Beberapa Kali Umar Berselisih Pendapat dengan Rasulullah
loading...
A
A
A
Mereka menjawab: "Rasulullah sudah terbunuh."
"Untuk apa lagi kita hidup sesudah itu. Bangunlah! Biarlah kita juga mati untuk tujuan yang sama," pekik Anas bin an-Nadr.
Sesudah itu ia maju menghadapi musuh. Ia bertempur mati-matian, bertempur tiada taranya. Ia syahid setelah mengalami tujuh puluh pukulan musuh, sehingga ketika itu orang sudah tidak dapat mengenalnya lagi, kalau tidak karena saudara perempuannya yang datang dan dapat mengenalnya dari ujung jarinya.
Tetapi begitu pasukan muslim tahu bahwa Rasulullah masih hidup, keimanan mereka kembali menggugah mereka, bahwa Allah akan menolong Rasul-Nya. Abu Bakar, Umar, Ali bin Abi Talib, az-Zubair bin al-Awwam dan yang lain bergegas melindunginya.
Mengetahui keadaan ini Khalid bin Walid naik ke atas bukit memimpin pasukan berkuda dengan tujuan menghabisi Nabi Muhammad dan orang-orang di sekitarnya. Tetapi Umar bin Khattab dan beberapa orang lagi dari pihak Muslimin sudah siap menghadapi Khalid dan pasukan berkudanya. Mati-matian mereka mengadakan perlawanan dan melindungi Rasulullah sampai berhasil mengusir mereka mundur. Tujuan Khalid tidak tercapai. ( )
Haekal mengatakan bahwa sikap Umar terhadap tawanan Perang Badar dan wahyu yang kemudian turun memperkuat pendapatnya serta sikapnya menghadapi Khalid bin Walid sebelum menyergap Nabi dan orang-orang di sekitarnya, kedua sikapnya ini sudah menunjukkan bukti yang kuat sekali tentang menyatunya agama Allah ke dalam diri Umar.
Tidak heran, sejak muda hati Umar sudah teguh pada apa yang diyakininya, dan orang demikian bersedia menyerahkan hidupnya demi keyakinannya. “Kita sudah melihat beberapa posisi Umar di masa jahiliah. Semangatnya atau fanatiknya yang begitu besar terhadap Quraisy di luar kabilah-kabilah yang lain, juga semangatnya dalam menghadapi dakwah Muhammad, sehingga dia sendiri juga ikut menyiksa kaum Muslimin yang mula-mula,” tulis Haekal.
Setelah mendapat hidayah dan Allah membimbing hatinya dengan binaan yang kuat kepada-Nya, ia berdiri tegak di samping agama Allah, membelanya dengan semangat dan cara yang sama seperti ketika memeranginya dulu.
Sekarang, lanjut Haekal, setelah Muslimin dapat agama dan Nabinya, dalam membela agama ini Umar mau mengorbankan segalanya, juga mau mengorbankan nyawanya. Rasa putus asa yang sempat menimpanya dan menimpa Muslimin yang lain tatkala pihak Quraisy mengatakan Nabi sudah meninggal, menurut Haekal, menjadi sebagian rasa semangatnya terhadap agama ini, sehingga rasa sedihnya itu membuatnya lepas dari ketajaman pikirannya.
Akan tetapi, setelah diketahuinya bahwa Rasulullah masih hidup, ia tampil menyerahkan seluruh hidupnya demi imannya itu, dan Allah memberi kemenangan kepadanya melawan jenderal jenius yang sangat dibanggakan Quraisy itu dan telah memberi keuntungan kepada mereka dalam Perang Uhud.
Tetapi iman dan semangat Umar terhadap imannya itu tak dapat menahan kebanggaan dirinya, tak dapat menahan kepercayaannya kepada pendapatnya di depan Rasulullah sendiri.
Haekal menulis, dalam membanggakan pendapatnya Umar termasuk orang yang paling kuat alasannya di kalangan Muslimin, dan paling menonjol. Memang benar bahwa Muslimin, semuanya tidak mengenal lemah, dan ada yang menyampaikan pendapatnya kepada Rasulullah dan berdebat untuk mempertahankan pendapatnya atau mau meyakinkan lawan bicaranya, yang memang sudah menjadi ciri khas orang-orang yang berpendirian kuat di masa-masa revolusi, karena dengan itu mereka ingin pendirian yang menjadi cita-citanya mencapai tujuan.
Tetapi Umar yang paling berterus terang dan paling berani. Tanpa mengurangi cintanya kepada Rasulullah serta kuatnya iman akan risalahnya, ia mau menyampaikan pendapatnya di depan Rasulullah dan mau mempertahankannya.
“Sudah kita lihat sikapnya mengenai tawanan Perang Badar, bagaimana ia meminta izin akan mencabut dua gigi seri Suhail bin Amr sesudah Muslimin menerima tebusan para tawanan itu. Dan kelak kita akan melihat sikap demikian ini dalam persahabatannya dengan Rasulullah dan pada masa pemerintahan Abu Bakar. Kita akan melihat ijtihadnya di masa Rasulullah yang kemudian sebagian dikuatkan oleh Qur'an, di samping ketentuan-ketentuan hukum dan prinsip-prinsip hasil ijtihadnya yang kita lihat sesudah Rasulullah wafat, yang sampai sekarang tetap menjadi pegangan kaum Muslimin,” demikian Muhammad Husain Haekal. ( )
"Untuk apa lagi kita hidup sesudah itu. Bangunlah! Biarlah kita juga mati untuk tujuan yang sama," pekik Anas bin an-Nadr.
