Penyebab Kaum Anshar Tak Kompak Dukung Rasulullah SAW dalam Perang Badar
loading...
A
A
A
Rasulullah SAW hijrah ke Madinah dan tiba di sana hari Senin, tanggal 12 Rabiul Awal. Begitu menurut beberapa riwayat yang populer. Tujuh bulan setelah kedatangan beliau di kota ini, tepatnya pada bulan Ramadan, Nabi mengutus sariyah (ekspedisi militer yang tidak diikuti Nabi) pertama ke Saif al-Bahr di bawah komando Hamzah bin Abdul Muthalib untuk menghadang kafilah Quraisy yang datang dari Syam.
Berbagai ekspedisi militer yang diikuti Nabimaupunyang tidak, dilancarkan susul menyusul hingga jumlahnya mencapai delapan kali selama setahun lebih beberapa bulan.
Dr Muhammad bin Fariz al-Jamil, dalam bukunya berjudul "Nabi Muhammad dan Yahudi Madinah" menjelaskan yang perlu digarisbawahi adalah dalam semua gerakan militer ini, dengan target dan arah yang beragam, tak seorang pun dari kalangan Anshar turut serta.
Menafsirkan fakta tersebut, al-Waqidi menyatakan, Rasulullah tidak mengutus seorang pun dari kalangan Anshar untuk berperang hingga terjun sendiri di Badar, karena beliau mengira mereka tidak akan membantu dirinya kecuali di rumah.
Maksudnya, ketika bersumpah setia dalam Bai'ah al-Agabah Kedua, orang-orang Anshar menganggap perlindungan terhadap diri Nabi hanya berlaku jika musuh mengancam atau menyerang mereka di Madinah.
Pemahaman inilah yang membuat beliau tidak menuntut mereka turut serta dalam berbagai ekspedisi militer di luar Madinah. Kemungkinan lainnya, kaum Anshar tidak menawarkan diri untuk turut serta dalam kegiatan-kegiatan itu.
Peristiwa ini memberi jawaban bahwa Piagam Madinah mengenai kaum muslimin tidak mungkin ditulis sebelum Perang Badar . "Bagaimanapun, seandainya Piagam Madinah sudah ditulis saat itu, mereka pasti diharapkan memberikan sumbangan nyata dalam semua gerakan militer pra-Badar," ujar Muhammad bin Fariz dalam bukunya yang berjudul asli "An-Nabi wa Yahid al-Madinah, Dirasah Tabliliyah li Alagah ar-Rasul bi Yahud al-Madinah wa Mawaqif al-Mustasyriqin Minha" dan diterjemahkan Indi Aunullah.
Gambaran ini menjadi lebih jelas, kata Muhammad bin Fariz, jika kita mempertimbangkan kondisi Rasulullah menjelang Perang Badar. Dalam laporan disebutkan, ketika mendengar Abu Sufyan berangkat dari Syam, Rasulullah menyeru kaum muslimin.
Beliau berkata, “Ini ada kafilah Quraisy, di dalamnya ada harta benda. Maka keluarlah kalian untuk menyerang mereka, semoga Allah menjadikan kekayaan mereka itu sebagai harta rampasan bagi kita."
Lalu, beliau menugaskan orang-orang Muhajirin . Sebagian bergegas bersiap-siap berangkat, namun sebagian yang lain merasa berat karena tidak menduga sang Nabi menginisiasi perang.
Diterangkan lagi dalam riwayat yang sama, Rasulullah kemudian mendapat kabar mengenai berangkatnya orang-orang Quraisy untuk melindungi kafilah mereka. Beliau pun bermusyawarah dengan semua sahabat dalam menghadapi situasi terkini.
Beberapa orang dari kalangan Muhajirin memberikan saran, tetapi beliau tetap meminta, “Wahai sahabatku, berikanlah saran.”
Muhammad bin Fariz mengatakan yang dikehendaki Nabi adalah dari kalangan Anshar, karena jumlah mereka banyak. Juga karena mengingat perkataan mereka saat berbaiat kepada beliau di Aqabah.
“Wahai Rasulullah, kami bebas dari tanggungan hingga Anda sampai ke rumah. Jika sudah sampai, Anda berada dalam tanggungan kami. Kami akan melindungi Anda seperti melindungi anak-anak dan kaum perempuan kami.”
Intinya, Rasul mulia khawatir orang-orang Anshar hanya mau melakukan pembelaan terhadap musuh yang menyerang Madinah, sekaligus, beliau merasa tidak berhak mengajak mereka meninggalkan kampung halaman untuk menghadapi musuh.
