Derajat Orang yang Paham Agama Lebih Tinggi Dibanding Para Penghafal
loading...
A
A
A
Kelompok orang seperti ini, kata al-Qardhawi, diumpamakan seperti tanah cadas yang mampu menampung air, sehingga datang orang yang meminum airnya, atau memberi minum kepada binatang ternaknya, atau menyirami tanaman mereka. Itulah yang diisyaratkan dalam sebuah hadis yang sangat terkenal:
"Semoga Allah memberi kebaikan kepada orang yang mendengarkan perkataanku kemudian dia menghafalnya, lalu menyampaikannya sebagaimana yang dia dengarkan. Bisa jadi orang yang membawa fiqh bukanlah seorang faqih, dan bisa jadi orang yang membawa fiqh ini membawanya kepada orang yang lebih faqih daripada dirinya."
Al-Qardhawi menjelaskan hadis ini diriwayatkan dalam beberapa redaksi yang berbeda dari Zaid bin Tsabit, Ibn Mas'ud dan lain-lain. Sebagaimana disebutkan di dalam Shahih al-Jami'as-Shaghir.
Sedangkan kelompok ketiga, menurut al-Qardhawi, ialah orang-orang yang tidak memiliki pemahaman dan juga tidak ahli menghafal, tidak punya ilmu dan tidak punya amal. "Mereka bagaikan tanah cadas yang tidak dapat menampung air dan tidak dapat dimanfaatkan oleh orang lain," katanya.
Hadis tersebut menunjukkan bahwa manusia yang paling tinggi derajatnya di sisi Allah dan rasul-Nya ialah orang-orang yang memahami dan mengerti, disusul dengan orang yang menghafal.
Gudang Data
Di situlah letak kelebihan orang yang paham atas orang yang menghafal; dan letak kelebihan fuqaha atas para huffazh. Dalam kurun yang terbaik bagi manusia --yaitu tiga abad pertama di dalam Islam-- kedudukan dan kepeloporan berada di tangan para faqih, sedangkan pada masa-masa kemunduran, kedudukan dan kepeloporan itu ada para hafizh.
"Saya tidak hendak mengatakan bahwa hafalan sama sekali tidak mempunyai arti dan nilai, serta ingatan yang dimiliki oleh manusia itu tidak ada gunanya. Tidak, ini tidak benar," katanya. "Saya hanya ingin mengatakan: 'Sesungguhnya hafalan hanyalah sebagai gudang data dan ilmu pengetahuan; untuk kemudian dimanfaatkan'," lanjutnya.
Al-Qardhawi menjelaskan menghafal bukanlah tujuan itu sendiri, tetapi ia adalah sarana untuk mencapai yang lainnya. "Kesalahan yang banyak dilakukan oleh kaum Muslimin ialah perhatian mereka kepada hafalan lebih tinggi daripada pemahaman, dan memberikan hak dan kemampuan yang lebih besar kepadanya," katanya.
Karena itu, al-Qardhawi mengatakan kita menemukan penghormatan yang sangat berlebihan diberikan kepada para penghafal Al-Qur'an, tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada mereka. Sehingga berbagai perlombaan untuk itu seringkali dilakukan di berbagai negara, yang menjanjikan hadiah yang sangat besar nilainya; hingga mencapai puluhan ribu dolar untuk seorang pemenang. Ini perlu kita hargai dan kita syukuri.
Akan tetapi, lanjut al-Qardhawi, sangat disayangkan hadiah seperti itu, atau setengahnya, bahkan seperempatnya, tidak diberikan kepada orang-orang yang mencapai prestasi gemilang di dalam ilmu-ilmu syariah yang lainnya; seperti ilmu tafsir, ilmu hadis, fiqh, usul fiqh, aqidah, dan dakwah; padahal keperluan umat kepada orang-orang seperti ini lebih banyak, di samping itu manfaat yang diperoleh dari mereka juga lebih besar.
Al-Qardhawi juga mengingatkan di antara persoalan yang sangat memalukan dalam dunia pendidikan ialah bahwa pendidikan itu kebanyakan didasarkan kepada hafalan dan "kebisuan", serta tidak didasarkan kepada pemahaman dan pencernaan. Oleh karena itu, kebanyakan pelajar lupa apa yang telah dipelajarinya setelah dia menempuh ujian. Kalau apa yang mereka pelajari didasarkan atas pemahaman dan contoh yang nyata, maka hal itu akan masuk ke dalam otak mereka, dan tidak mudah hilang dari ingatan.
