Saat Abu Thalib Melamar Pekerjaan untuk Keponakannya kepada Khadijah
loading...
A
A
A
Sayyidah Khadijah binti Khuwailid adalah seorang wanita pedagang yang kaya dan dihormati. Beliau mengupah orang-orang Quraisy untuk menjalankan perdagangannya.
Ibnu Ishaq berkata: "Khadijah binti Khuwailid adalah seorang wanita pedagang yang memiliki banyak harta dan bernasab baik. Dia menyewa banyak kaum lelaki untuk memperdagangkan hartanya dengan sistem bagi hasil".
Muhammad Husain Haekal dalam Sejarah Hidup Muhammad menyebut bawa Khadijah menjalankan dagangannya itu dengan bantuan ayahnya Khuwailid dan beberapa orang kepercayaannya.
Beberapa pemuka Quraisy pernah melamarnya, tetapi ditolaknya. “Ia yakin mereka itu melamar hanya karena memandang hartanya,” tulis Haekal.
Tatkala Abu Thalib mengetahui, bahwa Khadijah sedang menyiapkan perdagangan yang akan dibawa dengan kafilah ke Syam, ia memanggil kemenakannya yang ketika itu sudah berumur duapuluh lima tahun. ( )
"Anakku," kata Abu Thalib, "aku bukan orang berpunya. Keadaan makin menekan kita juga. Aku mendengar, bahwa Khadijah mengupah orang dengan dua ekor anak unta. Tapi aku tidak setuju kalau akan mendapat upah semacam itu juga. Setujukah kau kalau hal ini kubicarakan dengan dia?"
"Terserah paman," jawab Sayyidina Muhammad yang sudah ikut berdagang pamannya sejak usia 12 tahun. Perdagangan lintas negara. Beliau berdagang ke negeri Syam. Kini negeri Syam menjadi empat negara: Lebanon, Palestina, Suriah, Yordania. Nenek moyang Nabi, suku Quraisy adalah pedagang yang ulung.( )
Abu Thalibpun pergi mengunjungi Khadijah: "Khadijah, setujukah kau mengupah Muhammad?" tanya Abu Thalib. "Aku mendengar engkau mengupah orang dengan dua ekor anak unta. Tapi buat Muhammad aku tidak setuju kurang dari empat ekor."
"Kalau permintaanmu itu buat orang yang jauh dan tidak kusukai, akan kukabulkan, apalagi buat orang yang dekat dan kusukai," demikian jawab Sayyidah Khadijah.( )
Kembalilah sang paman kepada kemenakannya dengan menceritakan peristiwa itu. "Ini adalah rezeki yang dilimpahkan Tuhan kepadamu," katanya kepada Sayyidina Muhammad.
Setelah mendapat nasehat paman-pamannya, Sayyidina Muhammad pergi dengan Maisara, budak Khadijah. Mengambil jalan padang pasir, kafilah itupun berangkat menuju Syam, dengan melalui Wadi'l-Qura, Madyan dan Diar Thamud serta daerah-daerah yang dulu pernah dilalui Sayyidina Muhammad dengan pamannya Abu Thalib tatkala umurnya baru duabelas tahun. ( )
Menurut Haekal, perjalanan sekali ini telah menghidupkan kembali kenangannya tentang perjalanan yang pertama dulu itu. Hal ini menambah dia lebih banyak bermenung, lebih banyak berpikir tentang segala yang pernah dilihat, yang pernah didengar sebelumnya: tentang peribadatan dan kepercayaan-kepercayaan di Syam atau di pasar-pasar sekeliling Makkah.
Setelah sampai di Bushra ia bertemu dengan agama Nasrani Syam. Ia bicara dengan rahib-rahib dan pendeta-pendeta agama itu, dan seorang rahib Nestoria juga mengajaknya bicara. Barangkali dia atau rahib-rahib lain pernah juga mengajak Sayyidina Muhammad berdebat tentang agama Nabi Isa, agama yang waktu itu sudah berpecah-belah menjadi beberapa golongan dan sekta-sekta.
