Masa Kecil yang Pilu dan Tanda-Tanda Kenabian Saat Usia 12 Tahun
loading...
A
A
A
SESUDAH lima tahun bersama keluarga Siti Halimah , Sayyidina Muhammad dikembalikan ke Makkah kepada ibunda Aminah . Muhammad Husain Haekal dalam Sejarah Hidup Muhammad menyebutkan, Abdul-Muthalib yang bertindak mengasuh cucunya itu. (
)
Ia memeliharanya sungguh-sungguh dan mencurahkan segala kasih-sayangnya kepada cucu ini. “Biasanya buat orang tua itu -pemimpin seluruh Quraisy dan pemimpin Makkah – diletakkannya hamparan tempat dia duduk di bawah naungan Ka'bah , dan anak-anaknya lalu duduk pula sekeliling hamparan itu sebagai penghormatan kepada orang tua,” tulisnya.
Tetapi apabila Muhammad yang datang, kata Haekal, maka didudukkannya ia di sampingnya di atas hamparan itu sambil ia mengelus-ngelus punggungnya. “Melihat betapa besarnya rasa cintanya itu paman-paman Muhammad tidak mau membiarkannya di belakang dari tempat mereka duduk itu,” ujar Haekal lagi.
Suatu kali Bunda Aminah kemudian membawa Sayyidina Muhammad ke Madinah untuk diperkenalkan kepada saudara-saudara kakeknya dari pihak Keluarga Najjar. Dalam perjalanan itu dibawanya juga Umm Aiman, budak perempuan yang ditinggalkan ayahnya dulu.
Sesampai mereka di Madinah Bunda Aminah memperlihatkan rumah tempat ayah Sayyidina Muhammad saat meninggal dulu serta tempat beliau dikuburkan. Itu adalah yang pertama kali bagi Sayyidina Muhammad merasakan sebagai anak yatim.
( )
Menurut Haekal, barangkali juga ibunya pernah menceritakan dengan panjang lebar tentang ayah tercinta itu, yang setelah beberapa waktu tinggal bersama-sama, kemudian meninggal dunia di tengah-tengah pamannya dari pihak ibu.
Sesudah Hijrah, pernah juga Rasulullah menceritakan kepada sahabat-sahabat nya kisah perjalanannya yang pertama ke Madinah dengan ibunya itu. Kisah yang penuh cinta pada Madinah, kisah yang penuh duka pada orang yang ditinggalkan keluarganya.
Sesudah cukup sebulan mereka tinggal di Madinah, Bunda Aminah sudah bersiap-siap akan pulang. Beliau dan rombongan kembali pulang dengan dua ekor unta yang membawa mereka dari Makkah. Tetapi di tengah perjalanan, ketika mereka sampai di Abwa', ibunda Aminah menderita sakit, yang kemudian meninggal dan dikuburkan pula di tempat itu. Sayyidina Muhammad melihat sendiri di hadapannya, sang bunda pergi untuk tidak kembali lagi, seperti ayah dulu. Tubuh yang masih kecil itu kini dibiarkan memikul beban hidup yang berat, sebagai yatim-piatu.
Oleh Umm Aiman, beliau dibawa pulang ke Makkah. Beliau pulang dengan dengan tangis dan hati yang pilu. Beliau merasakan hidup yang makin sunyi.
Kakek Abdul-Muthalib memang sangat mencintainya. Tetapi sungguhpun begitu, kenangan sedih sebagai anak yatim-piatu itu bekasnya masih mendalam sekali dalam jiwanya sehingga di dalam Qur'anpun disebutkan, ketika Allah mengingatkan Nabi akan nikmat yang dianugerahkan kepadanya itu:
اَلَمۡ يَجِدۡكَ يَتِيۡمًا فَاٰوٰى
وَوَجَدَكَ ضَآ لًّا فَهَدٰى
"Bukankah engkau dalam keadaan yatim-piatu? Lalu diadakanNya orang yang akan melindungimu? Dan menemukan kau kehilangan pedoman, lalu ditunjukkanNya jalan itu?" (Qur'an, 93: 6-7)
Kenangan yang memilukan hati ini barangkali akan terasa agak meringankan juga sedikit, sekiranya Kakek Abdul-Muthalib masih dapat hidup lebih lama lagi. Tetapi orang tua itu juga meninggal, dalam usia delapanpuluh tahun. Sedangkan Sayyidina Muhammad waktu itu baru berumur delapan tahun.
Haekal melukiskan, sekali lagi Muhammad dirundung kesedihan karena kematian kakeknya itu, seperti yang sudah dialaminya ketika ibunya meninggal. Begitu sedihnya dia, sehingga selalu ia menangis sambil mengantarkan keranda jenazah sampai ketempat peraduan terakhir.
“Bahkan sesudah itupun ia masih tetap mengenangkannya sekalipun sesudah itu, di bawah asuhan Abu Thalib pamannya ia mendapat perhatian dan pemeliharaan yang baik sekali, mendapat perlindungan sampai masa kenabiannya, yang terus demikian sampai pamannya itupun achirnya meninggal,” tulis Haekal.
