Begini Siasat Persekongkolan Pembunuhan Unta Mukjizat Nabi Shaleh
loading...
A
A
A
Pembunuhan unta mukjizat Nabi Shaleh untuk kaum Tsamud ternyata melalui persekongkolan banyak orang. Ibnu Katsir dalam "Qashash an-Anbiya" menggambarkan bahwa pembunuhan itu dilakukan agar mereka dapat terbebas dari aturan yang mereka sepakati dengan Nabi Shaleh sebelumnya dan leluasa mengambil air kapan saja mereka mau.
Kisah ini berawal ketika kaum Tsamud tengah berkumpul di sebuah tempat datanglah Nabi Shaleh menyerukan kepada mereka dakwahnya agar mereka kembali ke jalan Allah. Ia mengingatkan, menyuruh, memberi peringatan, dan menasihati mereka.
Lalu kaum Tsamud berkata, “Sanggupkah kamu memenuhi permintaan kami untuk mengeluarkan seekor unta dari batu ini (mereka menunjuk pada sebuah batu besar) dengan bentuk seperti ini dan itu (mereka menyebutkan beberapa sifat) yang harus dimiliki oleh unta tersebut dan bahkan melebih-lebihkannya agar Nabi Shaleh benar-benar tak mampu untuk melakukannya, dan unta itu juga harus sedang hamil tua dengan sifat-sifat seperti ini dan itu.
Maka berkatalah Nabi Shaleh, "Bagaimana jika aku terima tantangan itu dan memenuhi permintaan kalian sesuai dengan seluruh sifat-sifat yang kalian gambarkan, apakah kalian mau beriman dan mempercayai ajaran yang aku bawa kepada kalian?"
Mereka menjawab, "Tentu saja, kami bersedia untuk beriman dan berjanji akan mengikuti ajaranmu."
Para ulama tafsir menyebutkan, setelah itu Nabi Shaleh pun berdiri di tempat ibadahnya dan beribadah sebanyak mungkin yang ia mampu, lalu setelah itu ia berdoa agar permintaan kaumnya itu dikabulkan oleh Allah.
Dan ternyata Allah mengabulkan permintaan Rasul-Nya. Allah SWT memerintahkan kepada batu besar itu untuk membelah diri dan mengeluarkan seekor unta besar yang sedang hamil dengan sifat-sifat yang digambarkan oleh kaum Tsamud sebelumnya.
Ketika mereka menyaksikan sendiri mukjizat tersebut, mereka terpana melihat sesuatu yang luar biasa, fenomena yang dahsyat, kekuasaan yang tiada tandingannya, bukti yang sangat nyata, petunjuk yang tidak terbantahkan lagi. Maka setelah itu sejumlah masyarakat segera menyatakan diri beriman, namun sebagian besar lainnya tetap bersikukuh pada kekufuran, kesesatan, dan keingkaran mereka.
Mereka yang masih kufur itulah yang dimaksud pada firman Allah, “tetapi mereka berbuat aniaya” yakni, sebagian besar dari mereka mengingkari mukjizat tersebut dan tidak mau mengikuti kebenaran yang ditunjukkan kepada mereka.
Menurut Ibnu Katsir, mereka yang memilih untuk beriman ketika itu dikepalai oleh Junda bin Amru bin Makhilla bin Labid bin Jawwas. Ia sebelumnya adalah salah satu dari pemuka kaum Tsamud yang dihormati.
Lalu ketika para pemuka lainnya hendak mengikuti Junda untuk beriman mereka dihalangi oleh Dzuab bin Amru bin Labid, Habbab, dan Rabab bin Sham'ar bin Jalmas.
Kemudian Junda mengajak sepupunya Syuhab bin Khalifah yang juga menjadi salah satu tokoh masyarakat ketika itu untuk beriman sepertinya, namun saat ia ingin mengikuti ajakan Junda ia juga dihalangi oleh ketiga orang tersebut.
Melihat hal itu salah seorang yang sudah beriman yang bernama Mihrasy bin Ghanmah bin Dumail melantunkan syair,
Sekelompok pemuka kaum dari keluarga Amru,
Telah mengajak Syihab untuk mengikuti ajaran Nabi.
Mereka semua adalah orang-orang terpandang bagi kaumTsamud,
Lalu ia pun berniat untuk mengikuti ajakan tersebut.
Kalau saja ia benar mengikuti, maka Shaleh akan dimuliakan,
Namun ia terpengaruh oleh Dzuab yang menghalanginya.
Maka penduduk Hijr pun mengikutinya,
Mereka berpaling padahal mereka hampir mendapat hidayah.
Lalu Nabi Shaleh berkata, “Ini (seekor) unta betina dari Allah sebagai tanda untukmu.” ( QS Al-A'raf : 73), yakni, sebagai bukti kebenaran atas apa yang aku sampaikan.
Ibnu Katsir menjelaskan penyandaran kata “naaqah” (unta) kepada lafzhul Jalalah, Allah, adalah penyandaran pensucian dan pengagungan, seperti penyandaran kata "bait" (rumah) menjadi "baitullah”, atau juga seperti kata abdu (hamba) menjadi abdullah.
