Pemikiran Teologi Mu'tazilah dan Episode Diskusi Hasan al-Bashri
loading...
A
A
A
Kiai Haji Masdar Farid Mas'udi mengatakan bahwa pemikiran-pemikiran keagamaan ( fiqh atau teologi ) sebagai amal yang ditawarkan para pemikir Muslim sejak abad pertengahan adalah lahir dari suatu pola keprihatinan yang serupa, yaitu bagaimana ajaran agama bisa dipahami umat secara benar.
"Suatu pemikiran yang jelas berangkat dari keprihatinan teoritik," ujarnya dalam buku berjudul "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" bab Telaah Kritis atas Teologi Mu'tazilah.
Menurutnya, seperti selalu diulang-ulang para sejarawan, bahwa pada paroh kedua abad pertama Hijriah, telah terjadi dua perkembangan yang sangat signifikan dalam sejarah umat Islam.
Pertama, kenyataan bahwa di kalangan umat terjadi konflik internal yang boleh jadi tidak pernah diinginkan oleh mereka sendiri, di mana satu kelompok bukan saja telah mengutuk kelompok yang lain, tapi telah saling membunuh.
Perkembangan yang tragis ini yang terjadi dua kali, dikenal dengan sebutan fitnah kubra , "cobaan besar".
Perkembangan kedua adalah masuknya bangsa Parsi dan sekitarnya ke dalam Islam berikut pemikiran dan keyakinan-keyakinan lamanya yang sudah terbentuk kuat dalam benak masing-masing.
Dengan kedua perkembangan itulah muncul pertanyaan-pertanyaan teologis. Bagaimana hukumnya orang Islam yang melakukan dosa besar, seperti membunuh sesama Muslim tanpa hak.
Siapakah yang sesungguhnya bertanggung jawab atas tindakan manusia: dirinyakah, atau kekuatan-kekuatan itu, dan dalam kontrol siapakah ia.
Menurut ajaran Islam, ada dua jenis balasan sejati di akhirat nanti, yaitu balasan surga dan balasan neraka.
Berkaitan dengan tanggung jawab perbuatan manusia tadi, faktor apakah yang memastikan orang memperoleh penyelamatan Tuhan dengan masuk surga, apakah faktor itu adalah "amal perbuatannya" ataukah "rahmat Tuhan" semata yang diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.
Pertanyaan ini muncul -besar kemungkinan karena menurut doktrin Kristiani yang ketika itu juga sudah dibawa masuk dalam lingkungan umat Islam- "penyelamatan Tuhan" itu tak ada sangkut pautnya dengan amal perbuatan manusia, tapi semata-mata atas dasar "rahmat" yang disediakan melalui pintu tunggalnya: Yesus.
Syahdan, dari keprihatinan atas pertanyaan-pertanyaan inilah para pemikir Islam ketika itu merasa ditantang merumuskan jawabannya yang benar sesuai dengan ajaran-ajaran Islam yang shahih. Karuan saja, karena ajaran-ajaran Islam itu pun harus diolah terlebih dahulu melalui subyektifitas masing-masing pemikir, maka jawaban pun hadir dalam corak dan pendekatan yang demikian berbeda-beda.
Masing-masing jawaban tumbuh sebagai aliran pemikiran yang berdiri sendiri. Tersebutlah, di kemudian hari nama-nama: Khawarij, Murjiah, Mu'tazilah, Qadariyah, Jabariyah, Asy'ariyah, Maturidiya, Khasywiyah dan sebagainya.
Menurut Masdar, yang menarik adalah bahwa masing-masing aliran ini, karena merasa berpedoman pada pegangan mutlak yang ada di tangan, mengaku sebagai satu-satunya yang benar, yang lainnya adalah salah.
Sejarah Mutazilah
Masdar mengatakan awal mula sejarah Mu'tazilah , orang akan selalu merujuk pada episoda diskusi Hasan al-Bashri (w. 110 H/ 728 M), seorang ulama terkemuka pada zamannya, dengan para muridnya di seputar tema Muslim yes, Muslim no yang baru pada taraf pembentukan diri, sangat menekankan perlunya seseorang dapat memperjelas (diperjelas) kedudukannya apakah termasuk orang dalam (in group, minna) atau termasuk orang luar (out group, minhum).