Sebenarnya kematian Abdul-Muthalib ini, menurut Haekal, merupakan pukulan berat bagi Keluarga Hasyim semua. Di antara anak-anaknya itu tak ada yang seperti dia: mempunyai keteguhan hati, kewibawaan, pandangan yang tajam, terhormat dan berpengaruh di kalangan Arab semua.
( )
Dia menyediakan makanan dan minuman bagi mereka yang datang berziarah, memberikan bantuan kepada penduduk Makkah bila mereka mendapat bencana. “Sekarang ternyata tak ada lagi dari anak-anaknya itu yang akan dapat meneruskan. Yang dalam keadaan miskin, tidak mampu melakukan itu, sedang yang kaya hidupnya kikir sekali,” tulis Haekal.
Oleh karena itu maka Keluarga Umayah yang lalu tampil ke depan akan mengambil tampuk pimpinan yang memang sejak dulu diinginkan itu, tanpa menghiraukan ancaman yang datang dari pihak Keluarga Hasyim.
Pengasuhan Sayyidina Muhammad di pegang oleh Abu Thalib, sekalipun dia bukan yang tertua di antara saudara-saudaranya. Saudara tertua adalah Harith, tapi dia tidak seberapa mampu. Sebaliknya Abbas yang mampu, menurut Haekal, tapi dia kikir sekali dengan hartanya. Oleh karena itu ia hanya memegang urusan siqaya (pengairan) tanpa mengurus rifada (makanan).
Sekalipun dalam kemiskinannya itu, tapi Abu Thalib mempunyai perasaan paling halus dan terhormat di kalangan Quraisy. Dan tidak pula mengherankan kalau Abdul-Muthalib menyerahkan asuhan Sayyidina Muhammad kemudian kepada Abu Thalib.
( )
Abu Thalib mencintai kemenakannya itu sama seperti Abdul-Muthalib juga. Karena kecintaannya itu ia mendahulukan kemenakan daripada anak-anaknya sendiri.
Budi pekerti Sayyidina Muhammad yang luhur, cerdas, suka berbakti dan baik hati, itulah yang lebih menarik hati pamannya.
Tanda-Tanda Kenabian
Pernah pada suatu ketika ia akan pergi ke Syam membawa dagangan - ketika itu usia Sayyidina Muhammad baru duabelas tahun - mengingat sulitnya perjalanan menyeberangi padang pasir, tak terpikirkan olehnya akan membawa keponakannya itu.
Akan tetapi sang keponakan yang dengan ikhlas menyatakan akan menemani pamannya itu. Hal itu juga yang menghilangkan sikap ragu-ragu dalam hati Abu Thalib.
Sayyidina Muhammad turut serta dalam rombongan kafilah, hingga sampai di Bushra di sebelah selatan Syam. Dalam buku-buku riwayat hidup Muhammad diceritakan, bahwa dalam perjalanan inilah ia bertemu dengan rahib Bahira ada juga yang menyebut Buhaira, dan bahwa rahib itu telah melihat tanda-tanda kenabian padanya sesuai dengan petunjuk cerita-cerita Kristen.
Sebagian sumber menceritakan, bahwa rahib itu menasehatkan keluarganya supaya jangan terlampau dalam memasuki daerah Syam, sebab dikhawatirkan orang-orang Yahudi yang mengetahui tanda-tanda itu akan berbuat jahat terhadap dia.
Dalam kitab Adab Bizantium disebutkan, Buhaira adalah seorang rahib yang menganut aliran Airus Nasthuri, dan ia mengingkari Lahut al-Masih (Ketuhanan al-Masih) dan menyatakan bahwa penamaannya dengan sebutan tuhan tidak diperbolehkan.
Menurut sejumlah peneliti, pertemuan antara Abu Thalib dan Muhammad dengan rahib atau pendeta Buhaira itu terjadi di dalam kuil pendeta Buhaira yang ada di Busra. Di tempat ini, terdapat sebuah tempat ibadah (gereja) yang diyakini banyak orang sebagai gereja Buhaira. Tempat tersebut berada di dekat kawasan Roman Theatre, yang dibangun pada masa pemerintah Romawi (Rum), oleh kaisar Julianus pada tahun 513-512 sebelum Masehi (SM).
Hanafi al-Mahlawi dalam bukunya Al-Amakin Al-Masyhurah Fi hayati Muhammad SAW (Harum Semerbak Tempat-tempat yang Dikunjungi Rasulullah SAW), menjelaskan, Rasul SAW pernah dua kali mengunjungi Syam, pertama saat bertemu dengan pendeta Buhaira, dan kedua ketika mengabarkan kemenangan Islam kepada penduduk setempat, sekitar tahun kelima kenabian.
Dalam Sirah Nabawiyah karya Ibn Ishaq diceritakan, Abu Thalib pergi menuju Syam dalam rangka berdagang, dan tatkala telah siap melakukan perjalanan, tiba-tiba ia merasa rindu dengan keponakannya dan ia ingin membawanya ke Syam.
