7 Keutamaan Puasa Ramadhan, Nomor 1 Banyak yang Mendambakan
loading...
A
A
A
Paling tidak ada tujuh keutamaan puasa ramadhan . Ketujuh keutamaan itu sebagai bentuk penempaan jiwa sekaligus penyucian diri (tazkiyatun nafs) bagi seorang hamba.
Syekh Izzuddin Abdil Aziz bin Abdussalam dalam kitabnya berjudul "Maqashid al-Shaum" menyebut 7 keutamaan tersebut adalah meninggikan derajat, menghapus kesalahan, mengendalikan syahwat, memperbanyak sedekah, penyempurnaan ketaatan, mensyukuri kenikmatan yang tidak disadari, mencegah keinginan untuk bermaksiat dan mempertajam perselisihan.
Pertama, meninggikan derajat (raf’u darajat)
Syekh Izzuddin Abdil Aziz mengutip sabda Nabi Muhammad SAW yang berbunyi:
إِذَا جَاءَ رَمَضَانَ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنَ
“Tatkala Ramadhan telah tiba, dibukakanlah pintu-pintu surga, ditutuplah pintu-pintu neraka, dan setan pun dibelenggu”. (HR Muslim)
Dalam riwayat yang lain,
إِنَّ فِي الجَنَّة بَابًا يُدْعَى الرَّيَّانُ، يُدْعَى بِهِ الصَّائِمُوْنَ، مَنْ كَانَ مِنَ الصَّائِمِيْنَ دَخَلَهُ وَمَنْ دَخَلَهُ لَمْ يَظْمَأُ أَبَدًا
“Sesungguhnya di surga ada sebuah pintu yang disebut al-Rayyan, di mana disediakan untuk mereka yang berpuasa. Barang siapa yang termasuk orang yang berpuasa maka ia akan masuk darinya (pintu al-rayyan), serta siapa yang memasukinya, ia tidak akan haus selamanya” (HR Ahmad)
Dari dua hadis Nabi tersebut, Syekh Izzuddin Abdil Aziz menyimpulkan bahwa kewajiban puasa Ramadhan beserta segala keutamaannya mengisyaratkan bagi umat Islam untuk memperbanyak ketaatan (taktsir al-tha’at). Artinya, dengan dibukanya pintu surga merupakan bentuk targhib (motivasi atau dorongan) untuk memperbanyak ibadah, misalnya berdzikir, tadarusan, shalat tahajud, dan sebagainya.
Dengan ditutupnya pintu neraka (taghliq abwab al-nar) dan terbelenggunya setan, maka Syekh Izzuddin mempersepsikannya sebagai bentuk pengurangan maksiat (qillah al-ma’ashy).
Sementara terbelenggunya setan (tashfid al-syayathin). Isyarat ini ditafsiri sebagai tanda terputusnya kewaswasan (inqatha’a waswasathihim) bagi orang yang berpuasa.
Dalam artian, betapa tidak etisnya manusia jika sudah diberikan bulan mulia Ramadhan masih berbuat buruk dan enggan mengerjakan kebaikan serta memperbanyak ibadah.
Kedua, menghapus kesalahan atau takfir al-khathi’at. Hal ini didasarkan pada hadits Nabi Muhammad SAW:
رَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفَّرَاتٌ مَابَيْنَهُنَّ، إِذَا اجْتَنَبَتَ الْكَبَائِرَ
“Ramadhan satu ke Ramadhan yang lain sebagai bentuk kafarat (dosa) di antara keduanya jika kamu menjauhkan diri dari dosa-dosa besar”. (HR Ahmad 2/400 dan HR Muslim No. 233 dalam Bab Thaharah).
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. (HR Bukhari dan Muslim)
Syekh Izzuddin Abdil Aziz memaknai kata “imanan” adalah biwujubihi (meyakini adanya kewajiban puasa dan berkewajiban menjalankannya). Sedangkan ihtisaban, bermaka merendahkan diri sembari berharap pahala dari Tuhannya (li ajrihi ‘inda rabbihi).
Ketiga, mengendalikan syahwat atau kasru al-syahawat.
Umat Islam hendaknya mampu mengendalikan atau menaklukkan syahwat. Ia berdikari atas syahwatnya, bukan justru ditunggangi oleh syahwatnya. Sebagaimana sabda Nabi SAW:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ, فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ, وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ, وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ, فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai para pemuda, barangsiapa yang mampu untuk menikah, maka menikahlah. Sesungguhnya menikah lebih bisa menundukan pandangan dan lebih mudah menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu menikah, maka berpuasalah, sesungguhnya puasa itu adalah benteng syahwatnya.” (HR Imam Ahmad dan Imam Bukhari)
Jadi, dengan berpuasa Ramadhan, tidak makan dan minum itu dapat menjadi sarana untuk mampu mengalahkan syahwat. Beliau menuturkan,
فَإِنَّ الْجُوْعَ وَالظَّمَأَ يُكَسِّرَانِ شَهْوَةَ الْمَعَاصِي
“Sesungguhnya lapar dan haus dapat mengalahkan syahwat bermaksiat”
Dalam konteks ini, yang dimaksudkan dengan “lapar dan haus” adalah yang disertai niat karena ibadah kepada Allah SWT. Dengan niat tersebut, maka lapar dan haus menjadi madrasah untuk menempa diri manusia, mengendalikan nafsu libidinal dan mampu kapan ia untuk mengegas dan mengerem.