Maka terhadap pertanyaan yang terlontar dalam diskusi Hasan tadi, yang berkembang saat itu adalah jawaban-jawaban berikut.
Pertama, dengan melakukan dosa besar, seorang Muslim telah terpental dari kelompok (komunitas) alias menjadi kafir dan karena itu -sesuai dengan hukum riddah- halal ditumpahkan darahnya. Jawaban ini diajukan kelompok yang terkenal dengan sebutan Khawarij.
Jawaban kedua mengatakan bahwa Muslim yang melakukan dosa besar masih tetap tergolong Muslim, dan bagaimana dengan dosa yang dilakukannya itu terserah Tuhan di hari akhirat nanti.
Jawaban inilah yang agaknya dicondongi mayoritas umat Islam yang disebut sebagai kelompok Murji'ah (artinya: menangguhkan).
"Saya kira, Hasan Basri selaku pemimpin dan tokoh yang merasa harus menjaga keutuhan umat berada dalam arus kecenderungan umum ini, yaitu bahwa identitas seseorang apakah ada "di dalam" (minna) atau "di luar" (minhum) harus benar-benar jelas," ujar Kiai Masdar.
Itulah sebabnya ketika Washil melontarkan pendapatnya yang melawan arus tadi, dengan nada menyesal Hasan berkomentar: Ia telah keluar dari kita. I'tazala'anna!.
Kata i'tazala (hengkang) yang jadi sebutan Mu'tazilah (yang hengkang dari arus umum) itu pun kemudian ditempelkan kepada Washil bin Atha dan segenap pengikutnya.
Tapi kalau pertanyaan tentang "status pendosa besar" ini banyak diselimuti latar belakang politis, maka pertanyaan tentang "kebebasan manusia," terasa lebih bersifat murni teologis.
Dan sebenarnya pada kisaran inilah Mu'tazilah benar-benar tumbuh sebagai aliran teologi yang tersendiri di antara aliran-aliran teologi yang lain.
Berbeda dengan aliran teologi lainnya, Mu'tazilah secara tegas mengatakan bahwa "manusia sepenuhnya memiliki kebebasannya sendiri bertindak."
Baginya, hanya dengan prinsip kebebasan inilah, manusia secara moral dapat dituntut pertanggungjawaban di kemudian hari. Prinsip "janji dan ancaman" (al-wa'du wa 'l wa'id) yang akan dilaksanakan di hari kemudian tak bisa dipahami tanpa adanya prinsip "kebebasan" tadi. Dan sebaliknya, prinsip kebebasan juga hanya akan berarti kalau ada "janji dan ancaman" yang setimpal di hari kemudian.
Mutazilah yakin bahwa pembalasan di akhirat semata-mata ditentukan oleh "amal perbuatan manusia" yang diambilnya sendiri secara bebas merdeka. Sebagai yang Maha adil Tuhan harus membalas keburukan atas setiap tindakan buruk dan harus membalas kebaikan atas semua tindakan yang baik. Dan sebagai yang Maha adil, Dia tak bisa tidak kecuali harus bertindak yang terbaik bagi manusia.
Sementara itu, manusia yang bebas dan bertanggung jawab itu, pastilah manusia yang memiliki kemampuan yang memungkinkan dirinya menentukan mana yang baik dan mana yang buruk.
Kemampuan itu menurut keyakinan Mu'tazilah sudah diberikan Tuhan, berupa akal yang lebih dipahami sebagai rasio atau nalar. Dengan nalarnya, manusia tumbuh sebagai makhluk yang mandiri dan tidak lagi tergantung pada pihak lain dalam menentukan jalan hidupnya. Baik atau buruk (al-hasan wa 'l-qabh) bukanlah sesuatu yang harus didiktekan siapa pun juga, diluar diri manusia sendiri.