Abu Thalib pun berkata, ''Sungguh aku ingin sekali mengajaknya pergi, ia tidak boleh terpisah dariku, dan aku tidak akan pernah meninggalkannya.'' Lalu mereka pergi bersama. Dan tatkala sampai di Bushra, mereka bertemu dengan seorang rahib Nasrani yang sedang berada di kuilnya, ia bernama Buhairi (tapi dalam kitab lain disebutkan bahwa namanya adalah Buhaira).
Ka'bah: Kisah Nazar Abdul Muthalib Menyembelih Anaknya
Sebelumnya, para kafilah dagang kerap bertemu dengannya, namun ia tidak pernah berkata sesuatu yang spesial kepada mereka. Akan tetapi, pada tahun itu, tatkala kafilah Abu Thalib berhenti di dekat kuilnya, sang rahib segera membuatkan banyak makanan untuk mereka. Hal ini dikarenakan ada sesuatu yang ia terawang (lihat) dari dalam kuilnya. Mereka mengatakan, bahwa ia melihat utusan Allah sedang berada diatas tunggangan dan terdapat awan yang terus menaunginya dari panas matahari, padahal ia berada di antara banyak orang.
Kemudian mereka tiba dan turun di dekat sebuah pohon serta melihat ke arah awan yang juga menaungi pohon, bahkan ranting-ranting pohon itu pun condong seolah menunduk pada Rasulullah SAW, hingga ia bisa berteduh di bawahnya. Dan ketika Buhaira melihat fenomena itu, ia pun turun dari kuilnya dan mengutus seseorang untuk menemui mereka.
Ia berkata, ''Aku telah membuatkan untuk kalian makanan dan minuman, wahai orang-orang Quraisy, dan aku sangat suka jika kalian semua bisa hadir dalam jamuan ini, baik yang besar, kecil, atau pun dari kalangan hamba sahaya dan orang-orang merdeka.''
Setelah berbasa-basi, kafilah Abu Thalib akhirnya menerima tawaran itu, dan bersedia menghadiri jamuan makanan dan minuman yang disediakan. Dan ketika Buhaira melihat Muhammad, ia merasa ada sesuatu yang berbeda dengan rombongan anggota kafilah lainnya. Ia amati tubuhnya dan menemukan sebuah tanda.
Maka, saat semuanya sudah makan, Buhaira berdiri dan berkata, ''Wahai anak kecil (Muhammad), demi Lata dan 'Uzza aku bertanya kepadamu, dan aku sangat mengharapkan engkau mau menjawab apa yang aku tanyakan.''
Buhaira bertanya dengan menggunakan sumpah itu, karena ia mendengar orang-orang Quraisy suka mengucapkannya. Namun, Muhammad segera menjawab, ''Jangan engkau tanya aku dengan nama Lata dan 'Uzza. Demi Allah, tidak ada yang aku benci melebihi keduanya.''
Buhaira berkata lagi, ''Kalau begitu, atas nama Allah aku memintamu untuk menjawab pertanyaanku.'' Muhammad berkata, ''Katakanlah, apa yang ingin engkau tanyakan.''
Buhaira kemudian bertanya berbagai hal pada Muhammad, mulai dari tidurnya, tentang gayanya, dan tentang perkara-perkara lainnya. Muhamamd pun menjawab semua pertanyaan itu dengan lancar. Maka apa yang kemudian di dengar oleh Buhaira benar-benar sama dengan apa yang ia ketahui selama ini. Kemudian ia melihat punggung Muhammad, dan menemukan 'cap kenabian' di antara kedua pundaknya, sesuai dengan tempat yang semestinya, sebagaimana yang ia ketahui. Ibnu Hisyam mengatakan, bahwa tanda itu seperti bekas bekam.
Maka setelah mengetahui tanda-tanda itu, Buhaira lalu menemui Abu Thalib. ''Apa hubunganmu dengan anak kecil itu?'' Abu Thalib menjawab bahwa Muhammad adalah anaknya. Buhaira membantahnya, ''Ia bukan anakmu, dan semestinya anak itu tidak memiliki ayah yang masih hidup.'' Abu Thalib menjadi, ''Ia keponakanku (anak saudaraku).'' Ayahnya telah meninggal ketika ibunya masih mengandung.''
Buhaira berkata, ''Bawalah segera pulang anak itu, dan jagalah ia dari orang-orang Yahudi. Demi Allah, jika mereka melihatnya dan mengetahui anak itu seperti yang aku ketahui, maka mereka akan menyakitinya. Putra saudaramu ini akan mengemban tugas yang sangat agung.'' Abu Thalib lalu membawa pulang Muhammad kembali ke Makkah. (Lihat Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyyah, 1997, 1:219-220).
Selalu Belajar
Dalam perjalanan itulah sepasang mata Sayyidina Muhammad yang indah itu melihat luasnya padang pasir, menatap bintang-bintang yang berkilauan di langit yang jernih cemerlang.
Dilaluinya daerah-daerah Madyan, Wadit'l-Qura serta peninggalan bangunan-bangunan Thamud. Didengarnya dengan telinganya yang tajam segala cerita orang-orang Arab dan penduduk pedalaman tentang bangunan-bangunan itu, tentang sejarahnya masa lampau.