Dalam riwayat lain dituturkan, ketika melihat Nabi berkali-kali meminta saran kepada para sahabatnya meski sudah ditanggapi, Sa'ad bin Mu'adz al-Anshari berkata, “Wahai Rasulullah, barangkali ada kekhawatiran bahwa orang-orang Anshar tidak ingin menenangkan Anda dan ada anggapan Anda tidak berhak meminta bantuan kecuali ada musuh menyerang rumah mereka, yang mengancam nyawa anak-anak dan kaum perempuan mereka. Ketahuilah, aku berdiri di sini mewakili orang-orang Anshar menjawab prasangka tersebut."
"Wahai Rasulullah, pergilah ke mana pun yang Anda suka, sambunglah hubungan dengan siapa pun yang Anda suka, dan putuslah hubungan dengan siapa pun yang Anda suka (sedangkan kami akan tetap setia bersama dan mengikuti arahan Anda)."
Mendengar klarifikasi Sa'ad ini, Rasulullah menyerukan, “Berangkatlah dengan nama Allah.”
Dalam riwayat lain dijelaskan betapa gembira dan semangatnya Rasulullah saat mendengar pernyataan Sa'ad ini, lalu beliau berseru, “Berangkatlah, dan bergembiralah!”
Demikianlah, ujar Muhammad bin Fariz, seandainya Piagam Madinah sudah ditulis sebelum peristiwa Badar, para sahabat pasti tidak merasa berat untuk berangkat bersama Rasulullah ke mana pun.
Selain itu, beliau tidak perlu bersikeras mendengar pendapat dan sikap pihak Anshar mengenai bentrokan melawan kaum kafir Quraisy. Dapat dipastikan pula bahwa para sejarawan tidak akan menyebut-nyebut Bai'ah al-Aqabah, serta tidak akan dinukil riwayat kalau Sa'ad bin Mw'adz, pemimpin Aus, merujuk padanya dalam berpendapat mewakili kaum Anshar.
Menurut Muhammad bin Fariz, sebagai penguat, turunlah ayat al-Quran menjelaskan kondisi psikologis itu dan sikap ragu-ragu sebagian mukminin karena takut menghadapi bentrokan dengan Quraisy.
Allah berfirman, “Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dari rumahmu dengan kebenaran, meskipun sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman itu tidak menyukainya. Mereka membantahmu tentang kebenaran setelah nyata (bahwa mereka pasti menang), seakan-akan mereka dihalau menuju kematian, sedang mereka melihat (sebab kematian itu)” ( QS al-Anfal (8) : 5-6).
Sikap ragu-ragu sebagian mukminin ini bisa dimengerti karena mereka diperintah berangkat untuk menghadang kafilah dan menyita barang dagangan Quraisy. Mereka sama sekali tidak menduga akan menghadapi pertempuran dan memerangi musuh dalam waktu dekat, dan sebab itu pulalah Rasulullah memberitahu mereka kenyataannya: pasti terjadi bentrokan dengan Quraisy.
Lalu muncullah tanda-tanda kelemahan, ketakutan, dan keraguan dari sebagian mereka. Kondisi mereka digambarkan dalam ayat berikut, “Dan (ingatlah) ketika Allah menjanjikan kepadamu bahwa salah satu dari dua golongan (yang kamu hadapi) adalah untukmu, sedang kamu menginginkan bahwa yang tidak mempunyai kekuatan senjatalah untukmu. Tetapi Allah hendak membenarkan yang benar dengan ayat-ayat-Nya dan memusnahkan orang-orang kafir sampai ke akar-akarnya” ( QS al-Anfal (8) : 7).
Bagaimanapun juga, pada saat-saat darurat dan penting bagi Nabi Islam dan agamanya ini, kata Muhammad bin Fariz, kaum Anshar mengumumkan sikap baru mereka mengenai kondisi perang dan damai. Dan melalui mulut salah satu pemuka kaumnya, Sa'ad bin Mu'adz, mereka memberikan mandat penuh kepada Rasulullah dalam semua hal baik terkait urusan perang dan damai maupun dalam menjalin atau memutus hubungan dengan pihak mana pun.
Setelah kaum muslimin kembali dari Badar sebagai pemenang, sedangkan pihak Quraisy kalah telak, maka harus ada kesepakatan dan dokumen baru antara para penduduk Madinah, baik dari kaum muslimin, Muhajirin maupun Anshar, dan pihak-pihak lainnya.
