Zakat Fitrah, Berapa Jumlah dan Siapa Saja Penerimanya?
loading...
A
A
A
Bagi setiap muslim, setelah melaksanakan puasa, ada lagi kewajiban yang harus ditunaikan dalam bulan Ramadhan ini, yakni membayar zakat fitrah . Zakat ini diwajibkan atas setiap jiwa baik lelaki dan perempuan muslim yang dilakukan di bulan Ramadhan menjelang Idul Fitri. Sebagaimana hadis Ibnu Umar radhiyallahu'anhu,
"Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum atas umat muslim; baik hamba sahaya maupun merdeka, laki-laki maupun perempuan, kecil maupun besar. Beliau shallalahu alaihi wa sallam memerintahkannya dilaksanakan sebelum orang-orang keluar untuk shalat.” (HR Bukhari Muslim)
Selain untuk mensucikan diri setelah menunaikan ibadah di bulan Ramadhan, zakat fitrah juga dapat dimaknai sebagai bentuk kepedulian terhadap orang yang kurang mampu, membagi rasa kebahagiaan dan kemenangan di hari raya yang dapat dirasakan semuanya termasuk masyarakat miskin yang serba kekurangan.
Zakat fitrah wajib ditunaikan bagi setiap jiwa, dengan syarat beragama Islam, hidup pada saat bulan Ramadhan, dan memiliki kelebihan rezeki atau kebutuhan pokok untuk malam dan Hari Raya Idul Fitri. Besarannya adalah beras atau makanan pokok seberat 2,5 kg atau 3,5 liter per jiwa.
Lantas, siapa saja yang berhak penerima zakat fitrah ini? Adakah syarat-syaratnya? Syaikh Wahbah Zuhaili dalam kitab 'Fiqh al-Islam wa Adillatuhu' merangkum lima syarat mustahiq atau penerima zakat. Kelima syarat tersebut adalah:
1. Fakir dan miskin
Kecuali amil zakat dan ibnu sabil. Amil zakat dan ibnu sabil meskipun dalam keadaan kaya, keduanya memiliki hak untuk menerima zakat. Sang amil berjasa dalam pendistribusian zakat, sedangkan ibnu sabil atau musafir yang kehabisan harta sekalipun di kampung halamannya memiliki harta ia tetap mendapatkan hak sebagai penerima zakat pada saat itu.
Fakir dalam pandangan ulama Mazhab Syafi’i adalah orang yang tidak memiliki harta dan pekerjaan sama sekali, atau memiliki pekerjaan tapi penghasilannya kurang dari separuh kebutuhan harian. Sedangkan menurut ulama Mazhab Maliki, fakir adalah orang yang memiliki harta tapi tidak cukup untuk kebutuhannya selama satu satu tahun. Ia sanggup bekerja, tapi pekerjaannya tidak mencukupi kebutuhannya sehari-hari paling tidak selama satu tahun itu.
Sedangkan makna miskin adalah orang yang bekerja atau memiliki pekerjaan tapi penghasilannya hanya cukup menutupi separuh kebutuhan harian. Makna miskin memilik taraf finansial yang sedikit lebih tinggi dari fakir. Tetapi keduanya sama-sama kesulitan dalam hal finansial.
Orang fakir dan miskin menjadi orang yang berhak menerima segala jenis pemberian seperti sedekah wajib, nazar dan kafarat, fidyah, dan zakat fitrah. Atau juga sedekah sunnah. Hal ini berdasarkan pemahaman lafaz
(sesungguhnya sedekah-sedekah itu diperuntukkan bagi orang fakir dan miskin) pada surat at-Taubah ayat 60.
Maka, atas dasar tersebutlah tidak boleh menyerahkan zakat kepada orang kaya, kecuali pada dua golongan yang telah disebutkan sebelumnya. Hal tersebut juga berdasarkan sabda Nabi Muhammad Saw:
“Sedekah tidak halal diberikan kepada orang kaya dan orang yang memiliki kemampuan untuk bekerja.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
2, Sang penerima zakat adalah muslim
Ulama sepakat bahwa orang non muslim bukanlah orang yang berhak menerima zakat. Pelarangan tersebut diberlakukan sebab pendistribusian kepada muslim bertujuan untuk membantu mereka dalam melakukan ketaatan kepada Allah.