Dalam perjalanan ke daerah Syam ini ia berhenti di kebun-kebun yang lebat dengan buab-buahan yang sudah masak, yang akan membuat ia lupa akan kebun-kebun di Ta'if serta segala cerita orang tentang itu.
Taman-taman yang dilihatnya dibandingkannya dengan dataran pasir yang gersang dan gunung-gunung tandus di sekeliling Makkah itu. Di Syam ini juga, Sayyidina Muhammad mengetahui berita-berita tentang Kerajaan Romawi dan agama Kristennya, didengarnya berita tentang Kitab Suci mereka serta oposisi Persia dari penyembah api terhadap mereka dan persiapannya menghadapi perang dengan Persia. ( )
Sekalipun usianya baru dua belas tahun, menurut Haekal, tapi beliau sudah mempunyai persiapan kebesaran jiwa, kecerdasan dan ketajaman otak, sudah mempunyai tinjauan yang begitu dalam dan ingatan yang cukup kuat serta segala sifat-sifat semacam itu yang diberikan alam kepadanya sebagai suatu persiapan akan menerima risalah (misi) maha besar yang sedang menantinya. Ia melihat ke sekeliling, dengan sikap menyelidiki, meneliti. Ia tidak puas terhadap segala yang didengar dan dilihatnya. Ia bertanya kepada diri sendiri: Di manakah kebenaran dari semua itu?
Tampaknya Abu Thalib tidak banyak membawa harta dari perjalanannya itu. Ia tidak lagi mengadakan perjalanan demikian. Malah sudah merasa cukup dengan yang sudah diperolehnya itu. Ia menetap di Makkah mengasuh anak-anaknya yang banyak sekalipun dengan harta yang tidak seberapa.( )
Sayyidina Muhammad juga tinggal dengan pamannya, menerima apa yang ada. Ia melakukan pekerjaan yang biasa dikerjakan oleh mereka yang seusia dia. Bila tiba bulan-bulan suci, kadang ia tinggal di Makkah dengan keluarga, kadang pergi bersama mereka ke pekan-pekan yang berdekatan dengan 'Ukaz, Majanna dan Dhu'l-Majaz, mendengarkan sajak-sajak yang dibawakan oleh penyair-penyair Mudhahhabat dan Mu'allaqat.
Pendengarannya terpesona oleh sajak-sajak yang fasih melukiskan lagu cinta dan puisi-puisi kebanggaan, melukiskan nenek moyang mereka, peperangan mereka, kemurahan hati dan jasa-jasa mereka.
Didengarnya ahli-ahli pidato di antaranya orang-orang Yahudi dan Nasrani yang membenci paganisma Arab. Mereka bicara tentang Kitab-kitab Suci Isa dan Musa, dan mengajak kepada kebenaran menurut keyakinan mereka. Dinilainya semua itu dengan hati nuraninya, dilihatnya ini lebih baik daripada paganisma yang telah menghanyutkan keluarganya itu. Tetapi tidak sepenuhnya ia merasa lega.(
)
Dengan demikian sejak muda-belia takdir telah mengantarkannya ke jurusan yang akan membawanya ke suatu saat bersejarah, saat mula pertama datangnya wahyu, tatkala Tuhan memerintahkan ia menyampaikan risalahNya itu. Yakni risalah kebenaran dan petunjuk bagi seluruh umat manusia.
Adakah juga Muhammad ikut serta dengan mereka dalam hal ini? Ataukah sebaliknya perasaannya yang halus, kemampuannya yang terbatas serta asuhan pamannya membuatnya jadi menjauhi semua itu, dan melihat segala kemewahan dengan mata bernafsu tapi tidak mampu?
Haekal mengatakan bahwasanya dia telah menjauhi semua itu, sejarah cukup menjadi saksi. Yang terang ia menjauhi itu bukan karena tidak mampu mencapainya. Mereka yang tinggal di pinggiran Makkah, yang tidak mempunyai mata pencarian, hidup dalam kemiskinan dan kekurangan, ikut hanyut juga dalam hiburan itu. Bahkan di antaranya lebih gila lagi dari pemuka-pemuka Makkah dan bangsawan-bangsawan Quraisy dalam menghanyutkan diri ke dalam kesenangan demikian itu. (
)
Akan tetapi jiwa Sayyidina Muhammad adalah jiwa yang ingin melihat, ingin mendengar, ingin mengetahui. Dan seolah tidak ikut sertanya ia belajar seperti yang dilakukan teman-temannya dari anak-anak bangsawan menyebabkan ia lebih keras lagi ingin memiliki pengetahuan. Karena jiwanya yang besar, yang kemudian pengaruhnya tampak berkilauan menerangi dunia, jiwa besar yang selalu mendambakan kesempurnaan, itu jugalah yang menyebabkan dia menjauhi foya-foya, yang biasa menjadi sasaran utama penduduk Makkah. Ia mendambakan cahaya hidup yang akan lahir dalam segala manifestasi kehidupan, dan yang akan dicapainya hanya dengan dasar kebenaran.
