Kisah Muhammad Iqbal Menjawab Jawaharlal Nehru Terkait Khatamul-Anbiya dan Ahmadiyah
loading...
A
A
A
Kelompok Qadiani yang mempercayai pendiri gerakan Ahmadiyah sebagai penerima wahyu semacam Nabi Muhammad SAW , berarti mereka menyatakan bahwa seluruh dunia Islam adalah kafir .
Demikian potongan jawaban filsuf besar abad ke-20, Sir Muhammad Iqbal (1877 – 1938) menjawab pertanyaan tokoh kemerdekaan India Pandit Jawaharlal Nehru (1889 – 1964) mengenai Ahmadiyah dan pengertian nabi penutup atau Khatamul-Anbiya'.
Jawaban Iqbal ini dihimpun dalam buku berjudul "Islam and Ahmadism" yang diterjemahkan Machnun Husein menjadi "Islam dan Ahmadiyah" (PT Bumi Aksara, 1991).
Iqbal mengatakan makna nilai kultural dari gagasan tentang nabi penutup dalam Islam tidak ada penyerahan diri secara spritual kepada siapapun setelah Muhammad yang membebaskan para pengikutnya dengan memberikan kepada mereka aturan hukum yang praktis karena timbul dari dalam hati nurani manusia.
"Secara teologik, ajaran itu adalah bahwa organisasi sosio-politik yang disebut Islam itu sempurna dan abadi. Tidak ada wahyu apapun yang pengingkaran terhadapnya mengakibatkan penyimpangan atau bid'ah sesudah Muhammad," ujarnya.
Menurut Muhammad Iqbal, orang yang mengakui mendapatkan wahyu seperti itu adalah orang yang tidak patuh kepada Islam. "Karena kelompok Qadiani mempercayai pendiri gerakan Ahmadiyyah sebagai penerima wahyu semacam itu, berarti mereka menyatakan bahwa seluruh dunia Islam adalah kafir," ujarnya
Argumen dan pendiri gerakan itu sendiri, yang mirip sekali dengan argumen ahli Ilmu Kalam Abad Pertengahan, adalah bahwa spiritualitas Nabi Besar Islam itu dianggap tidak sempurna bila ia tidak disempurnakan oleh Nabi lain. Dia menyatakan kenabiannya sendiri sebagai bukti atas kekuatan spiritualitas Nabi Besar Islam itu untuk mengangkat nabi [lain].
"Tetapi bila anda bertanya lebih jauh kepadanya apakah spiritualitas Muhammad mampu mengangkat lebih dari seorang nabi, jawabannya adalah 'Tidak'. Ini jelas sama dengan ucapan: 'Muhammad bukan nabi terakhir; tetapi sayalah yang terakhir'."
Menurut Iqbal, karena kurang sekali memahami nilai kultural gagasan Islam tentang penutup nabi-nabi dalam sejarah umat manusia pada umumnya dan umat manusia di Asia pada khususnya, dia menganggap penutup nabi-nabi, dalam pengertian bahwa tidak ada seorang pengikut Muhammad pun dapat mencapai kedudukan nabi, merupakan tanda ketidaksempurnaan dalam kenabian Muhammad itu.
Mencuri Status
Sekadar mengingatkan, Ahmadiyyah didirikan Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908). Dia mendakwahkan diri sebagai Imam Mahdi dan Al-Masih yang ditunggu kedatangannya oleh umat Muslim.
Pengikut Ahmadiyah menganggap bahwa Ahmad yang akan muncul sebagai Mahdi yang menurut tafsir mereka terhadap Al-Quran dan Hadis akan memiliki memiliki kualitas seperti Isa— akan membangkitkan kembali Islam dan menuntun pengikutnya dengan sistem moral yang akan membawa kedamaian abadi.
Sebelum menyatakan dirinya sebagai al-Masih al-Mau'ud, Allah SWT telah menjanjikan kepada Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad melalui wahyu bahwa: “Aku akan membawa pesanmu sampai ke ujung-ujung dunia".