Jatuh Cinta
Dengan kejujuran dan kemampuannya ternyata Sayyidina Muhammad mampu benar memperdagangkan barang-barang Sayyidah Khadijah, dengan cara perdagangan yang lebih banyak menguntungkan daripada yang dilakukan orang lain sebelumnya. Demikian juga dengan karakter yang manis dan perasaannya yang luhur ia dapat menarik kecintaan dan penghormatan Maisara kepadanya. Setelah tiba waktunya mereka akan kembali, mereka membeli segala barang dagangan dari Syam yang kira-kira akan disukai oleh Khadijah.
Dalam perjalanan kembali kafilah itu singgah di Marr'-z-Zahran. Ketika itu Maisara berkata: "Muhammad, cepat-cepatlah kau menemui Khadijah dan ceritakan pengalamanmu. Dia akan mengerti hal itu."
( )
Sayyidina Muhammad berangkat dan tengah hari sudah sampai di Makkah. Ketika itu Sayyidah Khadijah sedang berada di ruang atas. Bila dilihatnya Sayyidina Muhammad di atas unta dan sudah memasuki halaman rumahnya, ia turun dan menyambutnya. Didengarnya Sayyidina Muhammad bercerita dengan bahasa yang begitu fasih tentang perjalanannya serta laba yang diperolehnya, demikian juga mengenai barang-barang Syam yang dibawanya.
Sayyidah Khadijah gembira dan tertarik sekali mendengarkan. Sesudah itu Maisarapun datang pula yang lalu bercerita juga tentang Sayyidina Muhammad, betapa halusnya wataknya, betapa tingginya budi-pekertinya. Hal ini menambah pengetahuan Sayyidah Khadijah di samping yang sudah diketahuinya sebagai pemuda Makkah yang besar jasanya. ( )
Dalam waktu singkat saja kegembiraan Sayyidah Khadijah ini telah berubah menjadi rasa cinta, sehingga dia - yang sudah berusia empatpuluh tahun, dan yang sebelum itu telah menolak lamaran pemuka-pemuka dan pembesar-pembesar Quraisy - tertarik juga hatinya mengawini pemuda ini, yang tutur kata dan pandangan matanya telah menembusi kalbunya.
Pernah ia membicarakan hal itu kepada saudaranya yang perempuan - kata sebuah sumber, atau dengan sahabatnya, Nufaisa bint Mun-ya - kata sumber lain. Nufaisa pergi menjajagi Sayyidina Muhammad seraya berkata: "Kenapa kau tidak mau kawin?" ( )
"Aku tidak punya apa-apa sebagai persiapan perkawinan," jawab Sayyidina Muhammad.
"Kalau itu disediakan dan yang melamarmu itu cantik, berharta, terhormat dan memenuhi syarat, tidakkah akan kauterima?"
"Siapa itu?"
Nufaisa menjawab hanya dengan sepatah kata: "Khadijah." ( )
"Dengan cara bagaimana?" tanya Sayyidina Muhammad. Sebenarnya ia sendiri berkenan kepada Sayyidah Khadijah sekalipun hati kecilnya belum lagi memikirkan soal perkawinan, mengingat Sayyidah Khadijah sudah menolak permintaan hartawan-hartawan dan bangsawan-bangsawan Quraisy.
Setelah atas pertanyaan itu Nufaisa mengatakan: "Serahkan hal itu kepadaku," maka iapun menyatakan persetujuannya. Tak lama kemudian Sayyidah Khadijah menentukan waktunya yang kelak akan dihadiri oleh paman-paman Sayyidina Muhammad supaya dapat bertemu dengan keluarga Sayyidah Khadijah guna menentukan hari perkawinan. (Baca Juga: Masya Allah, Mahar Nabi Kepada Khadijah Ternyata Rp1,3 Miliar
Kemudian perkawinan itu berlangsung dengan diwakili oleh paman Sayyidah Khadijah, Umar bin Asad, sebab Khuwailid ayahnya sudah meninggal sebelum Perang Fijar.
Di sinilah dimulainya lembaran baru dalam kehidupan Sayyidina Muhammad. Dimulainya kehidupan itu sebagai suami-isteri dan ibu-bapak, suami-isteri yang harmonis dan sedap dari kedua belah pihak, dan sebagai ibu-bapak yang telah merasakan pedihnya kehilangan anak sebagaimana pernah dialami Sayyidina Muhammad yang telah kehilangan ibu-bapak semasa ia masih kecil. (Baca Juga: Kisah Khadijah Jatuh Cinta pada Rasulullah
Lihat Juga: Renovasi Ka'bah dan Cara Nabi Mempersatukan Tokoh-Tokoh Quraisy
Ibnu Ishaq berkata: "Khadijah binti Khuwailid adalah seorang wanita pedagang yang memiliki banyak harta dan bernasab baik. Dia menyewa banyak kaum lelaki untuk memperdagangkan hartanya dengan sistem bagi hasil".
