Syarat Sah Tawaf: Menutup Aurat dan Bersuci dari Hadas

Jum'at, 01 Juli 2022 - 16:40 WIB
loading...
Syarat Sah Tawaf: Menutup Aurat dan Bersuci dari Hadas
Syarat sah tawaf antara lain adalah menutup aurat dan bersuci dari hadas. Foto/Ilustrasi : SINDOnews
A A A
Tawaf (thawaf) secara bahasa adalah berputar, sedangkan secara istilah adalah berputar mengelilingi Kakbah . Tawaf ada lima macam. Pertama, tawaf ifadlah. Kedua, tawaf qudum. Ketiga, tawaf wada’. Keempat, tawaf sunnah. Kelima, tawaf umrah.

Tawaf ifadlah termasuk bagian dari rukun-rukun haji , andaikan ditinggalkan, hajinya tidak sah, tidak bisa diganti dengan denda (dam).

Demikian pula dengan tawaf umrah , termasuk dari rukunnya ibadah umrah yang apabila ditinggalkan berkonsekuensi sama dengan tawaf ifadlah.

Tawaf qudum hukumnya sunnah, dilakukan saat seseorang memasuki kota Mekkah. Sedangkan tawaf wada’ termasuk dari kewajiban-kewajiban haji, andaikan ditinggalkan, maka berdosa dan wajib diganti dengan denda (dam), namun tidak sampai menyebabkan rusaknya haji.

Sedangkan tawaf sunnah merupakan ibadah yang dianjurkan bagi setiap orang yang masuk Masjidil Haram sebagai bentuk penghormatan kepada Masjidil Haram .

Sebagaimana tawaf qudum, tawaf ini tidak wajib, andaikan ditinggalkan tidak berdampak rusaknya haji, tidak pula berkonsekuensi kewajiban membayar dam.



Nah, dalam pelaksanaannya, tawaf harus memenuhi syarat-syarat antara lain adalah menutup aurat dan bersuci dari hadas.

Perihal menutup aurat yang dimaksud di sini adalah menutupi aurat laki-laki atau perempuan yang bisa mengesahkan sholat mereka.

Para ulama berbeda pendapat tentang masalah ini dalam dua pendapat. Pendapat pertama, menyatakan menutup aurat termasuk syarat sah Tawaf. Inilah pendapat Malik, asy-Syafi’i dan Ahmad dalam riwayat yang masyhur dari beliau dan inilah pendapat mayoritas ulama.

Pendapat kedua, menutup aurat adalah sebuah kewajiban bukan syarat. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan satu pendapat dalam madzhab Hanabilah.

Pendapat yang rajih dalam hal ini adalah pendapat mayoritas ulama, berdasarkan hadis Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang mengatakan:

أَنَّ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بَعَثَهُ فِي الحَجَّةِ الَّتِي أَمَّرَهُ عَلَيْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْلَ حَجَّةِ الوَدَاعِ يَوْمَ النَّحْرِ فِي رَهْطٍ يُؤَذِّنُ فِي النَّاسِ «أَلاَ لاَ يَحُجُّ بَعْدَ العَامِ مُشْرِكٌ، وَلاَ يَطُوفُ بِالْبَيْتِ عُرْيَانٌ»

Sesungguhnya Abu Bakar Radhiyallahu anhu mengutus beliau di haji yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan Abu bakar berhaji sebelum haji wada’ para hari Nahr pada sejumlah orang untuk menyampaikan kepada manusia: Ketahuilah tidak boleh seorang musyrik berhaji setelah tahun ini dan tidak boleh orang telanjang berthawâf di Kakbah (HR al-Bukhari no. 1622).

Juga perintah berhias di masjid seperti dalam firman Allah Ta’ala:

يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ

Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid. [Al-A’raf/7:31]

Menunjukkan perintah menutup aurat dalam Tawaf, karena Tawaf hanya dilakukan di dalam masjid dan juga karena menurut mayoritas ahli tafsir larangan tawaf telanjang adalah sebab turunnya ayat ini.



Bersuci dari hadas.
Tidak ada perbedaan pendapat para ulama tentang pensyariatan bersuci dalam tawaf. Namun mereka berselisih dalam menetapkan bersuci dari hadas sebagai syarat sah tawaf dalam tiga pendapat:

Pendapat pertama menyatakan bersuci dari hadas adalah syarat sah tawaf sehingga siapa yang tawaf dalam keadaan berhadas maka tawafnya tidak sah. Inilah pendapat Malik, asy-Syafi’i, dan Ahmad dalam riwayat yang masyhur.

Pendapat kedua menyatakan bersuci dari hadas hukumnya wajib. Inilah pendapat Abu Hanifah dan Ahmad dalam sebuah riwayat.

Pendapat ketiga menyatakan bersuci dari hadas kecil dalam tawaf hukumnya Sunnah. Inilah pedapat sejumlah ulama salaf dan Ahmad dalam sebuah riwayat dan dirajihkan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim serta Ibnu Hazm.

Sedangkan orang yang berhadas besar dilarang melakukan tawaf kecuali ada uzur. Ibnu Taimiyah mengatakan, "Adapun tawaf tidak boleh atas orang yang haidh dan nifas menurut nash dan ijma’.