Lalu, apakah boleh bersedekah kepada fakir yang non muslim selain zakat? Ada beberapa pandangan mengenai ini. Ulama Mazhab Hanafi membolehkannya berdasarkan firman Allah Ta'ala:
"Jika kamu menampakkan sedekah-sedekahmu, maka itu baik. Dan jika kamu menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang-orang fakir, maka itu lebih baik bagimu dan Allah akan menghapus sebagian kesalahan-kesalahanmu. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan." (QS Al Baqarah : 27)
Dalam surat tersebut tidak ada penjelasan soal status agama dari orang fakir. Ulama Mazhab Hanafi menganggap bahwa ayat ini menunjukkan keumuman sehingga membolehkan penyerahan sedekah selain zakat kepada orang kafir, bahkan sebagian mereka membolehkan penyerahan zakat kepada orang kafir. Kafir yang dibolehkan untuk diserahkan zakat dan sedekah adalah kafir zimmi, yaitu golongan kafir yang tidak menyerang umat muslim.
Sedangkan ulama mayoritas melarang pemberian zakat dan selainnya kepada kafir sekalipun kafir zimmi. Orang-orang muslim lebih hak untuk mendapatkan harta mereka. Hemat penulis, menyerahkan harta atau bersedekah kepada muslim diutamakan terlebih jika mereka benar-benar saudara atau golongan yang membutuhkan. Adapun jika memberi kepada non muslim maka diniatkan hadiah saja. Terlebih, jika ternyata kita menemukan saudara non muslim yang juga sangat membutuhkan.
3. Penerima zakat bukan dari golongan bani hasyim.
Pelarangan tersebut berdasarkan hadis Nabi:
“Zakat adalah ‘kotoran’ harta manusia, tidak halal bagi Muhammad, tidak pula untuk keluarga Muhammad SAW.” (HR Abu Daud).
Adapun siapa saja yang menjadi golongan keluarga Nabi yang tidak boleh menerima zakat ini dipandang berbeda oleh berbagai ulama. Dalam Mazhab Hanafi, Hanbali, dan Syafi’i Bani Hasyim adalah juga keluarga dan keturunan Abbas bin Abdul Muthalib, keluarga Ali bin Abi Thalib dan Ja’far bin Abi Thalib, keluarga Harits bin Abdul Muthalib.
Beda halnya dengan pandangan Abu Hanifah sendiri dan ulama Mazhab Maliki. Mereka mengatakan bahwa yang dilarang menerima zakat adalah Bani Hasyim saja. Adapun Bani Muthalib, saudara dari Bani Hasyim tidak masuk golongan ini dan diperbolehkan menerima zakat. Tapi ulama mayoritas membolehkan untuk memberikan mereka sedekah yang sifatnya sunnah.
4. Bukan golongan dari yang wajib diberi nafkah
Misal, kerabat, anak dan istri. Karena praktik tersebut justru mencegah terwujudnya kepemilikan bagi fakir lainnya. Maka tidak boleh memberi zakat kepada orang tua, dan ke garis ke atas seperti kakek, buyut dan seterusnya. Begitu juga tidak boleh memberi zakat kepada anak dan garis ke bawah seperti cucu, cicit dan seterusnya. Sebab mereka pun telah mendapatkan nafkah wajib.
5. Penerima zakat adalah orang yang baligh, berakal, dan merdeka
Ulama Mazhab Hanafi membolehkan memberi zakat kepada anak-anak yang tamyiz. Yaitu mereka yang belum menunjukkan tanda-tanda secara biologis, tetapi sudah matang dalam berpikir dan cukup mampu berinteraksi dalam keseharian. Berusia sekitar 7 tahun ke atas.
Sedangkan ulama Mazhab Syafi’i lebih sedikit ketat lagi. Mereka adalah orang yang harus pandai mengelola harta. Maka tidak dibolehkan memberi zakat kepada anak kecil apalagi orang gila.
Adapun ulama Mazhab Maliki mensyaratkan baligh. Berbeda dengan ulama Mazhab Hanbali yang membolehkan menyerahkan zakat kepada anak kecil, orang gila tetapi dikelola atau diserahkan kepada walinya.
