10 Syarat Ijtihad Menurut Ibrahim Hosen

Rabu, 16 November 2022 - 09:09 WIB
loading...
10 Syarat Ijtihad Menurut Ibrahim Hosen
Prof KH Ibrahim Hosen. Foto/Ilustrasi: laduni
A A A
Tidak sembarang orang bisa melakukan ijtihad. Prof Kiai Haji Ibrahim Hosen (1917-2001) menyebut setidaknya ada 10 syarat seseorang bisa menjadi mujtahid (orang melakukan ijtihad). Hanya saja, sebelum kita lebih jauh membahas hal tersebut, mari kita tengok dulu apa mana ijtihad itu.

Pendiri Perguruan Tinggi Ilmu Quran ( PTIQ ) dan Institut Ilmu Quran (IIQ ) ini dalam tulisannya berjudul "Taqild dan Ijtihad" menjelaskan menurut bahasa, ijtihad berarti "pengerahan segala kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit." Atas dasar ini maka tidak tepat apabila kata "ijtihad" dipergunakan untuk melakukan sesuatu yang mudah/ringan.

Pengertian ijtihad menurut bahasa ini ada relevansinya dengan pengertian ijtihad menurut istilah, di mana untuk melakukannya diperlukan beberapa persyaratan yang karenanya tidak mungkin pekerjaan itu (ijtihad) dilakukan sembarang orang.



Di sisi lain, kata Ibrahim Hosen, ada pengertian ijthad yang telah digunakan para sahabat Nabi. "Mereka memberikan batasan bahwa ijtihad adalah penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat pada Kitab-u 'l-Lah dan Sunnah Rasul, baik yang terdekat itu diperoleh dari nash -yang terkenal dengan qiyas (ma'qul nash), atau yang terdekat itu diperoleh dari maksud dan tujuan umum dari hikmah syari'ah- yang terkenal dengan 'mashlahat'.

Dalam kaitan pengertan ijtihad menurut istilah, menurut Ibrahim Hosen, ada dua kelompok ahli ushul flqh (ushuliyyin) -kelompok mayoritas dan kelompok minoritas- yang mengemukakan rumusan definisi.

Menurut mereka, ijtihad adalah pengerahan segenap kesanggupan dari seorang ahli fiqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat dhann terhadap sesuatu hukum syara' (hukum Islam).



Syarat Mujtahid
Dalam buku "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah", Ibrahim Hosen menyebut seseorang yang ingin mendudukkan dirinya sebagai mujtahid harus memenuhi beberapa persyaratan. Di antara sekian persyaratan itu yang terpenting ialah:

1. Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat al-Qur'an yang berhubungan dengan masalah hukum, dengan pengertian ia mampu membahas ayat-ayat tersebut untuk menggali hukum.

2. Berilmu pengetahuan yang luas tentang hadits-hadits Rasul yang berhubungan dengan masalah hukum, dengan arti ia sanggup untuk membahas hadits-hadits tersebut untuk menggali hukum.

3. Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan oleh ijma' agar ia tidak berijtihad yang hasilnya bertentangan dengan ijma'.

4. Mengetahui secara mendalam tentang masalah qiyas dan dapat mempergunakannya untuk menggali hukum.

5. Menguasai bahasa Arab secara mendalam. Sebab al-Qur'an dan Sunnah sebagai sumber asasi hukum Islam tersusun dalam bahasa Arab yang sangat tinggi gaya bahasanya dan cukup unik dan ini merupakan kemukjizatan al-Qur'an.

6. Mengetahui secara mendalam tentang nasikh-mansukh dalam al-Qur'an dan Hadits. Hal itu agar ia tidak mempergunakan ayat al-Qur'an atau Hadits Nabi yang telah dinasakh (mansukh) untuk menggali hukum.

7. Mengetahui latar belakang turunnya ayat (asbab-u 'l-nuzul) dan latar belakang suatu Hadits (asbab-u'l-wurud), agar ia mampu melakukan istinbath hukum secara tepat.

8. Mengetahui sejarah para periwayat hadis, supaya ia dapat menilai sesuatu hadis, apakah hadis itu dapat diterima ataukah tidak. Sebab untuk menentukan derajad/nilai suatu hadis sangat tergantung dengan ihwal perawi yang lazim disebut dengan istilah sanad hadis. Tanpa mengetahui sejarah perawi Hadits, tidak mungkin kita akan melakukan ta'dil tajrih (screening).

9. Mengetahui ilmu logika/mantiq agar ia dapat menghasilkan deduksi yang benar dalam menyatakan suatu pertimbangan hukum dan sanggup mempertahankannya.

10. Menguasai kaidah-kaidah istinbath hukum/ushul fiqh, agar dengan kaidah-kaidah ini ia mampu mengolah dan menganalisa dalil-dalil hukum untuk menghasilkan hukum suatu permasalahan yang akan diketahuinya.



Perbedaan yang Ditolerir
Ijtihad dilegalisasi bahkan sangat dianjurkan oleh Islam. Banyak ayat al-Qur'an dan Hadis Nabi yang menyinggung masalah ini. Islam bukan saja memberi legalitas ijtihad, akan tetapi juga mentolerir adanya perbedaan pendapat sebagai hasil ijtihad. Hal ini antara lain diketahui dari Hadis Nabi yang artinya,

"Apabila seorang hakim akan memutuskan perkara, lalu ia melakukan ijtihad, kemudian ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahala (pahala ijtihad dan pahala kebenarannya). Jika hakim akan memutuskan perkara, dan ia berijtihad, kemudian hasil ijtihadnya salah, maka ia mendapat satu pahala (pahala ijtihadnya)." (Riwayat Bukhari Muslim).

Hadis tersebut, Ibrahim Hosen, bukan saja memberi legalitas ijtihad, akan tetapi juga menunjukkan kepada kita bahwa adanya perbedaan pendapat sebagai hasil ijtihad ditolerir.

Prinsip ini dipegang teguh oleh para imam mujtahid; sehingga muncullah ucapan mereka yang sangat populer, "Pendapat kami benar, tetapi mengandung kemungkinan salah; dan pendapat selain kami salah, tetapi mengandung kemungkinan benar."

Hal ini sejalan dengan status fiqih sebagai produk ijtihad yang statusnya dhanny, yang artinya kebenarannya tidak bersifat absolut, ia benar tetapi mengandung kemungkinan salah, ia salah tetapi mengandung kemungkinan benar.

Hanya saja, menurut mujtahid, porsi kebenarannya lebih dominan/rajih. Perbedaan pendapat dalam hukum Islam sebagai hasil ijtihad inilah yang ditegaskan Nabi akan membawa rahmat (kelapangan bagi umat) sebagaimana diketahui ditegaskan dalam sebuah hadis, "Perbedaan pendapat di kalangan ulama akan membawa rahmat."

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1606 seconds (0.1#10.140)