Iqbal mengatakan, setelah memahami jiwa pemikirannya, dia sendiri, demi kepentingan tuntutannya sendiri untuk menjadi nabi, memanfaatkan apa yang dilukiskannya sebagai spiritualitas kreatif Nabi Besar Islam itu dan, pada saat yang sama, melepaskan nabi Besar itu dari status 'kepenutupannya' dengan membatasi kemampuan spiritualitas kreatifnya hanya untuk mengangkat seorang nabi, yaitu pendiri gerakan Ahmadiyyah itu.
"Dengan cara inilah nabi baru itu dengan tenang mencuri status 'kepenutupan' itu dari orang yang diakuinya sebagai pemberi warisan spiritualnya," ujarnya.
Dia menyatakan diri sebagai buruz Nabi Besar Islam dengan mengemukakan secara tidak langsung bahwa, karena merupakan buruz-nya, berarti 'kepenutupannya' jelas merupakan kepenutupan Muhammad; dan karena itu pandangannya tentang hal ini (dianggapnya) tidak melanggar "kepenutupan" Nabi Besar itu.
Muhyiddin ibnu 'Arabi
Dalam mengidentifikasikan kedua kepenutupan itu, yaitu kepenutupannya sendiri dan kepenutupan nabi Besar itu, secara sadar dia mengabaikan makna duniawi dari gagasan Kepenutupan itu.
Namun yang jelas, bahwa kata buruz itu, walaupun dalam pengertian kemiripan yang sempurna, tidak dapat mendukungnya sama sekali; karena buruz pasti selalu berdampingan dengan aslinya.
Hanya dalam pengertian reinkarnasi (penitisan) sajalah buruz jadi identik dengan yang asli. Jadi bila kita menganggap kata buruz berarti 'mirip dalam sifat-sifat spiritual' argumen itu tetap tidak efektif; bila, di lain pihak, kita menganggapnya berarti reinkarnasi dari yang asli sebagaimana dalam pengertian bangsa Arya di zaman dahulu.
Argumen itu baru bisa dikatakan masuk akal; tetapi orang yang mengakui dirinya sebagai buruz itu tidak lain hanyalah seorang Magi yang terselubung.
Status kepenutupan itu lebih jauh dinyatakannya berdasarkan otoritas wali besar Muslim, Muhyiddin ibnu 'Arabi dari Spanyol, bahwa setiap wali Muslim dapat memperoleh, dalam perkembangan spiritualnya, sejenis pengalaman yang khas seperti kesadaran para nabi.
"Secara pribadi saya tidak percaya bahwa pendapat Syaikh Muhyiddin ibnu 'Arabi ini benar secara psikologik; tetapi seandainya ia benar pun argumen kelompok Qadiani itu sama sekali didasarkan atas kesalahpahaman terhadap pendapatnya yang pasti," ujar Iqbal.
Syaikh itu menganggapnya sebagai keberhasilan atau pencapaian perorangan murni yang tidak, dan dalam hakikatnya tidak dapat, memberi hak kepada wali yang bersangkutan untuk menyatakan bahwa semua orang yang tidak mempercayainya dianggap telah keluar dari kalangan Islam.
Iqbal mengakui, memang, dari sudut pandang Syaikh tersebut, ada kemungkinan lebih dari seorang wali, yang hidup di zaman atau di negara yang sama, bisa mencapai tingkat kesadaran nabi.
Satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa, meskipun secara psikologik mungkin bagi seorang wali untuk mencapai pengalaman kenabian, pengalamannya itu sama sekali tidak memiliki arti sosiopolitik yang menempatkannya sebagai inti suatu organisasi yang baru dan memberikan hak kepadanya untuk menyatakan organisasi ini sebagai ukuran keimanan atau kekufuran bagi para pengikut Muhammad.
Dengan mengesampingkan psikologi sufistiknya, Iqbal mengtaakan, dari kajian yang cermat terhadap beberapa bagian relevan dari buku Futahat [al-Makkiyyah], saya yakin bahwa tokoh besar Sufi dari Spanyol itu adalah orang yang benar-benar percaya terhadap Muhammad sebagai penutup para nabi, sama sebagaimana kepercayaan ummat Muslim ortodoks lainnya.
Seandainya dia benar-benar telah melihat dalam penglihatan sufistiknya bahwa pada suatu hari di Timur ada beberapa orang tokoh Sufi gadungan akan menghancurkan kepenutupan nabi Besar [Muhammad] dengan memakai kedok psikologi sufistiknya itu, dia pasti akan mengantisipasi para 'Ulama India untuk mengingatkan dunia Islam agar menentang orang-orang yang tidak patuh kepada Islam seperti mereka itu.