Lalu Nabi Shaleh melanjutkan, “Sebab itu biarkanlah dia makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya dengan gangguan apa pun yang akan menyebabkan kamu segera ditimpa azab.” ( QS Hud : 64).
Baca Juga
Kisah ini berawal ketika kaum Tsamud tengah berkumpul di sebuah tempat datanglah Nabi Shaleh menyerukan kepada mereka dakwahnya agar mereka kembali ke jalan Allah. Ia mengingatkan, menyuruh, memberi peringatan, dan menasihati mereka.
Lalu kaum Tsamud berkata, “Sanggupkah kamu memenuhi permintaan kami untuk mengeluarkan seekor unta dari batu ini (mereka menunjuk pada sebuah batu besar) dengan bentuk seperti ini dan itu (mereka menyebutkan beberapa sifat) yang harus dimiliki oleh unta tersebut dan bahkan melebih-lebihkannya agar Nabi Shaleh benar-benar tak mampu untuk melakukannya, dan unta itu juga harus sedang hamil tua dengan sifat-sifat seperti ini dan itu.
Maka berkatalah Nabi Shaleh, "Bagaimana jika aku terima tantangan itu dan memenuhi permintaan kalian sesuai dengan seluruh sifat-sifat yang kalian gambarkan, apakah kalian mau beriman dan mempercayai ajaran yang aku bawa kepada kalian?"
Mereka menjawab, "Tentu saja, kami bersedia untuk beriman dan berjanji akan mengikuti ajaranmu."
Para ulama tafsir menyebutkan, setelah itu Nabi Shaleh pun berdiri di tempat ibadahnya dan beribadah sebanyak mungkin yang ia mampu, lalu setelah itu ia berdoa agar permintaan kaumnya itu dikabulkan oleh Allah.
Dan ternyata Allah mengabulkan permintaan Rasul-Nya. Allah SWT memerintahkan kepada batu besar itu untuk membelah diri dan mengeluarkan seekor unta besar yang sedang hamil dengan sifat-sifat yang digambarkan oleh kaum Tsamud sebelumnya.
Ketika mereka menyaksikan sendiri mukjizat tersebut, mereka terpana melihat sesuatu yang luar biasa, fenomena yang dahsyat, kekuasaan yang tiada tandingannya, bukti yang sangat nyata, petunjuk yang tidak terbantahkan lagi. Maka setelah itu sejumlah masyarakat segera menyatakan diri beriman, namun sebagian besar lainnya tetap bersikukuh pada kekufuran, kesesatan, dan keingkaran mereka.
Mereka yang masih kufur itulah yang dimaksud pada firman Allah, “tetapi mereka berbuat aniaya” yakni, sebagian besar dari mereka mengingkari mukjizat tersebut dan tidak mau mengikuti kebenaran yang ditunjukkan kepada mereka.
Menurut Ibnu Katsir, mereka yang memilih untuk beriman ketika itu dikepalai oleh Junda bin Amru bin Makhilla bin Labid bin Jawwas. Ia sebelumnya adalah salah satu dari pemuka kaum Tsamud yang dihormati.
Lalu ketika para pemuka lainnya hendak mengikuti Junda untuk beriman mereka dihalangi oleh Dzuab bin Amru bin Labid, Habbab, dan Rabab bin Sham'ar bin Jalmas.
Kemudian Junda mengajak sepupunya Syuhab bin Khalifah yang juga menjadi salah satu tokoh masyarakat ketika itu untuk beriman sepertinya, namun saat ia ingin mengikuti ajakan Junda ia juga dihalangi oleh ketiga orang tersebut.
Melihat hal itu salah seorang yang sudah beriman yang bernama Mihrasy bin Ghanmah bin Dumail melantunkan syair,
Sekelompok pemuka kaum dari keluarga Amru,
Telah mengajak Syihab untuk mengikuti ajaran Nabi.
Mereka semua adalah orang-orang terpandang bagi kaumTsamud,
Lalu ia pun berniat untuk mengikuti ajakan tersebut.
Kalau saja ia benar mengikuti, maka Shaleh akan dimuliakan,
Namun ia terpengaruh oleh Dzuab yang menghalanginya.
Maka penduduk Hijr pun mengikutinya,
Mereka berpaling padahal mereka hampir mendapat hidayah.
Lalu Nabi Shaleh berkata, “Ini (seekor) unta betina dari Allah sebagai tanda untukmu.” ( QS Al-A'raf : 73), yakni, sebagai bukti kebenaran atas apa yang aku sampaikan.
Ibnu Katsir menjelaskan penyandaran kata “naaqah” (unta) kepada lafzhul Jalalah, Allah, adalah penyandaran pensucian dan pengagungan, seperti penyandaran kata "bait" (rumah) menjadi "baitullah”, atau juga seperti kata abdu (hamba) menjadi abdullah.
Lalu Nabi Shaleh melanjutkan, “Sebab itu biarkanlah dia makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya dengan gangguan apa pun yang akan menyebabkan kamu segera ditimpa azab.” ( QS Hud : 64).