Kenyataan ini dibuktikan oleh julukan yang diberikan orang kepadanya dan bawaan yang ada dalam dirinya. Itu sebabnya, sejak masa ia kanak-kanak gejala kesempurnaan, kedewasaan dan kejujuran hati sudah tampak, sehingga penduduk Makkah semua memanggilnya Al-Amin (artinya 'yang dapat dipercaya'). ( )
Ia memeliharanya sungguh-sungguh dan mencurahkan segala kasih-sayangnya kepada cucu ini. “Biasanya buat orang tua itu -pemimpin seluruh Quraisy dan pemimpin Makkah – diletakkannya hamparan tempat dia duduk di bawah naungan Ka'bah , dan anak-anaknya lalu duduk pula sekeliling hamparan itu sebagai penghormatan kepada orang tua,” tulisnya.
Tetapi apabila Muhammad yang datang, kata Haekal, maka didudukkannya ia di sampingnya di atas hamparan itu sambil ia mengelus-ngelus punggungnya. “Melihat betapa besarnya rasa cintanya itu paman-paman Muhammad tidak mau membiarkannya di belakang dari tempat mereka duduk itu,” ujar Haekal lagi.
Suatu kali Bunda Aminah kemudian membawa Sayyidina Muhammad ke Madinah untuk diperkenalkan kepada saudara-saudara kakeknya dari pihak Keluarga Najjar. Dalam perjalanan itu dibawanya juga Umm Aiman, budak perempuan yang ditinggalkan ayahnya dulu.
Sesampai mereka di Madinah Bunda Aminah memperlihatkan rumah tempat ayah Sayyidina Muhammad saat meninggal dulu serta tempat beliau dikuburkan. Itu adalah yang pertama kali bagi Sayyidina Muhammad merasakan sebagai anak yatim.
( )
Menurut Haekal, barangkali juga ibunya pernah menceritakan dengan panjang lebar tentang ayah tercinta itu, yang setelah beberapa waktu tinggal bersama-sama, kemudian meninggal dunia di tengah-tengah pamannya dari pihak ibu.
Sesudah Hijrah, pernah juga Rasulullah menceritakan kepada sahabat-sahabat nya kisah perjalanannya yang pertama ke Madinah dengan ibunya itu. Kisah yang penuh cinta pada Madinah, kisah yang penuh duka pada orang yang ditinggalkan keluarganya.
Sesudah cukup sebulan mereka tinggal di Madinah, Bunda Aminah sudah bersiap-siap akan pulang. Beliau dan rombongan kembali pulang dengan dua ekor unta yang membawa mereka dari Makkah. Tetapi di tengah perjalanan, ketika mereka sampai di Abwa', ibunda Aminah menderita sakit, yang kemudian meninggal dan dikuburkan pula di tempat itu. Sayyidina Muhammad melihat sendiri di hadapannya, sang bunda pergi untuk tidak kembali lagi, seperti ayah dulu. Tubuh yang masih kecil itu kini dibiarkan memikul beban hidup yang berat, sebagai yatim-piatu.
Oleh Umm Aiman, beliau dibawa pulang ke Makkah. Beliau pulang dengan dengan tangis dan hati yang pilu. Beliau merasakan hidup yang makin sunyi.
Kakek Abdul-Muthalib memang sangat mencintainya. Tetapi sungguhpun begitu, kenangan sedih sebagai anak yatim-piatu itu bekasnya masih mendalam sekali dalam jiwanya sehingga di dalam Qur'anpun disebutkan, ketika Allah mengingatkan Nabi akan nikmat yang dianugerahkan kepadanya itu:
اَلَمۡ يَجِدۡكَ يَتِيۡمًا فَاٰوٰى
وَوَجَدَكَ ضَآ لًّا فَهَدٰى
"Bukankah engkau dalam keadaan yatim-piatu? Lalu diadakanNya orang yang akan melindungimu? Dan menemukan kau kehilangan pedoman, lalu ditunjukkanNya jalan itu?" (Qur'an, 93: 6-7)
Kenangan yang memilukan hati ini barangkali akan terasa agak meringankan juga sedikit, sekiranya Kakek Abdul-Muthalib masih dapat hidup lebih lama lagi. Tetapi orang tua itu juga meninggal, dalam usia delapanpuluh tahun. Sedangkan Sayyidina Muhammad waktu itu baru berumur delapan tahun.
Haekal melukiskan, sekali lagi Muhammad dirundung kesedihan karena kematian kakeknya itu, seperti yang sudah dialaminya ketika ibunya meninggal. Begitu sedihnya dia, sehingga selalu ia menangis sambil mengantarkan keranda jenazah sampai ketempat peraduan terakhir.
“Bahkan sesudah itupun ia masih tetap mengenangkannya sekalipun sesudah itu, di bawah asuhan Abu Thalib pamannya ia mendapat perhatian dan pemeliharaan yang baik sekali, mendapat perlindungan sampai masa kenabiannya, yang terus demikian sampai pamannya itupun achirnya meninggal,” tulis Haekal.
Sebenarnya kematian Abdul-Muthalib ini, menurut Haekal, merupakan pukulan berat bagi Keluarga Hasyim semua. Di antara anak-anaknya itu tak ada yang seperti dia: mempunyai keteguhan hati, kewibawaan, pandangan yang tajam, terhormat dan berpengaruh di kalangan Arab semua.