Sesudah itu ia maju menghadapi musuh. Ia bertempur mati-matian, bertempur tiada taranya. Ia syahid setelah mengalami tujuh puluh pukulan musuh, sehingga ketika itu orang sudah tidak dapat mengenalnya lagi, kalau tidak karena saudara perempuannya yang datang dan dapat mengenalnya dari ujung jarinya.
Tetapi begitu pasukan muslim tahu bahwa Rasulullah masih hidup, keimanan mereka kembali menggugah mereka, bahwa Allah akan menolong Rasul-Nya. Abu Bakar, Umar, Ali bin Abi Talib, az-Zubair bin al-Awwam dan yang lain bergegas melindunginya.
Mengetahui keadaan ini Khalid bin Walid naik ke atas bukit memimpin pasukan berkuda dengan tujuan menghabisi Nabi Muhammad dan orang-orang di sekitarnya. Tetapi Umar bin Khattab dan beberapa orang lagi dari pihak Muslimin sudah siap menghadapi Khalid dan pasukan berkudanya. Mati-matian mereka mengadakan perlawanan dan melindungi Rasulullah sampai berhasil mengusir mereka mundur. Tujuan Khalid tidak tercapai. ( )
Haekal mengatakan bahwa sikap Umar terhadap tawanan Perang Badar dan wahyu yang kemudian turun memperkuat pendapatnya serta sikapnya menghadapi Khalid bin Walid sebelum menyergap Nabi dan orang-orang di sekitarnya, kedua sikapnya ini sudah menunjukkan bukti yang kuat sekali tentang menyatunya agama Allah ke dalam diri Umar.
Tidak heran, sejak muda hati Umar sudah teguh pada apa yang diyakininya, dan orang demikian bersedia menyerahkan hidupnya demi keyakinannya. “Kita sudah melihat beberapa posisi Umar di masa jahiliah. Semangatnya atau fanatiknya yang begitu besar terhadap Quraisy di luar kabilah-kabilah yang lain, juga semangatnya dalam menghadapi dakwah Muhammad, sehingga dia sendiri juga ikut menyiksa kaum Muslimin yang mula-mula,” tulis Haekal.
Setelah mendapat hidayah dan Allah membimbing hatinya dengan binaan yang kuat kepada-Nya, ia berdiri tegak di samping agama Allah, membelanya dengan semangat dan cara yang sama seperti ketika memeranginya dulu.
Sekarang, lanjut Haekal, setelah Muslimin dapat agama dan Nabinya, dalam membela agama ini Umar mau mengorbankan segalanya, juga mau mengorbankan nyawanya. Rasa putus asa yang sempat menimpanya dan menimpa Muslimin yang lain tatkala pihak Quraisy mengatakan Nabi sudah meninggal, menurut Haekal, menjadi sebagian rasa semangatnya terhadap agama ini, sehingga rasa sedihnya itu membuatnya lepas dari ketajaman pikirannya.
Akan tetapi, setelah diketahuinya bahwa Rasulullah masih hidup, ia tampil menyerahkan seluruh hidupnya demi imannya itu, dan Allah memberi kemenangan kepadanya melawan jenderal jenius yang sangat dibanggakan Quraisy itu dan telah memberi keuntungan kepada mereka dalam Perang Uhud.
Tetapi iman dan semangat Umar terhadap imannya itu tak dapat menahan kebanggaan dirinya, tak dapat menahan kepercayaannya kepada pendapatnya di depan Rasulullah sendiri.
Haekal menulis, dalam membanggakan pendapatnya Umar termasuk orang yang paling kuat alasannya di kalangan Muslimin, dan paling menonjol. Memang benar bahwa Muslimin, semuanya tidak mengenal lemah, dan ada yang menyampaikan pendapatnya kepada Rasulullah dan berdebat untuk mempertahankan pendapatnya atau mau meyakinkan lawan bicaranya, yang memang sudah menjadi ciri khas orang-orang yang berpendirian kuat di masa-masa revolusi, karena dengan itu mereka ingin pendirian yang menjadi cita-citanya mencapai tujuan.
Tetapi Umar yang paling berterus terang dan paling berani. Tanpa mengurangi cintanya kepada Rasulullah serta kuatnya iman akan risalahnya, ia mau menyampaikan pendapatnya di depan Rasulullah dan mau mempertahankannya.
“Sudah kita lihat sikapnya mengenai tawanan Perang Badar, bagaimana ia meminta izin akan mencabut dua gigi seri Suhail bin Amr sesudah Muslimin menerima tebusan para tawanan itu. Dan kelak kita akan melihat sikap demikian ini dalam persahabatannya dengan Rasulullah dan pada masa pemerintahan Abu Bakar. Kita akan melihat ijtihadnya di masa Rasulullah yang kemudian sebagian dikuatkan oleh Qur'an, di samping ketentuan-ketentuan hukum dan prinsip-prinsip hasil ijtihadnya yang kita lihat sesudah Rasulullah wafat, yang sampai sekarang tetap menjadi pegangan kaum Muslimin,” demikian Muhammad Husain Haekal. ( )
(mhy)