Majusi, Agama Tauhid yang Didakwahkan Nabi Zaradust

Rabu, 28 September 2022 - 19:10 WIB
loading...
A A A
Kedua, Majusi bercampur (sinkretisme) dengan agama Zoroaster dan menjadi aliran sesat dalam agama Zoroaster.

Sinkretisme Babylon (Majusi) tersebut dianut sebagian penganut Zoroaster sehingga menjadi satu aliran dalam agama Zoroaster. Aliran ini menjadikan api (Atar) sebagai simbol dari keberadaan Terang (Ahura Mazda).

Sebelumnya, orang Persia tidak menyembah patung dewa. Namun pengaruh kebudayaan Babilon yang gemar membuat patung membuat Artaxerxes II, raja kesepuluh Dinasti Achaemeniyah, mulai membangun patung malaikat Anāhitā di berbagai kota besar.

Artaxerxes II juga membangun kuil api untuk Anāhitā di Istakhr. Jika prasasti raja-raja sebelumnya hanya menyebut Ahura Mazdā, maka prasasti Artaxerxes II mulai menyanjung Anāhitā dan Mithra (malaikat-malaikat dalam agama Zoroaster).

Dinasti Achaemeniyah runtuh, di masa raja ketiga belas (330 SM), akibat serangan Alexander dari Macedonia, Yunani. Orang Yunani sendiri merupakan penganut politeisme (musyrikin). Serangan dan penjarahan bangsa Yunani telah memusnahkan banyak teks suci Zoroaster.

Ketiga, Majusi ditetapkan penguasa sebagai agama resmi Negara.

Pada 247 SM, Dinasti Arsacid mengakhiri pendudukan Yunani dan mendirikan Kerajaan Parthia. Raja Parthia, Vologases, di abad ke-1 M berusaha mengumpulkan teks-teks suci Zoroaster yang tersisa dari berbagai aliran agama Zoroaster, termasuk dari kalangan Majusi.



Parthia runtuh setelah salah satu gubernurnya memberontak dan mendirikan Kerajaan Sasanid pada 224 M. Di masa Sasanid, penduduk Persia sudah terdiri atas penganut politeis, penganut Majusi, dan sisa-sisa penganut agama Zoroaster. Sasanid kemudian memilih Majusi sebagai agama resmi kerajaan.

Penguasa Sasanid menjadikan kuil api sebagai tempat peribadatan utama.

Kitab Zoroaster (Avesta) yang ada saat ini, berasal dari penyusunan ulang di masa Sasanid.

Kerajaan Sasanid sendiri akhirnya runtuh setelah ditaklukkan pasukan muslim di masa Khalifah ʻUmar ibn al-Khattab.

Lantaran penyimpangan agama ini, banyak ulama yang berpendapat bahwa Majusi bukan termasuk Ahli Kitab sebagaimana yang dimaksud al-Quran. Ibnu Abbas berkata,

إِنَّ أَهْلَ فَارِسَ لَمَّا مَاتَ نَبِيُّهُمْ كَتَبَ لَهُمْ إِبْلِيسُ الْمَجُوسِيَّةَ

“Sesungguhnya penduduk Persia tatkala Nabi mereka meninggal maka Iblis menjadikan Al Majusiyyah sebagai pengganti agama Nabi mereka.” (HR Abu Daud).

Kata Majusi disebut sekali saja dalam al-Qur’an, yaitu pada Surat al-Hajj ayat 17. “Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shaabi-iin, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi, dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan kepada mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu”.



Ahli Kitab
Banyak ikhtilaf (perbedaan pandangan) mengenai siapa yang dimaksud oleh Quran sebagai ahl al-kitab. Al-Maududi mengatakan, Imam Syafi’i memahami istilah tersebut sebagai orang Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orang Israel, mengisyaratkan yang berbangsa lain tidak termasuk mereka. Beliau beralasan Nabi Musa dan Nabi Isa diturunkan hanya untuk bani Israel saja.

Sementara Imam Abu Hanifah dan mayoritas ulama pakar hukum memiliki pandangan berbeda. Mereka berpandangan, orang yang percaya atau mengimani pada salah satu nabi (saja) atau kitab yang telah diturunkan oleh Allah, maka mereka termasuk ahl al-kitab.

Adapun pandangan lain (sebagian kecil ulama salaf) yang menyebutkan, bahwa mereka yang memiliki kitab suci (samawi) dapat dicakup dalam pengertian ahl al-kitab, termasuk Majusi. Hingga kemudian maknanya diperluas oleh pakar hukum kontemporer, bahwa agama Hindu maupun Budha dapat disebut sebagai ahl al-kitab.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3263 seconds (0.1#10.140)