Hal ini mengingat berbagai peristiwa yang terjadi susul-menyusul sudah melampaui kesepakatan pada Bai'ah al-Aqabah Kedua, terutama setelah kemenangan gemilang kaum muslimin di Perang Badar pada tahun 2 H itu.
Berbagai ekspedisi militer yang diikuti Nabimaupunyang tidak, dilancarkan susul menyusul hingga jumlahnya mencapai delapan kali selama setahun lebih beberapa bulan.
Dr Muhammad bin Fariz al-Jamil, dalam bukunya berjudul "Nabi Muhammad dan Yahudi Madinah" menjelaskan yang perlu digarisbawahi adalah dalam semua gerakan militer ini, dengan target dan arah yang beragam, tak seorang pun dari kalangan Anshar turut serta.
Menafsirkan fakta tersebut, al-Waqidi menyatakan, Rasulullah tidak mengutus seorang pun dari kalangan Anshar untuk berperang hingga terjun sendiri di Badar, karena beliau mengira mereka tidak akan membantu dirinya kecuali di rumah.
Maksudnya, ketika bersumpah setia dalam Bai'ah al-Agabah Kedua, orang-orang Anshar menganggap perlindungan terhadap diri Nabi hanya berlaku jika musuh mengancam atau menyerang mereka di Madinah.
Pemahaman inilah yang membuat beliau tidak menuntut mereka turut serta dalam berbagai ekspedisi militer di luar Madinah. Kemungkinan lainnya, kaum Anshar tidak menawarkan diri untuk turut serta dalam kegiatan-kegiatan itu.
Peristiwa ini memberi jawaban bahwa Piagam Madinah mengenai kaum muslimin tidak mungkin ditulis sebelum Perang Badar . "Bagaimanapun, seandainya Piagam Madinah sudah ditulis saat itu, mereka pasti diharapkan memberikan sumbangan nyata dalam semua gerakan militer pra-Badar," ujar Muhammad bin Fariz dalam bukunya yang berjudul asli "An-Nabi wa Yahid al-Madinah, Dirasah Tabliliyah li Alagah ar-Rasul bi Yahud al-Madinah wa Mawaqif al-Mustasyriqin Minha" dan diterjemahkan Indi Aunullah.
Gambaran ini menjadi lebih jelas, kata Muhammad bin Fariz, jika kita mempertimbangkan kondisi Rasulullah menjelang Perang Badar. Dalam laporan disebutkan, ketika mendengar Abu Sufyan berangkat dari Syam, Rasulullah menyeru kaum muslimin.
Beliau berkata, “Ini ada kafilah Quraisy, di dalamnya ada harta benda. Maka keluarlah kalian untuk menyerang mereka, semoga Allah menjadikan kekayaan mereka itu sebagai harta rampasan bagi kita."
Lalu, beliau menugaskan orang-orang Muhajirin . Sebagian bergegas bersiap-siap berangkat, namun sebagian yang lain merasa berat karena tidak menduga sang Nabi menginisiasi perang.
Diterangkan lagi dalam riwayat yang sama, Rasulullah kemudian mendapat kabar mengenai berangkatnya orang-orang Quraisy untuk melindungi kafilah mereka. Beliau pun bermusyawarah dengan semua sahabat dalam menghadapi situasi terkini.
Beberapa orang dari kalangan Muhajirin memberikan saran, tetapi beliau tetap meminta, “Wahai sahabatku, berikanlah saran.”
Muhammad bin Fariz mengatakan yang dikehendaki Nabi adalah dari kalangan Anshar, karena jumlah mereka banyak. Juga karena mengingat perkataan mereka saat berbaiat kepada beliau di Aqabah.
“Wahai Rasulullah, kami bebas dari tanggungan hingga Anda sampai ke rumah. Jika sudah sampai, Anda berada dalam tanggungan kami. Kami akan melindungi Anda seperti melindungi anak-anak dan kaum perempuan kami.”
Intinya, Rasul mulia khawatir orang-orang Anshar hanya mau melakukan pembelaan terhadap musuh yang menyerang Madinah, sekaligus, beliau merasa tidak berhak mengajak mereka meninggalkan kampung halaman untuk menghadapi musuh.