Demikian potongan jawaban filsuf besar abad ke-20, Sir Muhammad Iqbal (1877 – 1938) menjawab pertanyaan tokoh kemerdekaan India Pandit Jawaharlal Nehru (1889 – 1964) mengenai Ahmadiyah dan pengertian nabi penutup atau Khatamul-Anbiya'.
Jawaban Iqbal ini dihimpun dalam buku berjudul "Islam and Ahmadism" yang diterjemahkan Machnun Husein menjadi "Islam dan Ahmadiyah" (PT Bumi Aksara, 1991).
Iqbal mengatakan makna nilai kultural dari gagasan tentang nabi penutup dalam Islam tidak ada penyerahan diri secara spritual kepada siapapun setelah Muhammad yang membebaskan para pengikutnya dengan memberikan kepada mereka aturan hukum yang praktis karena timbul dari dalam hati nurani manusia.
"Secara teologik, ajaran itu adalah bahwa organisasi sosio-politik yang disebut Islam itu sempurna dan abadi. Tidak ada wahyu apapun yang pengingkaran terhadapnya mengakibatkan penyimpangan atau bid'ah sesudah Muhammad," ujarnya.
Menurut Muhammad Iqbal, orang yang mengakui mendapatkan wahyu seperti itu adalah orang yang tidak patuh kepada Islam. "Karena kelompok Qadiani mempercayai pendiri gerakan Ahmadiyyah sebagai penerima wahyu semacam itu, berarti mereka menyatakan bahwa seluruh dunia Islam adalah kafir," ujarnya
Argumen dan pendiri gerakan itu sendiri, yang mirip sekali dengan argumen ahli Ilmu Kalam Abad Pertengahan, adalah bahwa spiritualitas Nabi Besar Islam itu dianggap tidak sempurna bila ia tidak disempurnakan oleh Nabi lain. Dia menyatakan kenabiannya sendiri sebagai bukti atas kekuatan spiritualitas Nabi Besar Islam itu untuk mengangkat nabi [lain].
"Tetapi bila anda bertanya lebih jauh kepadanya apakah spiritualitas Muhammad mampu mengangkat lebih dari seorang nabi, jawabannya adalah 'Tidak'. Ini jelas sama dengan ucapan: 'Muhammad bukan nabi terakhir; tetapi sayalah yang terakhir'."
Menurut Iqbal, karena kurang sekali memahami nilai kultural gagasan Islam tentang penutup nabi-nabi dalam sejarah umat manusia pada umumnya dan umat manusia di Asia pada khususnya, dia menganggap penutup nabi-nabi, dalam pengertian bahwa tidak ada seorang pengikut Muhammad pun dapat mencapai kedudukan nabi, merupakan tanda ketidaksempurnaan dalam kenabian Muhammad itu.
Mencuri Status
Sekadar mengingatkan, Ahmadiyyah didirikan Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908). Dia mendakwahkan diri sebagai Imam Mahdi dan Al-Masih yang ditunggu kedatangannya oleh umat Muslim.
Pengikut Ahmadiyah menganggap bahwa Ahmad yang akan muncul sebagai Mahdi yang menurut tafsir mereka terhadap Al-Quran dan Hadis akan memiliki memiliki kualitas seperti Isa— akan membangkitkan kembali Islam dan menuntun pengikutnya dengan sistem moral yang akan membawa kedamaian abadi.
Sebelum menyatakan dirinya sebagai al-Masih al-Mau'ud, Allah SWT telah menjanjikan kepada Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad melalui wahyu bahwa: “Aku akan membawa pesanmu sampai ke ujung-ujung dunia".
Iqbal mengatakan, setelah memahami jiwa pemikirannya, dia sendiri, demi kepentingan tuntutannya sendiri untuk menjadi nabi, memanfaatkan apa yang dilukiskannya sebagai spiritualitas kreatif Nabi Besar Islam itu dan, pada saat yang sama, melepaskan nabi Besar itu dari status 'kepenutupannya' dengan membatasi kemampuan spiritualitas kreatifnya hanya untuk mengangkat seorang nabi, yaitu pendiri gerakan Ahmadiyyah itu.