"Semoga Allah memberi kebaikan kepada orang yang mendengarkan perkataanku kemudian dia menghafalnya, lalu menyampaikannya sebagaimana yang dia dengarkan. Bisa jadi orang yang membawa fiqh bukanlah seorang faqih, dan bisa jadi orang yang membawa fiqh ini membawanya kepada orang yang lebih faqih daripada dirinya."
Al-Qardhawi menjelaskan hadis ini diriwayatkan dalam beberapa redaksi yang berbeda dari Zaid bin Tsabit, Ibn Mas'ud dan lain-lain. Sebagaimana disebutkan di dalam Shahih al-Jami'as-Shaghir.
Sedangkan kelompok ketiga, menurut al-Qardhawi, ialah orang-orang yang tidak memiliki pemahaman dan juga tidak ahli menghafal, tidak punya ilmu dan tidak punya amal. "Mereka bagaikan tanah cadas yang tidak dapat menampung air dan tidak dapat dimanfaatkan oleh orang lain," katanya.
Hadis tersebut menunjukkan bahwa manusia yang paling tinggi derajatnya di sisi Allah dan rasul-Nya ialah orang-orang yang memahami dan mengerti, disusul dengan orang yang menghafal.
Gudang Data
Di situlah letak kelebihan orang yang paham atas orang yang menghafal; dan letak kelebihan fuqaha atas para huffazh. Dalam kurun yang terbaik bagi manusia --yaitu tiga abad pertama di dalam Islam-- kedudukan dan kepeloporan berada di tangan para faqih, sedangkan pada masa-masa kemunduran, kedudukan dan kepeloporan itu ada para hafizh.
"Saya tidak hendak mengatakan bahwa hafalan sama sekali tidak mempunyai arti dan nilai, serta ingatan yang dimiliki oleh manusia itu tidak ada gunanya. Tidak, ini tidak benar," katanya. "Saya hanya ingin mengatakan: 'Sesungguhnya hafalan hanyalah sebagai gudang data dan ilmu pengetahuan; untuk kemudian dimanfaatkan'," lanjutnya.
Al-Qardhawi menjelaskan menghafal bukanlah tujuan itu sendiri, tetapi ia adalah sarana untuk mencapai yang lainnya. "Kesalahan yang banyak dilakukan oleh kaum Muslimin ialah perhatian mereka kepada hafalan lebih tinggi daripada pemahaman, dan memberikan hak dan kemampuan yang lebih besar kepadanya," katanya.
Karena itu, al-Qardhawi mengatakan kita menemukan penghormatan yang sangat berlebihan diberikan kepada para penghafal Al-Qur'an, tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada mereka. Sehingga berbagai perlombaan untuk itu seringkali dilakukan di berbagai negara, yang menjanjikan hadiah yang sangat besar nilainya; hingga mencapai puluhan ribu dolar untuk seorang pemenang. Ini perlu kita hargai dan kita syukuri.
Akan tetapi, lanjut al-Qardhawi, sangat disayangkan hadiah seperti itu, atau setengahnya, bahkan seperempatnya, tidak diberikan kepada orang-orang yang mencapai prestasi gemilang di dalam ilmu-ilmu syariah yang lainnya; seperti ilmu tafsir, ilmu hadis, fiqh, usul fiqh, aqidah, dan dakwah; padahal keperluan umat kepada orang-orang seperti ini lebih banyak, di samping itu manfaat yang diperoleh dari mereka juga lebih besar.
Al-Qardhawi juga mengingatkan di antara persoalan yang sangat memalukan dalam dunia pendidikan ialah bahwa pendidikan itu kebanyakan didasarkan kepada hafalan dan "kebisuan", serta tidak didasarkan kepada pemahaman dan pencernaan. Oleh karena itu, kebanyakan pelajar lupa apa yang telah dipelajarinya setelah dia menempuh ujian. Kalau apa yang mereka pelajari didasarkan atas pemahaman dan contoh yang nyata, maka hal itu akan masuk ke dalam otak mereka, dan tidak mudah hilang dari ingatan.
(mhy)