW masih berada di tengah-tengah mereka. Bilal sendiri yang tengah adzan pun tercekat, dia tidak sanggup meneruskannya. Air matanya berderai-derai di pipi.
Hari itu, Madinah berluapan rasa rindu nan syahdu. Tak ada pribadi agung yang begitu dicintai seperti Nabi Muhammad SAW.
Lantunan adzan Bilal bin Rabah-lah yang memulainya, yang memantiknya menjadi nyala cahaya. Itulah Adzan terakhir dalam usia senja sang muadzin pertama dunia. Adzan yang tak pernah dia bisa tuntaskan karena terlalu sedih.
Dialog Menjelang Ajal
Menjelang ajalnya di Suriah, Bilal terbaring di atas tempat tidur, sementara istrinya duduk di sampingnya seraya berkata, “Sungguh menyedihkan musibah yang kualami!”
Bilal menjawab, “Justru inilah saat kebahagiaan dan kesenangan. Tahukah engkau bahwa kematian merupakan sesuatu yang membahagiakan?”
Istrinya berkata, “Saat perpisahan telah tiba.”