Kisah Mualaf Amerika Raphael Narbaez Jr, Pendeta Saksi Yehova yang Memeluk Islam
loading...
A
A
A
Sekarang saya benar-benar gelisah, sebab sekarang saya tahu bahwa saya akan berhadapan dengan Habib dan AK-47nya.
Saya ingin orang-orang mengetahui bagaimana rasanya bagi seorang Kristen Amerika memeluk agama Islam. Saya bergurau masalah AK-47, tetapi saya tidak tahu apakah mereka menyimpan pisau belati di balik jubah mereka. Jadi saya masuk, dan benar sekali, di sana ada seorang rekan yang tingginya enam koma tiga kaki, beratnya 240 pound, berjenggot dan lain-lain, dan saya hanya terpesona.
Saya berjalan dan berkata, "Permisi, tuan."
[Dengan aksen bahasa Arab:] "Balik ke belakang!"
Dia mengira saya telah menjadi anggota.
Saya berkata, "Ya tuan, ya tuan" [tanpa perlawanan].
Saya tidak tahu untuk apa saya kembali ke belakang, tetapi saya kembali ke belakang. Mereka telah mendirikan tenda dan menggelar permadani. Saya menunggu di sana, dengan malu-malu, dan orang-orang duduk mendengarkan ceramah. Dan orang-orang berkata, "Silakan saudara, duduklah." Saya menjawab, "Tidak, terimakasih, tidak, terimakasih, saya hanya berkunjung."
Akhirnya ceramah itu selesai. Mereka semua berbaris untuk melakukan sholat. Saya sungguh terperanjat.
Peristiwa itu mempengaruhi saya secara intelektual, dalam otot saya, dalam tulang saya, dalam hati saya dan dalam jiwa saya.
Kemudian sholat telah usai. Saya berkata, "hei, siapa yang akan memperkenalkan saya?" Lalu saya mulai bercampur dengan mereka seolah-olah saya salah satu dari mereka, dan saya berjalan ke dalam masjid dan seorang rekan menyapa, "Assalaamu alaikum ". Saya berpikir, "Apakah dia mengatakan "salt and bacon"?"
"Assalaamu alaikum."
Ada orang lain yang mengatakan "salt and bacon" lagi kepada saya.
Saya tidak tahu apa yang mereka katakan, tetapi mereka semua tersenyum.
Sebelum salah satu orang-orang itu mengetahui bahwa saya tidak semestinya ada di sana dan membawa saya ke kamar penyiksaan, atau memenggal kepala saya, saya ingin melihat sebanyak mungkin. Akhirnya saya masuk ke perpustakaan, dan di sana ada seorang rekan dari Mesir yang masih muda; namanya Omar. Tuhan mengutusnya kepada saya.
Omar menghampiri saya, dan dia berkata, "Maaf. Apa ini kunjungan Anda yang pertama ke sini?" Aksennya kental sekali.
Saya menjawab, Ya.
"Ohh, bagus sekali. Anda seorang Muslim?"
"Bukan, saya baru membaca sedikit."
"Oh, Anda sedang belajar? Ini kunjungan pertama Anda ke masjid?"
Saya ingin orang-orang mengetahui bagaimana rasanya bagi seorang Kristen Amerika memeluk agama Islam. Saya bergurau masalah AK-47, tetapi saya tidak tahu apakah mereka menyimpan pisau belati di balik jubah mereka. Jadi saya masuk, dan benar sekali, di sana ada seorang rekan yang tingginya enam koma tiga kaki, beratnya 240 pound, berjenggot dan lain-lain, dan saya hanya terpesona.
Saya berjalan dan berkata, "Permisi, tuan."
[Dengan aksen bahasa Arab:] "Balik ke belakang!"
Dia mengira saya telah menjadi anggota.
Saya berkata, "Ya tuan, ya tuan" [tanpa perlawanan].
Saya tidak tahu untuk apa saya kembali ke belakang, tetapi saya kembali ke belakang. Mereka telah mendirikan tenda dan menggelar permadani. Saya menunggu di sana, dengan malu-malu, dan orang-orang duduk mendengarkan ceramah. Dan orang-orang berkata, "Silakan saudara, duduklah." Saya menjawab, "Tidak, terimakasih, tidak, terimakasih, saya hanya berkunjung."
Akhirnya ceramah itu selesai. Mereka semua berbaris untuk melakukan sholat. Saya sungguh terperanjat.
Peristiwa itu mempengaruhi saya secara intelektual, dalam otot saya, dalam tulang saya, dalam hati saya dan dalam jiwa saya.
Kemudian sholat telah usai. Saya berkata, "hei, siapa yang akan memperkenalkan saya?" Lalu saya mulai bercampur dengan mereka seolah-olah saya salah satu dari mereka, dan saya berjalan ke dalam masjid dan seorang rekan menyapa, "Assalaamu alaikum ". Saya berpikir, "Apakah dia mengatakan "salt and bacon"?"
"Assalaamu alaikum."
Ada orang lain yang mengatakan "salt and bacon" lagi kepada saya.
Saya tidak tahu apa yang mereka katakan, tetapi mereka semua tersenyum.
Sebelum salah satu orang-orang itu mengetahui bahwa saya tidak semestinya ada di sana dan membawa saya ke kamar penyiksaan, atau memenggal kepala saya, saya ingin melihat sebanyak mungkin. Akhirnya saya masuk ke perpustakaan, dan di sana ada seorang rekan dari Mesir yang masih muda; namanya Omar. Tuhan mengutusnya kepada saya.
Omar menghampiri saya, dan dia berkata, "Maaf. Apa ini kunjungan Anda yang pertama ke sini?" Aksennya kental sekali.
Saya menjawab, Ya.
"Ohh, bagus sekali. Anda seorang Muslim?"
"Bukan, saya baru membaca sedikit."
"Oh, Anda sedang belajar? Ini kunjungan pertama Anda ke masjid?"