Keempat, memperbanyak sedekah atau taktsir al-shadaqat
Menurut Syekh Izzuddin Abdil Aziz, sedekah berimplikasi pada pembentukan karakter diri manusia. “Sesungguhnya orang berpuasa ketika dia merasakan lapar, lalu ia mengingat rasa lapar itu, maka hal itulah yang memberikan dorongan kepadanya untuk memberi makan pada orang yang lapar,” ujarnya.
Kelima, penyempurnaan ketaatan atau taufir al-tha’at
Menurut Syekh Izzuddin Abdil Aziz, puasa mengingatkan akan rasa lapar dan hausnya ahli neraka. Karena itulah yang mendorong orang berpuasa untuk memperbanyak ketaatan kepada Allah SWT agar selamat dari api neraka.
Keenam, mensyukuri kenikmatan yang tidak disadari atau syukr ‘alim al-khafiyyat
Acapkali manusia lalai terhadap nikmat Allah SWT. Sampai-sampai Nabi SAW pernah menyinggungnya bahwa ada dua kenikmatan yang seringkali dilupakan manusia, yaitu nikmat kesehatan (shihhah) dan kesempatan (al-faragh).
Syekh Izzuddin Abdil Aziz mengatakan, jika seseorang berpuasa maka ia menjadi tahu akan nikmat Allah SWT yang diberikannya berupa rasa kenyang dan rasa segar, maka bersyukurlah atas nikmat itu. "Karena nikmat tersebut baru mempunyai arti penting tatkala nikmat itu telah hilang,” katanya.
Ketujuh, mencegah keinginan untuk bermaksiat dan mempertajam perselisihan.
Syekh Izzuddin Abdil Aziz menjelaskan bahwa orang yang kenyang mempunyai probabilitas tinggi untuk bermaksiat (thamahat ila al-ma’ashy). Hal ini jauh berbeda ketika manusia terasa lapar dan haus, maka ia akan mencari sesuatu yang mampu memenuhi keduanya sehingga berdampak pada pengurangan keinginan untuk berbuat buruk atau maksiat.
Sederhananya, puasa menjadi ajang preventif untuk menahan diri dari segala hawa nafsu, baik syahwat seks maupun hasrat materialisme sehingga diharapkan ia meraih derajat yang tinggi, yakni muttaqin (orang-orang yang bertakwa di sisi-Nya). Ini adalah tingkatan tertinggi dalam prestasi manusia.
Syekh Izzuddin Abdil Aziz bin Abdussalam dalam kitabnya berjudul "Maqashid al-Shaum" menyebut 7 keutamaan tersebut adalah meninggikan derajat, menghapus kesalahan, mengendalikan syahwat, memperbanyak sedekah, penyempurnaan ketaatan, mensyukuri kenikmatan yang tidak disadari, mencegah keinginan untuk bermaksiat dan mempertajam perselisihan.
Baca Juga
Pertama, meninggikan derajat (raf’u darajat)
Syekh Izzuddin Abdil Aziz mengutip sabda Nabi Muhammad SAW yang berbunyi:
إِذَا جَاءَ رَمَضَانَ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنَ
“Tatkala Ramadhan telah tiba, dibukakanlah pintu-pintu surga, ditutuplah pintu-pintu neraka, dan setan pun dibelenggu”. (HR Muslim)
Dalam riwayat yang lain,
إِنَّ فِي الجَنَّة بَابًا يُدْعَى الرَّيَّانُ، يُدْعَى بِهِ الصَّائِمُوْنَ، مَنْ كَانَ مِنَ الصَّائِمِيْنَ دَخَلَهُ وَمَنْ دَخَلَهُ لَمْ يَظْمَأُ أَبَدًا
“Sesungguhnya di surga ada sebuah pintu yang disebut al-Rayyan, di mana disediakan untuk mereka yang berpuasa. Barang siapa yang termasuk orang yang berpuasa maka ia akan masuk darinya (pintu al-rayyan), serta siapa yang memasukinya, ia tidak akan haus selamanya” (HR Ahmad)
Dari dua hadis Nabi tersebut, Syekh Izzuddin Abdil Aziz menyimpulkan bahwa kewajiban puasa Ramadhan beserta segala keutamaannya mengisyaratkan bagi umat Islam untuk memperbanyak ketaatan (taktsir al-tha’at). Artinya, dengan dibukanya pintu surga merupakan bentuk targhib (motivasi atau dorongan) untuk memperbanyak ibadah, misalnya berdzikir, tadarusan, shalat tahajud, dan sebagainya.
Dengan ditutupnya pintu neraka (taghliq abwab al-nar) dan terbelenggunya setan, maka Syekh Izzuddin mempersepsikannya sebagai bentuk pengurangan maksiat (qillah al-ma’ashy).