Dalam riwayat lain dituturkan, ketika melihat Nabi berkali-kali meminta saran kepada para sahabatnya meski sudah ditanggapi, Sa'ad bin Mu'adz al-Anshari berkata, “Wahai Rasulullah, barangkali ada kekhawatiran bahwa orang-orang Anshar tidak ingin menenangkan Anda dan ada anggapan Anda tidak berhak meminta bantuan kecuali ada musuh menyerang rumah mereka, yang mengancam nyawa anak-anak dan kaum perempuan mereka. Ketahuilah, aku berdiri di sini mewakili orang-orang Anshar menjawab prasangka tersebut."
"Wahai Rasulullah, pergilah ke mana pun yang Anda suka, sambunglah hubungan dengan siapa pun yang Anda suka, dan putuslah hubungan dengan siapa pun yang Anda suka (sedangkan kami akan tetap setia bersama dan mengikuti arahan Anda)."
Mendengar klarifikasi Sa'ad ini, Rasulullah menyerukan, “Berangkatlah dengan nama Allah.”
Dalam riwayat lain dijelaskan betapa gembira dan semangatnya Rasulullah saat mendengar pernyataan Sa'ad ini, lalu beliau berseru, “Berangkatlah, dan bergembiralah!”
Demikianlah, ujar Muhammad bin Fariz, seandainya Piagam Madinah sudah ditulis sebelum peristiwa Badar, para sahabat pasti tidak merasa berat untuk berangkat bersama Rasulullah ke mana pun.
Selain itu, beliau tidak perlu bersikeras mendengar pendapat dan sikap pihak Anshar mengenai bentrokan melawan kaum kafir Quraisy. Dapat dipastikan pula bahwa para sejarawan tidak akan menyebut-nyebut Bai'ah al-Aqabah, serta tidak akan dinukil riwayat kalau Sa'ad bin Mw'adz, pemimpin Aus, merujuk padanya dalam berpendapat mewakili kaum Anshar.
Menurut Muhammad bin Fariz, sebagai penguat, turunlah ayat al-Quran menjelaskan kondisi psikologis itu dan sikap ragu-ragu sebagian mukminin karena takut menghadapi bentrokan dengan Quraisy.
Allah berfirman, “Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dari rumahmu dengan kebenaran, meskipun sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman itu tidak menyukainya. Mereka membantahmu tentang kebenaran setelah nyata (bahwa mereka pasti menang), seakan-akan mereka dihalau menuju kematian, sedang mereka melihat (sebab kematian itu)” ( QS al-Anfal (8) : 5-6).
Sikap ragu-ragu sebagian mukminin ini bisa dimengerti karena mereka diperintah berangkat untuk menghadang kafilah dan menyita barang dagangan Quraisy. Mereka sama sekali tidak menduga akan menghadapi pertempuran dan memerangi musuh dalam waktu dekat, dan sebab itu pulalah Rasulullah memberitahu mereka kenyataannya: pasti terjadi bentrokan dengan Quraisy.
Lalu muncullah tanda-tanda kelemahan, ketakutan, dan keraguan dari sebagian mereka. Kondisi mereka digambarkan dalam ayat berikut, “Dan (ingatlah) ketika Allah menjanjikan kepadamu bahwa salah satu dari dua golongan (yang kamu hadapi) adalah untukmu, sedang kamu menginginkan bahwa yang tidak mempunyai kekuatan senjatalah untukmu. Tetapi Allah hendak membenarkan yang benar dengan ayat-ayat-Nya dan memusnahkan orang-orang kafir sampai ke akar-akarnya” ( QS al-Anfal (8) : 7).
Bagaimanapun juga, pada saat-saat darurat dan penting bagi Nabi Islam dan agamanya ini, kata Muhammad bin Fariz, kaum Anshar mengumumkan sikap baru mereka mengenai kondisi perang dan damai. Dan melalui mulut salah satu pemuka kaumnya, Sa'ad bin Mu'adz, mereka memberikan mandat penuh kepada Rasulullah dalam semua hal baik terkait urusan perang dan damai maupun dalam menjalin atau memutus hubungan dengan pihak mana pun.
Setelah kaum muslimin kembali dari Badar sebagai pemenang, sedangkan pihak Quraisy kalah telak, maka harus ada kesepakatan dan dokumen baru antara para penduduk Madinah, baik dari kaum muslimin, Muhajirin maupun Anshar, dan pihak-pihak lainnya.
Hal ini mengingat berbagai peristiwa yang terjadi susul-menyusul sudah melampaui kesepakatan pada Bai'ah al-Aqabah Kedua, terutama setelah kemenangan gemilang kaum muslimin di Perang Badar pada tahun 2 H itu.
(mhy)