( )
Dia menyediakan makanan dan minuman bagi mereka yang datang berziarah, memberikan bantuan kepada penduduk Makkah bila mereka mendapat bencana. “Sekarang ternyata tak ada lagi dari anak-anaknya itu yang akan dapat meneruskan. Yang dalam keadaan miskin, tidak mampu melakukan itu, sedang yang kaya hidupnya kikir sekali,” tulis Haekal.
Oleh karena itu maka Keluarga Umayah yang lalu tampil ke depan akan mengambil tampuk pimpinan yang memang sejak dulu diinginkan itu, tanpa menghiraukan ancaman yang datang dari pihak Keluarga Hasyim.
Pengasuhan Sayyidina Muhammad di pegang oleh Abu Thalib, sekalipun dia bukan yang tertua di antara saudara-saudaranya. Saudara tertua adalah Harith, tapi dia tidak seberapa mampu. Sebaliknya Abbas yang mampu, menurut Haekal, tapi dia kikir sekali dengan hartanya. Oleh karena itu ia hanya memegang urusan siqaya (pengairan) tanpa mengurus rifada (makanan).
Sekalipun dalam kemiskinannya itu, tapi Abu Thalib mempunyai perasaan paling halus dan terhormat di kalangan Quraisy. Dan tidak pula mengherankan kalau Abdul-Muthalib menyerahkan asuhan Sayyidina Muhammad kemudian kepada Abu Thalib.
( )
Abu Thalib mencintai kemenakannya itu sama seperti Abdul-Muthalib juga. Karena kecintaannya itu ia mendahulukan kemenakan daripada anak-anaknya sendiri.
Budi pekerti Sayyidina Muhammad yang luhur, cerdas, suka berbakti dan baik hati, itulah yang lebih menarik hati pamannya.
Tanda-Tanda Kenabian
Pernah pada suatu ketika ia akan pergi ke Syam membawa dagangan - ketika itu usia Sayyidina Muhammad baru duabelas tahun - mengingat sulitnya perjalanan menyeberangi padang pasir, tak terpikirkan olehnya akan membawa keponakannya itu.
Akan tetapi sang keponakan yang dengan ikhlas menyatakan akan menemani pamannya itu. Hal itu juga yang menghilangkan sikap ragu-ragu dalam hati Abu Thalib.
Sayyidina Muhammad turut serta dalam rombongan kafilah, hingga sampai di Bushra di sebelah selatan Syam. Dalam buku-buku riwayat hidup Muhammad diceritakan, bahwa dalam perjalanan inilah ia bertemu dengan rahib Bahira ada juga yang menyebut Buhaira, dan bahwa rahib itu telah melihat tanda-tanda kenabian padanya sesuai dengan petunjuk cerita-cerita Kristen.
Sebagian sumber menceritakan, bahwa rahib itu menasehatkan keluarganya supaya jangan terlampau dalam memasuki daerah Syam, sebab dikhawatirkan orang-orang Yahudi yang mengetahui tanda-tanda itu akan berbuat jahat terhadap dia.
Dalam kitab Adab Bizantium disebutkan, Buhaira adalah seorang rahib yang menganut aliran Airus Nasthuri, dan ia mengingkari Lahut al-Masih (Ketuhanan al-Masih) dan menyatakan bahwa penamaannya dengan sebutan tuhan tidak diperbolehkan.
Menurut sejumlah peneliti, pertemuan antara Abu Thalib dan Muhammad dengan rahib atau pendeta Buhaira itu terjadi di dalam kuil pendeta Buhaira yang ada di Busra. Di tempat ini, terdapat sebuah tempat ibadah (gereja) yang diyakini banyak orang sebagai gereja Buhaira. Tempat tersebut berada di dekat kawasan Roman Theatre, yang dibangun pada masa pemerintah Romawi (Rum), oleh kaisar Julianus pada tahun 513-512 sebelum Masehi (SM).
Hanafi al-Mahlawi dalam bukunya Al-Amakin Al-Masyhurah Fi hayati Muhammad SAW (Harum Semerbak Tempat-tempat yang Dikunjungi Rasulullah SAW), menjelaskan, Rasul SAW pernah dua kali mengunjungi Syam, pertama saat bertemu dengan pendeta Buhaira, dan kedua ketika mengabarkan kemenangan Islam kepada penduduk setempat, sekitar tahun kelima kenabian.
Dalam Sirah Nabawiyah karya Ibn Ishaq diceritakan, Abu Thalib pergi menuju Syam dalam rangka berdagang, dan tatkala telah siap melakukan perjalanan, tiba-tiba ia merasa rindu dengan keponakannya dan ia ingin membawanya ke Syam.
Abu Thalib pun berkata, ''Sungguh aku ingin sekali mengajaknya pergi, ia tidak boleh terpisah dariku, dan aku tidak akan pernah meninggalkannya.'' Lalu mereka pergi bersama. Dan tatkala sampai di Bushra, mereka bertemu dengan seorang rahib Nasrani yang sedang berada di kuilnya, ia bernama Buhairi (tapi dalam kitab lain disebutkan bahwa namanya adalah Buhaira).