"Dengan cara inilah nabi baru itu dengan tenang mencuri status 'kepenutupan' itu dari orang yang diakuinya sebagai pemberi warisan spiritualnya," ujarnya.
Dia menyatakan diri sebagai buruz Nabi Besar Islam dengan mengemukakan secara tidak langsung bahwa, karena merupakan buruz-nya, berarti 'kepenutupannya' jelas merupakan kepenutupan Muhammad; dan karena itu pandangannya tentang hal ini (dianggapnya) tidak melanggar "kepenutupan" Nabi Besar itu.
Muhyiddin ibnu 'Arabi
Dalam mengidentifikasikan kedua kepenutupan itu, yaitu kepenutupannya sendiri dan kepenutupan nabi Besar itu, secara sadar dia mengabaikan makna duniawi dari gagasan Kepenutupan itu.
Namun yang jelas, bahwa kata buruz itu, walaupun dalam pengertian kemiripan yang sempurna, tidak dapat mendukungnya sama sekali; karena buruz pasti selalu berdampingan dengan aslinya.
Hanya dalam pengertian reinkarnasi (penitisan) sajalah buruz jadi identik dengan yang asli. Jadi bila kita menganggap kata buruz berarti 'mirip dalam sifat-sifat spiritual' argumen itu tetap tidak efektif; bila, di lain pihak, kita menganggapnya berarti reinkarnasi dari yang asli sebagaimana dalam pengertian bangsa Arya di zaman dahulu.
Argumen itu baru bisa dikatakan masuk akal; tetapi orang yang mengakui dirinya sebagai buruz itu tidak lain hanyalah seorang Magi yang terselubung.
Status kepenutupan itu lebih jauh dinyatakannya berdasarkan otoritas wali besar Muslim, Muhyiddin ibnu 'Arabi dari Spanyol, bahwa setiap wali Muslim dapat memperoleh, dalam perkembangan spiritualnya, sejenis pengalaman yang khas seperti kesadaran para nabi.
"Secara pribadi saya tidak percaya bahwa pendapat Syaikh Muhyiddin ibnu 'Arabi ini benar secara psikologik; tetapi seandainya ia benar pun argumen kelompok Qadiani itu sama sekali didasarkan atas kesalahpahaman terhadap pendapatnya yang pasti," ujar Iqbal.
Syaikh itu menganggapnya sebagai keberhasilan atau pencapaian perorangan murni yang tidak, dan dalam hakikatnya tidak dapat, memberi hak kepada wali yang bersangkutan untuk menyatakan bahwa semua orang yang tidak mempercayainya dianggap telah keluar dari kalangan Islam.
Iqbal mengakui, memang, dari sudut pandang Syaikh tersebut, ada kemungkinan lebih dari seorang wali, yang hidup di zaman atau di negara yang sama, bisa mencapai tingkat kesadaran nabi.
Satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa, meskipun secara psikologik mungkin bagi seorang wali untuk mencapai pengalaman kenabian, pengalamannya itu sama sekali tidak memiliki arti sosiopolitik yang menempatkannya sebagai inti suatu organisasi yang baru dan memberikan hak kepadanya untuk menyatakan organisasi ini sebagai ukuran keimanan atau kekufuran bagi para pengikut Muhammad.
Dengan mengesampingkan psikologi sufistiknya, Iqbal mengtaakan, dari kajian yang cermat terhadap beberapa bagian relevan dari buku Futahat [al-Makkiyyah], saya yakin bahwa tokoh besar Sufi dari Spanyol itu adalah orang yang benar-benar percaya terhadap Muhammad sebagai penutup para nabi, sama sebagaimana kepercayaan ummat Muslim ortodoks lainnya.
Seandainya dia benar-benar telah melihat dalam penglihatan sufistiknya bahwa pada suatu hari di Timur ada beberapa orang tokoh Sufi gadungan akan menghancurkan kepenutupan nabi Besar [Muhammad] dengan memakai kedok psikologi sufistiknya itu, dia pasti akan mengantisipasi para 'Ulama India untuk mengingatkan dunia Islam agar menentang orang-orang yang tidak patuh kepada Islam seperti mereka itu.
(mhy)