Sementara terbelenggunya setan (tashfid al-syayathin). Isyarat ini ditafsiri sebagai tanda terputusnya kewaswasan (inqatha’a waswasathihim) bagi orang yang berpuasa.
Dalam artian, betapa tidak etisnya manusia jika sudah diberikan bulan mulia Ramadhan masih berbuat buruk dan enggan mengerjakan kebaikan serta memperbanyak ibadah.
Kedua, menghapus kesalahan atau takfir al-khathi’at. Hal ini didasarkan pada hadits Nabi Muhammad SAW:
رَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفَّرَاتٌ مَابَيْنَهُنَّ، إِذَا اجْتَنَبَتَ الْكَبَائِرَ
“Ramadhan satu ke Ramadhan yang lain sebagai bentuk kafarat (dosa) di antara keduanya jika kamu menjauhkan diri dari dosa-dosa besar”. (HR Ahmad 2/400 dan HR Muslim No. 233 dalam Bab Thaharah).
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. (HR Bukhari dan Muslim)
Syekh Izzuddin Abdil Aziz memaknai kata “imanan” adalah biwujubihi (meyakini adanya kewajiban puasa dan berkewajiban menjalankannya). Sedangkan ihtisaban, bermaka merendahkan diri sembari berharap pahala dari Tuhannya (li ajrihi ‘inda rabbihi).
Ketiga, mengendalikan syahwat atau kasru al-syahawat.
Umat Islam hendaknya mampu mengendalikan atau menaklukkan syahwat. Ia berdikari atas syahwatnya, bukan justru ditunggangi oleh syahwatnya. Sebagaimana sabda Nabi SAW:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ, فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ, وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ, وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ, فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai para pemuda, barangsiapa yang mampu untuk menikah, maka menikahlah. Sesungguhnya menikah lebih bisa menundukan pandangan dan lebih mudah menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu menikah, maka berpuasalah, sesungguhnya puasa itu adalah benteng syahwatnya.” (HR Imam Ahmad dan Imam Bukhari)
Jadi, dengan berpuasa Ramadhan, tidak makan dan minum itu dapat menjadi sarana untuk mampu mengalahkan syahwat. Beliau menuturkan,
فَإِنَّ الْجُوْعَ وَالظَّمَأَ يُكَسِّرَانِ شَهْوَةَ الْمَعَاصِي
“Sesungguhnya lapar dan haus dapat mengalahkan syahwat bermaksiat”
Dalam konteks ini, yang dimaksudkan dengan “lapar dan haus” adalah yang disertai niat karena ibadah kepada Allah SWT. Dengan niat tersebut, maka lapar dan haus menjadi madrasah untuk menempa diri manusia, mengendalikan nafsu libidinal dan mampu kapan ia untuk mengegas dan mengerem.
Keempat, memperbanyak sedekah atau taktsir al-shadaqat
Menurut Syekh Izzuddin Abdil Aziz, sedekah berimplikasi pada pembentukan karakter diri manusia. “Sesungguhnya orang berpuasa ketika dia merasakan lapar, lalu ia mengingat rasa lapar itu, maka hal itulah yang memberikan dorongan kepadanya untuk memberi makan pada orang yang lapar,” ujarnya.
Kelima, penyempurnaan ketaatan atau taufir al-tha’at
Menurut Syekh Izzuddin Abdil Aziz, puasa mengingatkan akan rasa lapar dan hausnya ahli neraka. Karena itulah yang mendorong orang berpuasa untuk memperbanyak ketaatan kepada Allah SWT agar selamat dari api neraka.
Baca Juga
Keenam, mensyukuri kenikmatan yang tidak disadari atau syukr ‘alim al-khafiyyat
Acapkali manusia lalai terhadap nikmat Allah SWT. Sampai-sampai Nabi SAW pernah menyinggungnya bahwa ada dua kenikmatan yang seringkali dilupakan manusia, yaitu nikmat kesehatan (shihhah) dan kesempatan (al-faragh).
Syekh Izzuddin Abdil Aziz mengatakan, jika seseorang berpuasa maka ia menjadi tahu akan nikmat Allah SWT yang diberikannya berupa rasa kenyang dan rasa segar, maka bersyukurlah atas nikmat itu. "Karena nikmat tersebut baru mempunyai arti penting tatkala nikmat itu telah hilang,” katanya.
Ketujuh, mencegah keinginan untuk bermaksiat dan mempertajam perselisihan.
Syekh Izzuddin Abdil Aziz menjelaskan bahwa orang yang kenyang mempunyai probabilitas tinggi untuk bermaksiat (thamahat ila al-ma’ashy). Hal ini jauh berbeda ketika manusia terasa lapar dan haus, maka ia akan mencari sesuatu yang mampu memenuhi keduanya sehingga berdampak pada pengurangan keinginan untuk berbuat buruk atau maksiat.
Sederhananya, puasa menjadi ajang preventif untuk menahan diri dari segala hawa nafsu, baik syahwat seks maupun hasrat materialisme sehingga diharapkan ia meraih derajat yang tinggi, yakni muttaqin (orang-orang yang bertakwa di sisi-Nya). Ini adalah tingkatan tertinggi dalam prestasi manusia.
(mhy)