Pada poin inilah Mu'tazilah dimasyhurkan sebagai aliran pemikiran yang rasionalistik, yang cenderung mengunggulkan otoritas "akal" (nalar) atas "naqal," suatu pendirian yang oleh mayoritas Muslim dipandang sangat membahayakan keutuhan doktrin. Apakah dengan begitu, Mu'tazilah tak lagi perlu?
Kiai Masdar mengatakan tak ada penegasan eksplisit tentang itu. Tapi, dengan tesisnya bahwa al-Qur'an itu makhluk, maka sebenarnya Mu'tazilah sudah berketetapan hati bahwa sebagai sesama makhluk, al-Qur'an (wahyu) tidak memiliki otoritas yang dapat mendikte manusia.
Seperti diketahui, tesis tentang Qur'an tersebut erat kaitannya dengan tesisnya yang lain tentang "Keesaan Tuhan" yang dibangunnya dengan pendekatan murni filosofis. Secara harfiyah prinsip yang tersebut terakhir ini bukan barang baru bagi umat Islam pada jamannya, bahkan juga sebelumnya.
Tapi "keesaan Tuhan" dalam teori Mu'tazilah ini menjadi baru karena yang ia maksudkan rupanya adalah pembebasan (tanzih) Tuhan dari seluruh "sifat" bahkan yang secara eksplisit tersebut dalam ajaran-ajaran wahyu (Qur'an).
Sifat-sifat atau atribut yang dikenakan kepada Tuhan bukanlah sesuatu yang sebangun dengan hakikat-Nya. Keduanya memiliki perbedaan yang substansial. Yakni, jika hakikat Tuhan itu qadim, maka segala sesuatu selainnya, termasuk sifat-sifat yang dikenakan kepadaNya, adalah hadis.
Dengan menarik postulat ini lebih jauh, maka Qur'an sebagai ekspresi salah satu sifat-Nya (al-kalam) yang hadis dengan demikian juga berkapasitas hadis, maka diciptakan (makhluk).
"Suatu pemikiran yang jelas berangkat dari keprihatinan teoritik," ujarnya dalam buku berjudul "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" bab Telaah Kritis atas Teologi Mu'tazilah.
Menurutnya, seperti selalu diulang-ulang para sejarawan, bahwa pada paroh kedua abad pertama Hijriah, telah terjadi dua perkembangan yang sangat signifikan dalam sejarah umat Islam.
Pertama, kenyataan bahwa di kalangan umat terjadi konflik internal yang boleh jadi tidak pernah diinginkan oleh mereka sendiri, di mana satu kelompok bukan saja telah mengutuk kelompok yang lain, tapi telah saling membunuh.
Perkembangan yang tragis ini yang terjadi dua kali, dikenal dengan sebutan fitnah kubra , "cobaan besar".
Perkembangan kedua adalah masuknya bangsa Parsi dan sekitarnya ke dalam Islam berikut pemikiran dan keyakinan-keyakinan lamanya yang sudah terbentuk kuat dalam benak masing-masing.
Dengan kedua perkembangan itulah muncul pertanyaan-pertanyaan teologis. Bagaimana hukumnya orang Islam yang melakukan dosa besar, seperti membunuh sesama Muslim tanpa hak.
Siapakah yang sesungguhnya bertanggung jawab atas tindakan manusia: dirinyakah, atau kekuatan-kekuatan itu, dan dalam kontrol siapakah ia.
Menurut ajaran Islam, ada dua jenis balasan sejati di akhirat nanti, yaitu balasan surga dan balasan neraka.
Berkaitan dengan tanggung jawab perbuatan manusia tadi, faktor apakah yang memastikan orang memperoleh penyelamatan Tuhan dengan masuk surga, apakah faktor itu adalah "amal perbuatannya" ataukah "rahmat Tuhan" semata yang diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.
Pertanyaan ini muncul -besar kemungkinan karena menurut doktrin Kristiani yang ketika itu juga sudah dibawa masuk dalam lingkungan umat Islam- "penyelamatan Tuhan" itu tak ada sangkut pautnya dengan amal perbuatan manusia, tapi semata-mata atas dasar "rahmat" yang disediakan melalui pintu tunggalnya: Yesus.