Wallahu A'lam
"Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum atas umat muslim; baik hamba sahaya maupun merdeka, laki-laki maupun perempuan, kecil maupun besar. Beliau shallalahu alaihi wa sallam memerintahkannya dilaksanakan sebelum orang-orang keluar untuk shalat.” (HR Bukhari Muslim)
Selain untuk mensucikan diri setelah menunaikan ibadah di bulan Ramadhan, zakat fitrah juga dapat dimaknai sebagai bentuk kepedulian terhadap orang yang kurang mampu, membagi rasa kebahagiaan dan kemenangan di hari raya yang dapat dirasakan semuanya termasuk masyarakat miskin yang serba kekurangan.
Zakat fitrah wajib ditunaikan bagi setiap jiwa, dengan syarat beragama Islam, hidup pada saat bulan Ramadhan, dan memiliki kelebihan rezeki atau kebutuhan pokok untuk malam dan Hari Raya Idul Fitri. Besarannya adalah beras atau makanan pokok seberat 2,5 kg atau 3,5 liter per jiwa.
Lantas, siapa saja yang berhak penerima zakat fitrah ini? Adakah syarat-syaratnya? Syaikh Wahbah Zuhaili dalam kitab 'Fiqh al-Islam wa Adillatuhu' merangkum lima syarat mustahiq atau penerima zakat. Kelima syarat tersebut adalah:
1. Fakir dan miskin
Kecuali amil zakat dan ibnu sabil. Amil zakat dan ibnu sabil meskipun dalam keadaan kaya, keduanya memiliki hak untuk menerima zakat. Sang amil berjasa dalam pendistribusian zakat, sedangkan ibnu sabil atau musafir yang kehabisan harta sekalipun di kampung halamannya memiliki harta ia tetap mendapatkan hak sebagai penerima zakat pada saat itu.
Fakir dalam pandangan ulama Mazhab Syafi’i adalah orang yang tidak memiliki harta dan pekerjaan sama sekali, atau memiliki pekerjaan tapi penghasilannya kurang dari separuh kebutuhan harian. Sedangkan menurut ulama Mazhab Maliki, fakir adalah orang yang memiliki harta tapi tidak cukup untuk kebutuhannya selama satu satu tahun. Ia sanggup bekerja, tapi pekerjaannya tidak mencukupi kebutuhannya sehari-hari paling tidak selama satu tahun itu.
Sedangkan makna miskin adalah orang yang bekerja atau memiliki pekerjaan tapi penghasilannya hanya cukup menutupi separuh kebutuhan harian. Makna miskin memilik taraf finansial yang sedikit lebih tinggi dari fakir. Tetapi keduanya sama-sama kesulitan dalam hal finansial.
Orang fakir dan miskin menjadi orang yang berhak menerima segala jenis pemberian seperti sedekah wajib, nazar dan kafarat, fidyah, dan zakat fitrah. Atau juga sedekah sunnah. Hal ini berdasarkan pemahaman lafaz
اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَالْمَسٰكِيْنِ
(sesungguhnya sedekah-sedekah itu diperuntukkan bagi orang fakir dan miskin) pada surat at-Taubah ayat 60.
Maka, atas dasar tersebutlah tidak boleh menyerahkan zakat kepada orang kaya, kecuali pada dua golongan yang telah disebutkan sebelumnya. Hal tersebut juga berdasarkan sabda Nabi Muhammad Saw:
لَا تَحِلُّ الصَدَقَةُ لِغَنيٍّ وَلَا ذِيْ مِرَّةٍ سَوَى
“Sedekah tidak halal diberikan kepada orang kaya dan orang yang memiliki kemampuan untuk bekerja.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
2, Sang penerima zakat adalah muslim
Ulama sepakat bahwa orang non muslim bukanlah orang yang berhak menerima zakat. Pelarangan tersebut diberlakukan sebab pendistribusian kepada muslim bertujuan untuk membantu mereka dalam melakukan ketaatan kepada Allah.