Muhammad Husain Haekal dalam Sejarah Hidup Muhammad menyebut bawa Khadijah menjalankan dagangannya itu dengan bantuan ayahnya Khuwailid dan beberapa orang kepercayaannya.
Beberapa pemuka Quraisy pernah melamarnya, tetapi ditolaknya. “Ia yakin mereka itu melamar hanya karena memandang hartanya,” tulis Haekal.
Tatkala Abu Thalib mengetahui, bahwa Khadijah sedang menyiapkan perdagangan yang akan dibawa dengan kafilah ke Syam, ia memanggil kemenakannya yang ketika itu sudah berumur duapuluh lima tahun. ( )
"Anakku," kata Abu Thalib, "aku bukan orang berpunya. Keadaan makin menekan kita juga. Aku mendengar, bahwa Khadijah mengupah orang dengan dua ekor anak unta. Tapi aku tidak setuju kalau akan mendapat upah semacam itu juga. Setujukah kau kalau hal ini kubicarakan dengan dia?"
"Terserah paman," jawab Sayyidina Muhammad yang sudah ikut berdagang pamannya sejak usia 12 tahun. Perdagangan lintas negara. Beliau berdagang ke negeri Syam. Kini negeri Syam menjadi empat negara: Lebanon, Palestina, Suriah, Yordania. Nenek moyang Nabi, suku Quraisy adalah pedagang yang ulung.( )
Abu Thalibpun pergi mengunjungi Khadijah: "Khadijah, setujukah kau mengupah Muhammad?" tanya Abu Thalib. "Aku mendengar engkau mengupah orang dengan dua ekor anak unta. Tapi buat Muhammad aku tidak setuju kurang dari empat ekor."
"Kalau permintaanmu itu buat orang yang jauh dan tidak kusukai, akan kukabulkan, apalagi buat orang yang dekat dan kusukai," demikian jawab Sayyidah Khadijah.( )
Kembalilah sang paman kepada kemenakannya dengan menceritakan peristiwa itu. "Ini adalah rezeki yang dilimpahkan Tuhan kepadamu," katanya kepada Sayyidina Muhammad.
Setelah mendapat nasehat paman-pamannya, Sayyidina Muhammad pergi dengan Maisara, budak Khadijah. Mengambil jalan padang pasir, kafilah itupun berangkat menuju Syam, dengan melalui Wadi'l-Qura, Madyan dan Diar Thamud serta daerah-daerah yang dulu pernah dilalui Sayyidina Muhammad dengan pamannya Abu Thalib tatkala umurnya baru duabelas tahun. ( )
Menurut Haekal, perjalanan sekali ini telah menghidupkan kembali kenangannya tentang perjalanan yang pertama dulu itu. Hal ini menambah dia lebih banyak bermenung, lebih banyak berpikir tentang segala yang pernah dilihat, yang pernah didengar sebelumnya: tentang peribadatan dan kepercayaan-kepercayaan di Syam atau di pasar-pasar sekeliling Makkah.
Setelah sampai di Bushra ia bertemu dengan agama Nasrani Syam. Ia bicara dengan rahib-rahib dan pendeta-pendeta agama itu, dan seorang rahib Nestoria juga mengajaknya bicara. Barangkali dia atau rahib-rahib lain pernah juga mengajak Sayyidina Muhammad berdebat tentang agama Nabi Isa, agama yang waktu itu sudah berpecah-belah menjadi beberapa golongan dan sekta-sekta.
Jatuh Cinta
Dengan kejujuran dan kemampuannya ternyata Sayyidina Muhammad mampu benar memperdagangkan barang-barang Sayyidah Khadijah, dengan cara perdagangan yang lebih banyak menguntungkan daripada yang dilakukan orang lain sebelumnya. Demikian juga dengan karakter yang manis dan perasaannya yang luhur ia dapat menarik kecintaan dan penghormatan Maisara kepadanya. Setelah tiba waktunya mereka akan kembali, mereka membeli segala barang dagangan dari Syam yang kira-kira akan disukai oleh Khadijah.