Ka'bah: Kisah Nazar Abdul Muthalib Menyembelih Anaknya
Sebelumnya, para kafilah dagang kerap bertemu dengannya, namun ia tidak pernah berkata sesuatu yang spesial kepada mereka. Akan tetapi, pada tahun itu, tatkala kafilah Abu Thalib berhenti di dekat kuilnya, sang rahib segera membuatkan banyak makanan untuk mereka. Hal ini dikarenakan ada sesuatu yang ia terawang (lihat) dari dalam kuilnya. Mereka mengatakan, bahwa ia melihat utusan Allah sedang berada diatas tunggangan dan terdapat awan yang terus menaunginya dari panas matahari, padahal ia berada di antara banyak orang.
Kemudian mereka tiba dan turun di dekat sebuah pohon serta melihat ke arah awan yang juga menaungi pohon, bahkan ranting-ranting pohon itu pun condong seolah menunduk pada Rasulullah SAW, hingga ia bisa berteduh di bawahnya. Dan ketika Buhaira melihat fenomena itu, ia pun turun dari kuilnya dan mengutus seseorang untuk menemui mereka.
Ia berkata, ''Aku telah membuatkan untuk kalian makanan dan minuman, wahai orang-orang Quraisy, dan aku sangat suka jika kalian semua bisa hadir dalam jamuan ini, baik yang besar, kecil, atau pun dari kalangan hamba sahaya dan orang-orang merdeka.''
Setelah berbasa-basi, kafilah Abu Thalib akhirnya menerima tawaran itu, dan bersedia menghadiri jamuan makanan dan minuman yang disediakan. Dan ketika Buhaira melihat Muhammad, ia merasa ada sesuatu yang berbeda dengan rombongan anggota kafilah lainnya. Ia amati tubuhnya dan menemukan sebuah tanda.
Maka, saat semuanya sudah makan, Buhaira berdiri dan berkata, ''Wahai anak kecil (Muhammad), demi Lata dan 'Uzza aku bertanya kepadamu, dan aku sangat mengharapkan engkau mau menjawab apa yang aku tanyakan.''
Buhaira bertanya dengan menggunakan sumpah itu, karena ia mendengar orang-orang Quraisy suka mengucapkannya. Namun, Muhammad segera menjawab, ''Jangan engkau tanya aku dengan nama Lata dan 'Uzza. Demi Allah, tidak ada yang aku benci melebihi keduanya.''
Buhaira berkata lagi, ''Kalau begitu, atas nama Allah aku memintamu untuk menjawab pertanyaanku.'' Muhammad berkata, ''Katakanlah, apa yang ingin engkau tanyakan.''
Buhaira kemudian bertanya berbagai hal pada Muhammad, mulai dari tidurnya, tentang gayanya, dan tentang perkara-perkara lainnya. Muhamamd pun menjawab semua pertanyaan itu dengan lancar. Maka apa yang kemudian di dengar oleh Buhaira benar-benar sama dengan apa yang ia ketahui selama ini. Kemudian ia melihat punggung Muhammad, dan menemukan 'cap kenabian' di antara kedua pundaknya, sesuai dengan tempat yang semestinya, sebagaimana yang ia ketahui. Ibnu Hisyam mengatakan, bahwa tanda itu seperti bekas bekam.
Maka setelah mengetahui tanda-tanda itu, Buhaira lalu menemui Abu Thalib. ''Apa hubunganmu dengan anak kecil itu?'' Abu Thalib menjawab bahwa Muhammad adalah anaknya. Buhaira membantahnya, ''Ia bukan anakmu, dan semestinya anak itu tidak memiliki ayah yang masih hidup.'' Abu Thalib menjadi, ''Ia keponakanku (anak saudaraku).'' Ayahnya telah meninggal ketika ibunya masih mengandung.''
Buhaira berkata, ''Bawalah segera pulang anak itu, dan jagalah ia dari orang-orang Yahudi. Demi Allah, jika mereka melihatnya dan mengetahui anak itu seperti yang aku ketahui, maka mereka akan menyakitinya. Putra saudaramu ini akan mengemban tugas yang sangat agung.'' Abu Thalib lalu membawa pulang Muhammad kembali ke Makkah. (Lihat Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyyah, 1997, 1:219-220).
Selalu Belajar
Dalam perjalanan itulah sepasang mata Sayyidina Muhammad yang indah itu melihat luasnya padang pasir, menatap bintang-bintang yang berkilauan di langit yang jernih cemerlang.
Dilaluinya daerah-daerah Madyan, Wadit'l-Qura serta peninggalan bangunan-bangunan Thamud. Didengarnya dengan telinganya yang tajam segala cerita orang-orang Arab dan penduduk pedalaman tentang bangunan-bangunan itu, tentang sejarahnya masa lampau.
Dalam perjalanan ke daerah Syam ini ia berhenti di kebun-kebun yang lebat dengan buab-buahan yang sudah masak, yang akan membuat ia lupa akan kebun-kebun di Ta'if serta segala cerita orang tentang itu.