Lalu, apakah boleh bersedekah kepada fakir yang non muslim selain zakat? Ada beberapa pandangan mengenai ini. Ulama Mazhab Hanafi membolehkannya berdasarkan firman Allah Ta'ala:
اِنْ تُبْدُوا الصَّدَقٰتِ فَنِعِمَّا هِيَۚ وَاِنْ تُخْفُوْهَا وَتُؤْتُوْهَا الْفُقَرَاۤءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۗ وَيُكَفِّرُ عَنْكُمْ مِّنْ سَيِّاٰتِكُمْ ۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ
"Jika kamu menampakkan sedekah-sedekahmu, maka itu baik. Dan jika kamu menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang-orang fakir, maka itu lebih baik bagimu dan Allah akan menghapus sebagian kesalahan-kesalahanmu. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan." (QS Al Baqarah : 27)
Dalam surat tersebut tidak ada penjelasan soal status agama dari orang fakir. Ulama Mazhab Hanafi menganggap bahwa ayat ini menunjukkan keumuman sehingga membolehkan penyerahan sedekah selain zakat kepada orang kafir, bahkan sebagian mereka membolehkan penyerahan zakat kepada orang kafir. Kafir yang dibolehkan untuk diserahkan zakat dan sedekah adalah kafir zimmi, yaitu golongan kafir yang tidak menyerang umat muslim.
Sedangkan ulama mayoritas melarang pemberian zakat dan selainnya kepada kafir sekalipun kafir zimmi. Orang-orang muslim lebih hak untuk mendapatkan harta mereka. Hemat penulis, menyerahkan harta atau bersedekah kepada muslim diutamakan terlebih jika mereka benar-benar saudara atau golongan yang membutuhkan. Adapun jika memberi kepada non muslim maka diniatkan hadiah saja. Terlebih, jika ternyata kita menemukan saudara non muslim yang juga sangat membutuhkan.
3. Penerima zakat bukan dari golongan bani hasyim.
Pelarangan tersebut berdasarkan hadis Nabi:
إن هذه الصدقة إنما هي أوساخ الناس وإنها لا تحل لمحمد ولا لآل محمد صلى الله عليه وسلم
“Zakat adalah ‘kotoran’ harta manusia, tidak halal bagi Muhammad, tidak pula untuk keluarga Muhammad SAW.” (HR Abu Daud).
Adapun siapa saja yang menjadi golongan keluarga Nabi yang tidak boleh menerima zakat ini dipandang berbeda oleh berbagai ulama. Dalam Mazhab Hanafi, Hanbali, dan Syafi’i Bani Hasyim adalah juga keluarga dan keturunan Abbas bin Abdul Muthalib, keluarga Ali bin Abi Thalib dan Ja’far bin Abi Thalib, keluarga Harits bin Abdul Muthalib.
Beda halnya dengan pandangan Abu Hanifah sendiri dan ulama Mazhab Maliki. Mereka mengatakan bahwa yang dilarang menerima zakat adalah Bani Hasyim saja. Adapun Bani Muthalib, saudara dari Bani Hasyim tidak masuk golongan ini dan diperbolehkan menerima zakat. Tapi ulama mayoritas membolehkan untuk memberikan mereka sedekah yang sifatnya sunnah.
4. Bukan golongan dari yang wajib diberi nafkah
Misal, kerabat, anak dan istri. Karena praktik tersebut justru mencegah terwujudnya kepemilikan bagi fakir lainnya. Maka tidak boleh memberi zakat kepada orang tua, dan ke garis ke atas seperti kakek, buyut dan seterusnya. Begitu juga tidak boleh memberi zakat kepada anak dan garis ke bawah seperti cucu, cicit dan seterusnya. Sebab mereka pun telah mendapatkan nafkah wajib.
5. Penerima zakat adalah orang yang baligh, berakal, dan merdeka
Ulama Mazhab Hanafi membolehkan memberi zakat kepada anak-anak yang tamyiz. Yaitu mereka yang belum menunjukkan tanda-tanda secara biologis, tetapi sudah matang dalam berpikir dan cukup mampu berinteraksi dalam keseharian. Berusia sekitar 7 tahun ke atas.
Sedangkan ulama Mazhab Syafi’i lebih sedikit ketat lagi. Mereka adalah orang yang harus pandai mengelola harta. Maka tidak dibolehkan memberi zakat kepada anak kecil apalagi orang gila.
Adapun ulama Mazhab Maliki mensyaratkan baligh. Berbeda dengan ulama Mazhab Hanbali yang membolehkan menyerahkan zakat kepada anak kecil, orang gila tetapi dikelola atau diserahkan kepada walinya.
Wallahu A'lam
(wid)