Hukum Sholat Idul Fitri: Mayoritas Ulama Anggap Sunah, Mazhab Hanafiyah Mewajibkan
loading...
A
A
A
Fardhu Khifayah
Sedangkan pendukung pendapat kedua, yakni berpendapat bahwa sholat id adalah Fardhu Kifayah, berdalil dengan argumentasi bahwa sholat Id adalah sholat yang tidak diawali azan dan iqamat. Karena itu sholat ini serupa dengan salat jenazah, padahal sholat jenazah hukumnya fardhu kifayah. Begitu pula sholat ‘Id juga merupakan syi’ar Islam.
Disamping itu, mereka juga berdalil dengan firman Allah :
“Artinya: Maka dirikanlah sholat karena Rabbmu dan berkorbanlah (karena Rabbmu) “. [Al-Kautsar : 2]
Mereka juga berkeyakinan bahwa pendapat ini merupakan titik gabung antara hadis (kisah tentang) Badui Arab (yang digunakan sebagai dalil oleh pendapat pertama) dengan hadis-hadis yang menunjukkan wajibnya sholat ‘Id.
Fardu Ain
Sementara para pengikut pendapat ketiga, bahwa sholat ied adalah fardhu ain, berdalil dengan banyak dalil. Dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mendukung pendapat ini.
Beliau mengukuhkan dalil-dalil yang menyatakan (bahwa salat ‘Id adalah wajib ‘ain (kewajiban per kepala). Beliaupun menyebutkan bahwa para sahabat dulu melaksanakan sholat ‘Id di padang pasir (tanah lapang) bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memberikan keringanan kepada seorangpun untuk melaksanakan sholat tersebut di Masjid Nabawi.
Berarti hal ini menunjukkan bahwa sholat ‘Id termasuk jenis sholat Jum’at, bukan termasuk jenis sholat-sholat sunnah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tidak pernah membiarkan sholat ‘Id tanpa khutbah, persis seperti dalam sholat Jum’at.
Hal semacam ini tidak didapati dalam Istisqa’ (do’a meminta hujan), sebab Istisqa’ tidak terbatas hanya dalam sholat dan khutbah saja, bahkan Istisqa’ bisa dilakukan hanya dengan berdo’a di atas mimbar atau tempat-tempat lain. Sehingga karena itulah Abu Hanifah membatasi Istisqa’ hanya dalam bentuk do’a, ia berpandangan bahwa tidak ada sholat khusus untuk istisqa’.
Begitu pula, sesungguhnya ada riwayat yang jelas dari Ali (bin Abi Thalib) Radhiyallahu ‘anhu, yang menugaskan seseorang untuk mengimami sholat (‘Ied) di Masjid bagi golongan kaum Muslimin yang lemah.
Andaikata sholat ‘Id itu sunnah, tentu Sayyidina Ali tidak perlu menugaskan seseorang untuk mengimami orang-orang yang lemah di Masjid.
Dalil lain ialah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar kaum wanita keluar (ke tanah lapang) walaupun sedang haidh guna menyaksikan barakahnya hari ‘Ied dan do’a kaum Mukminin.
Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para wanita haidh untuk keluar (ke tanah lapang) -padahal mereka tidak sholat-, apalagi bagi para wanita yang sedang dalam keadaan suci.
Ketika ada di antara kaum wanita berkata kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa: ”Salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab, beliau tetap tidak memberikan keringanan kepada mereka untuk tidak keluar, beliau bahkan menjawab :
“Artinya : Hendaknya ada yang meminjamkan jilbab untuknya”. [Hadits shahih, muttafaq ‘alaihi, sedangkan lafalnya adalah lafal Imam Muslim]
Padahal dalam sholat Jum’at dan salat berjama’ah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (bagi para wanita). “Dan (di dalam) rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka”.
Juga bahwa sholat Jum’at ada gantinya bagi kaum wanita serta kaum musafir, berbeda dengan sholat ‘Ied (yang tidak ada gantinya).
Sholat ‘Ied hanya satu atau dua kali dalam satu tahun, berlainan dengan sholat Jum’at yang terulang sampai lima puluh kali atau lebih (dalam satu tahun).
Sementara itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintahkan (ummatnya) untuk melaksanakan sholat ‘Id, memerintahkan (agar ummatnya) keluar menuju sholat ‘Id.