Taman-taman yang dilihatnya dibandingkannya dengan dataran pasir yang gersang dan gunung-gunung tandus di sekeliling Makkah itu. Di Syam ini juga, Sayyidina Muhammad mengetahui berita-berita tentang Kerajaan Romawi dan agama Kristennya, didengarnya berita tentang Kitab Suci mereka serta oposisi Persia dari penyembah api terhadap mereka dan persiapannya menghadapi perang dengan Persia. ( )
Sekalipun usianya baru dua belas tahun, menurut Haekal, tapi beliau sudah mempunyai persiapan kebesaran jiwa, kecerdasan dan ketajaman otak, sudah mempunyai tinjauan yang begitu dalam dan ingatan yang cukup kuat serta segala sifat-sifat semacam itu yang diberikan alam kepadanya sebagai suatu persiapan akan menerima risalah (misi) maha besar yang sedang menantinya. Ia melihat ke sekeliling, dengan sikap menyelidiki, meneliti. Ia tidak puas terhadap segala yang didengar dan dilihatnya. Ia bertanya kepada diri sendiri: Di manakah kebenaran dari semua itu?
Tampaknya Abu Thalib tidak banyak membawa harta dari perjalanannya itu. Ia tidak lagi mengadakan perjalanan demikian. Malah sudah merasa cukup dengan yang sudah diperolehnya itu. Ia menetap di Makkah mengasuh anak-anaknya yang banyak sekalipun dengan harta yang tidak seberapa.( )
Sayyidina Muhammad juga tinggal dengan pamannya, menerima apa yang ada. Ia melakukan pekerjaan yang biasa dikerjakan oleh mereka yang seusia dia. Bila tiba bulan-bulan suci, kadang ia tinggal di Makkah dengan keluarga, kadang pergi bersama mereka ke pekan-pekan yang berdekatan dengan 'Ukaz, Majanna dan Dhu'l-Majaz, mendengarkan sajak-sajak yang dibawakan oleh penyair-penyair Mudhahhabat dan Mu'allaqat.
Pendengarannya terpesona oleh sajak-sajak yang fasih melukiskan lagu cinta dan puisi-puisi kebanggaan, melukiskan nenek moyang mereka, peperangan mereka, kemurahan hati dan jasa-jasa mereka.
Didengarnya ahli-ahli pidato di antaranya orang-orang Yahudi dan Nasrani yang membenci paganisma Arab. Mereka bicara tentang Kitab-kitab Suci Isa dan Musa, dan mengajak kepada kebenaran menurut keyakinan mereka. Dinilainya semua itu dengan hati nuraninya, dilihatnya ini lebih baik daripada paganisma yang telah menghanyutkan keluarganya itu. Tetapi tidak sepenuhnya ia merasa lega.(
Baca Juga
Dengan demikian sejak muda-belia takdir telah mengantarkannya ke jurusan yang akan membawanya ke suatu saat bersejarah, saat mula pertama datangnya wahyu, tatkala Tuhan memerintahkan ia menyampaikan risalahNya itu. Yakni risalah kebenaran dan petunjuk bagi seluruh umat manusia.
Adakah juga Muhammad ikut serta dengan mereka dalam hal ini? Ataukah sebaliknya perasaannya yang halus, kemampuannya yang terbatas serta asuhan pamannya membuatnya jadi menjauhi semua itu, dan melihat segala kemewahan dengan mata bernafsu tapi tidak mampu?
Haekal mengatakan bahwasanya dia telah menjauhi semua itu, sejarah cukup menjadi saksi. Yang terang ia menjauhi itu bukan karena tidak mampu mencapainya. Mereka yang tinggal di pinggiran Makkah, yang tidak mempunyai mata pencarian, hidup dalam kemiskinan dan kekurangan, ikut hanyut juga dalam hiburan itu. Bahkan di antaranya lebih gila lagi dari pemuka-pemuka Makkah dan bangsawan-bangsawan Quraisy dalam menghanyutkan diri ke dalam kesenangan demikian itu. (
Baca Juga
Akan tetapi jiwa Sayyidina Muhammad adalah jiwa yang ingin melihat, ingin mendengar, ingin mengetahui. Dan seolah tidak ikut sertanya ia belajar seperti yang dilakukan teman-temannya dari anak-anak bangsawan menyebabkan ia lebih keras lagi ingin memiliki pengetahuan. Karena jiwanya yang besar, yang kemudian pengaruhnya tampak berkilauan menerangi dunia, jiwa besar yang selalu mendambakan kesempurnaan, itu jugalah yang menyebabkan dia menjauhi foya-foya, yang biasa menjadi sasaran utama penduduk Makkah. Ia mendambakan cahaya hidup yang akan lahir dalam segala manifestasi kehidupan, dan yang akan dicapainya hanya dengan dasar kebenaran.
Kenyataan ini dibuktikan oleh julukan yang diberikan orang kepadanya dan bawaan yang ada dalam dirinya. Itu sebabnya, sejak masa ia kanak-kanak gejala kesempurnaan, kedewasaan dan kejujuran hati sudah tampak, sehingga penduduk Makkah semua memanggilnya Al-Amin (artinya 'yang dapat dipercaya'). ( )
(mhy)