Dalam perjalanan kembali kafilah itu singgah di Marr'-z-Zahran. Ketika itu Maisara berkata: "Muhammad, cepat-cepatlah kau menemui Khadijah dan ceritakan pengalamanmu. Dia akan mengerti hal itu."
( )
Sayyidina Muhammad berangkat dan tengah hari sudah sampai di Makkah. Ketika itu Sayyidah Khadijah sedang berada di ruang atas. Bila dilihatnya Sayyidina Muhammad di atas unta dan sudah memasuki halaman rumahnya, ia turun dan menyambutnya. Didengarnya Sayyidina Muhammad bercerita dengan bahasa yang begitu fasih tentang perjalanannya serta laba yang diperolehnya, demikian juga mengenai barang-barang Syam yang dibawanya.
Sayyidah Khadijah gembira dan tertarik sekali mendengarkan. Sesudah itu Maisarapun datang pula yang lalu bercerita juga tentang Sayyidina Muhammad, betapa halusnya wataknya, betapa tingginya budi-pekertinya. Hal ini menambah pengetahuan Sayyidah Khadijah di samping yang sudah diketahuinya sebagai pemuda Makkah yang besar jasanya. ( )
Dalam waktu singkat saja kegembiraan Sayyidah Khadijah ini telah berubah menjadi rasa cinta, sehingga dia - yang sudah berusia empatpuluh tahun, dan yang sebelum itu telah menolak lamaran pemuka-pemuka dan pembesar-pembesar Quraisy - tertarik juga hatinya mengawini pemuda ini, yang tutur kata dan pandangan matanya telah menembusi kalbunya.
Pernah ia membicarakan hal itu kepada saudaranya yang perempuan - kata sebuah sumber, atau dengan sahabatnya, Nufaisa bint Mun-ya - kata sumber lain. Nufaisa pergi menjajagi Sayyidina Muhammad seraya berkata: "Kenapa kau tidak mau kawin?" ( )
"Aku tidak punya apa-apa sebagai persiapan perkawinan," jawab Sayyidina Muhammad.
"Kalau itu disediakan dan yang melamarmu itu cantik, berharta, terhormat dan memenuhi syarat, tidakkah akan kauterima?"
"Siapa itu?"
Nufaisa menjawab hanya dengan sepatah kata: "Khadijah." ( )
"Dengan cara bagaimana?" tanya Sayyidina Muhammad. Sebenarnya ia sendiri berkenan kepada Sayyidah Khadijah sekalipun hati kecilnya belum lagi memikirkan soal perkawinan, mengingat Sayyidah Khadijah sudah menolak permintaan hartawan-hartawan dan bangsawan-bangsawan Quraisy.
Setelah atas pertanyaan itu Nufaisa mengatakan: "Serahkan hal itu kepadaku," maka iapun menyatakan persetujuannya. Tak lama kemudian Sayyidah Khadijah menentukan waktunya yang kelak akan dihadiri oleh paman-paman Sayyidina Muhammad supaya dapat bertemu dengan keluarga Sayyidah Khadijah guna menentukan hari perkawinan. (Baca Juga: Masya Allah, Mahar Nabi Kepada Khadijah Ternyata Rp1,3 Miliar
Kemudian perkawinan itu berlangsung dengan diwakili oleh paman Sayyidah Khadijah, Umar bin Asad, sebab Khuwailid ayahnya sudah meninggal sebelum Perang Fijar.
Di sinilah dimulainya lembaran baru dalam kehidupan Sayyidina Muhammad. Dimulainya kehidupan itu sebagai suami-isteri dan ibu-bapak, suami-isteri yang harmonis dan sedap dari kedua belah pihak, dan sebagai ibu-bapak yang telah merasakan pedihnya kehilangan anak sebagaimana pernah dialami Sayyidina Muhammad yang telah kehilangan ibu-bapak semasa ia masih kecil. (Baca Juga: Kisah Khadijah Jatuh Cinta pada Rasulullah
Lihat Juga: Renovasi Ka'bah dan Cara Nabi Mempersatukan Tokoh-Tokoh Quraisy
(mhy)