Hukum Bersilaturahmi dengan Kerabat yang Fasik dan Nonmuslim
loading...
A
A
A
Silaturahmi mendatangkan pahala-pahala yang istimewa. Umat Islam banyak yang sudah paham tentang hal ini. Tapi bagaimana jika kita bersilaturahmi dengan kerabat yang fasik atau non muslim?
Di antara pahala silaturahimadalah seperti disebutkan dalam firman Allah :
“Dan orang-orang yang menghubungkan (menyambungkan) apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan (disambung, yaitu silaturahim).“ (QS. Ar'du : 21).
Seringkali orang-orang berdebat, mana yang benar antara ‘silaturahmi’ atau ‘silaturrahim’? Ustadz Muhammad Idris, pengisi kajian Sunnah mengatakan bahwa untuk konteks penulisan bahasa Arab, kata silaturahim memiliki makna literal yang paling tepat.
Karena, bila merujuk sejumlah hadis dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau lebih banyak menggunakan kata “rahim” atau “silaturahim” dibandingkan dengan kata “rahmi” dari “silaturahmi”.
Namun, di dalam bahasa Indonesia, kata yang terdaftar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah ‘silaturahmi’ yang bermakna tali persahabatan (persaudaraan). Untuk itu, orang Indonesia lebih disarankan menggunakan kata silaturahmi yang makna katanya sudah dikembalikan ke dalam bahasa Indonesia.
Hanya saja harus kita pahami, kedua kata ini sejatinya berasal dari akar kata yang sama. tidak ada yang perlu dipermasalahkan antara silaturrahmi ataukah silaturahim. Selama makna yang dimaksud sama, yaitu menyambung hubungan persaudaraan dengan kerabat.
Kembali ke tema, bagaimana hukumnya kita bersilaturahmi dengan kerabat yang fasik dan non muslim (kafir)? Maka jawabannya untuk kerabat fasik adalah tergantung tingkat kefasikannya. Ustadz Muhammad Idris mengatakan, fasik adalah mereka yang keluar dari ketaatan kepada Allah Ta’ala, baik itu karena melakukan sebuah dosa besar ataupun karena terus menerus melakukan dosa kecil.
Pertama, jika orang tersebut menampakkan dan bangga secara terang-terangan mengumbar kefasikannya, maka tidak wajib bersilaturahmi padanya. Bahkan tidak boleh berbaik hati dengannya, (boleh) memutus silaturahmi dengannya dan memboikotnya.
Hal ini merupakan salah satu bentuk ketaatan kepada Allah Ta’ala yang paling mulia. Kecuali jika dalam menyambung silaturahmi dan berbaik hati kepada mereka, dapat mencegah sebuah kemungkaran ataupun mendapatkan kemanfaatan.
Contohnya adalah menghindarkan diri dari keburukan orang tersebut, maka disunahkan untuk menyambung silaturahmi dengan mereka. Akan tetapi, harus ditakar menyesuaikan kebutuhan.
Allah Ta’ala berfirman :
“Kecuali karena (siasat) menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka.” (QS. Al-Imran: 28).
Kedua, terhadap kerabat atau orang yang menyembunyikan kefasikan maka sebaiknya dinasihati. Karena itu, wajib bersilaturahmi kepadanya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda :
“Bukanlah orang yang menyambung silaturahmi (dengan sempurna) adalah (karena) membalas (kebaikan keluarga/kerabatnya). Akan tetapi, orang yang menyambung silaturahmi adalah orang yang jika diputuskan hubungan silaturahmi dengannya, maka dia (justru) menyambungnya.” (HR. Bukhari)
Adapun kepada kerabat nonmuslim yang memusuhi dan mengganggu, maka tidak diperkenankan untuk menyambung silaturahmi dengan mereka, kecuali sebatas menghindarkan diri dari keburukannya. Karena inilah bentuk kejujuran iman kita.
Di antara pahala silaturahimadalah seperti disebutkan dalam firman Allah :
وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ
“Dan orang-orang yang menghubungkan (menyambungkan) apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan (disambung, yaitu silaturahim).“ (QS. Ar'du : 21).
Seringkali orang-orang berdebat, mana yang benar antara ‘silaturahmi’ atau ‘silaturrahim’? Ustadz Muhammad Idris, pengisi kajian Sunnah mengatakan bahwa untuk konteks penulisan bahasa Arab, kata silaturahim memiliki makna literal yang paling tepat.
Karena, bila merujuk sejumlah hadis dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau lebih banyak menggunakan kata “rahim” atau “silaturahim” dibandingkan dengan kata “rahmi” dari “silaturahmi”.
Namun, di dalam bahasa Indonesia, kata yang terdaftar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah ‘silaturahmi’ yang bermakna tali persahabatan (persaudaraan). Untuk itu, orang Indonesia lebih disarankan menggunakan kata silaturahmi yang makna katanya sudah dikembalikan ke dalam bahasa Indonesia.
Hanya saja harus kita pahami, kedua kata ini sejatinya berasal dari akar kata yang sama. tidak ada yang perlu dipermasalahkan antara silaturrahmi ataukah silaturahim. Selama makna yang dimaksud sama, yaitu menyambung hubungan persaudaraan dengan kerabat.
Kembali ke tema, bagaimana hukumnya kita bersilaturahmi dengan kerabat yang fasik dan non muslim (kafir)? Maka jawabannya untuk kerabat fasik adalah tergantung tingkat kefasikannya. Ustadz Muhammad Idris mengatakan, fasik adalah mereka yang keluar dari ketaatan kepada Allah Ta’ala, baik itu karena melakukan sebuah dosa besar ataupun karena terus menerus melakukan dosa kecil.
Pertama, jika orang tersebut menampakkan dan bangga secara terang-terangan mengumbar kefasikannya, maka tidak wajib bersilaturahmi padanya. Bahkan tidak boleh berbaik hati dengannya, (boleh) memutus silaturahmi dengannya dan memboikotnya.
Hal ini merupakan salah satu bentuk ketaatan kepada Allah Ta’ala yang paling mulia. Kecuali jika dalam menyambung silaturahmi dan berbaik hati kepada mereka, dapat mencegah sebuah kemungkaran ataupun mendapatkan kemanfaatan.
Contohnya adalah menghindarkan diri dari keburukan orang tersebut, maka disunahkan untuk menyambung silaturahmi dengan mereka. Akan tetapi, harus ditakar menyesuaikan kebutuhan.
Allah Ta’ala berfirman :
اِلَّآ اَنْ تَتَّقُوْا مِنْهُمْ تُقٰىةً
“Kecuali karena (siasat) menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka.” (QS. Al-Imran: 28).
Kedua, terhadap kerabat atau orang yang menyembunyikan kefasikan maka sebaiknya dinasihati. Karena itu, wajib bersilaturahmi kepadanya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda :
“Bukanlah orang yang menyambung silaturahmi (dengan sempurna) adalah (karena) membalas (kebaikan keluarga/kerabatnya). Akan tetapi, orang yang menyambung silaturahmi adalah orang yang jika diputuskan hubungan silaturahmi dengannya, maka dia (justru) menyambungnya.” (HR. Bukhari)
Adapun kepada kerabat nonmuslim yang memusuhi dan mengganggu, maka tidak diperkenankan untuk menyambung silaturahmi dengan mereka, kecuali sebatas menghindarkan diri dari keburukannya. Karena inilah bentuk kejujuran iman kita.