Pendapat ini didasarkan kepada dalil-dalil berikut ini:

1. Pada asalnya kewajiban bersuci dari hadas tidak ada hingga ada dalil yang menetapkannya. Ibnul Qayyim mengatakan tidak ada seorangpun yang menukil dari Nabi SAW bahwa beliau memerintahkan kaum Muslimin bersuci (untuk tawaf), baik dalam umrah ataupun haji, padahal banyak sekali orang yang berhaji dan berumrah bersama beliau.

"Tidak mungkin bersuci adalah wajib dan beliau tidak menjelaskannya. mengakhirkan penjelasan pada waktu dibutuhkan tidak boleh," ujar Ibnul Qayyim.

2. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطُّهُورُ، وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ، وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ

Kuncinya sholat adalah bersuci, pengharamnya adalah takbir dan penghalalnya adalah salam. [HR Ahmad 1/123 dan dishahihkan al-Albâni dalam Shahih al-Jâmi’ 1/1083].

Ibnu Taimiyah menjelaskan hadis ini dengan menyatakan bahwa dalam hadis ini ada dua pengertian, salah satunya pengharaman sholat dengan takbir dan penghalalannya dengan salam dan ibadah yang tidak diharamkan dengan takbir dan dihalalkan dengan salam bukan termasuk sholat.

Kedua, inilah dia sholat yang kuncinya bersuci. Setiap sholat kuncinya bersuci sehingga pengharamannya takbir dan penghalalannya dengan salam. Sehingga yang tidak diharamkan dengan takbir dan dihalalkan dengan salam maka kuncinya bukan bersuci.

3. Hadis Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ مِنَ الْخَلَاءِ، فَأُتِيَ بِطَعَامٍ، فَذَكَرُوا لَهُ الْوُضُوءَ فَقَالَ: أُرِيدُ أَنْ أُصَلِّيَ فَأَتَوَضَّأَ؟

Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari WC , lalu dihidangkan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam makanan lalu mereka menanyakan wudhu beliau, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: Apakah aku akan sholat sehingga berwudhu?. [HR Muslim].

Ibnu Taimiyah menyatakaan bahwa hadis ini menunjukkan tidak diwajibkan berwudhu kecuali apabila ingin shalat dan wudhu bagi selain sholat hukumnya Sunnah bukan wajib.



4. Perbuatan Nabi SAW berwudhu ketika thawaf adalah perbuatan mutlak yang tidak harus menunjukkan wajib. Sedangkan pernyataan bahwa itu adalah penjelas dari hadis Nabi (خُذُوا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ) , maka dijawab bahwa itu tidak menunjukkan kewajiban, karena pengertian (خُذُوا عَنِّي) di sini adalah mengerjakan seperti perbuatan beliau.

Apabila beliau mengerjakannya karena hukumnya Sunnah maka kita mengerjakannya juga karena hukumnya Sunnah. Apabila kita lakukan dengan keyakinan wajib (padahal hukumnya sunnah) maka kita tidak mengambil dan mencontoh Rasulullah SAW.

Hal ini didukung dengan banyaknya perbuatan Rasulullah SAW dalam haji yang tidak diwajibkan para ulama, seperti raml, ithdhiba’ dan minum zamzam.

5. Sedangkan hadis ‘Aisyah dan Shafiyah yang dilarang Thawaf karena haidh yang menunjukkan tidak sahnya Thawaf orang yang haidh tidak bisa dianalogikan kepada mereka yang tidak bersuci dari hadats kecil, karena perbedaan yang ada di antara keduanya.



Suci dari Najis
Para ulama berbeda pendapat tentang pensyaratan suci dari najis pada badan, pakaian dan tempat yang terkena najis dalam tiga pendapat:

Pendapat pertama menyatakan suci dari najis adalah syarat sah thawaf. Inilah pendapat Malik, asy-Syafi’i dan Ahmad. Al-Mawardi menisbatkannya kepada pendapat mayoritas ulama.

Pendapat kedua menyatakan suci dari najis hukumnya Sunnah muakkad. Inilah pendapat yang masyhur dari Abu Hanifah.

Pendapat ketiga menyatakan suci dari najis ini adalah wajib bukan syarat sah thawaf. Ini adalah pendapat sebagian ulama mazhab Hanafiyah dan satu satu pendapat dalam mazhab Hanabilah.

Pendapat yang rajih dalam hal ini adalah pendapat pertama yang menjadikannya syarat sah, sebab Allah Ta’ala memerintahkan untuk mensucikan Kakbah untuk orang yang thawaf dan sholat dalam firmanNya:

وَعَهِدْنَا إِلَىٰ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ

Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: ”Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’, dan yang sujud. [QS Al-Baqarah/2:125].



Ayat ini menunjukkan kewajiban mensucikan tempat thawaf. Apabila ada perintah Ilahi untuk mensucikan tempat thawaf yang terpisah dari orang yang berthawaf, maka mensucikan pakaian dan diri orang yang thawaf dari najis lebih diperintahkan lagi. Wallahu a’lam.
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2946 seconds (0.1#10.140)