Syahdan, dari keprihatinan atas pertanyaan-pertanyaan inilah para pemikir Islam ketika itu merasa ditantang merumuskan jawabannya yang benar sesuai dengan ajaran-ajaran Islam yang shahih. Karuan saja, karena ajaran-ajaran Islam itu pun harus diolah terlebih dahulu melalui subyektifitas masing-masing pemikir, maka jawaban pun hadir dalam corak dan pendekatan yang demikian berbeda-beda.
Masing-masing jawaban tumbuh sebagai aliran pemikiran yang berdiri sendiri. Tersebutlah, di kemudian hari nama-nama: Khawarij, Murjiah, Mu'tazilah, Qadariyah, Jabariyah, Asy'ariyah, Maturidiya, Khasywiyah dan sebagainya.
Menurut Masdar, yang menarik adalah bahwa masing-masing aliran ini, karena merasa berpedoman pada pegangan mutlak yang ada di tangan, mengaku sebagai satu-satunya yang benar, yang lainnya adalah salah.
Sejarah Mutazilah
Masdar mengatakan awal mula sejarah Mu'tazilah , orang akan selalu merujuk pada episoda diskusi Hasan al-Bashri (w. 110 H/ 728 M), seorang ulama terkemuka pada zamannya, dengan para muridnya di seputar tema Muslim yes, Muslim no yang baru pada taraf pembentukan diri, sangat menekankan perlunya seseorang dapat memperjelas (diperjelas) kedudukannya apakah termasuk orang dalam (in group, minna) atau termasuk orang luar (out group, minhum).
Maka terhadap pertanyaan yang terlontar dalam diskusi Hasan tadi, yang berkembang saat itu adalah jawaban-jawaban berikut.
Pertama, dengan melakukan dosa besar, seorang Muslim telah terpental dari kelompok (komunitas) alias menjadi kafir dan karena itu -sesuai dengan hukum riddah- halal ditumpahkan darahnya. Jawaban ini diajukan kelompok yang terkenal dengan sebutan Khawarij.
Jawaban kedua mengatakan bahwa Muslim yang melakukan dosa besar masih tetap tergolong Muslim, dan bagaimana dengan dosa yang dilakukannya itu terserah Tuhan di hari akhirat nanti.
Jawaban inilah yang agaknya dicondongi mayoritas umat Islam yang disebut sebagai kelompok Murji'ah (artinya: menangguhkan).
"Saya kira, Hasan Basri selaku pemimpin dan tokoh yang merasa harus menjaga keutuhan umat berada dalam arus kecenderungan umum ini, yaitu bahwa identitas seseorang apakah ada "di dalam" (minna) atau "di luar" (minhum) harus benar-benar jelas," ujar Kiai Masdar.
Itulah sebabnya ketika Washil melontarkan pendapatnya yang melawan arus tadi, dengan nada menyesal Hasan berkomentar: Ia telah keluar dari kita. I'tazala'anna!.
Kata i'tazala (hengkang) yang jadi sebutan Mu'tazilah (yang hengkang dari arus umum) itu pun kemudian ditempelkan kepada Washil bin Atha dan segenap pengikutnya.
Tapi kalau pertanyaan tentang "status pendosa besar" ini banyak diselimuti latar belakang politis, maka pertanyaan tentang "kebebasan manusia," terasa lebih bersifat murni teologis.
Dan sebenarnya pada kisaran inilah Mu'tazilah benar-benar tumbuh sebagai aliran teologi yang tersendiri di antara aliran-aliran teologi yang lain.
Berbeda dengan aliran teologi lainnya, Mu'tazilah secara tegas mengatakan bahwa "manusia sepenuhnya memiliki kebebasannya sendiri bertindak."
Baginya, hanya dengan prinsip kebebasan inilah, manusia secara moral dapat dituntut pertanggungjawaban di kemudian hari. Prinsip "janji dan ancaman" (al-wa'du wa 'l wa'id) yang akan dilaksanakan di hari kemudian tak bisa dipahami tanpa adanya prinsip "kebebasan" tadi. Dan sebaliknya, prinsip kebebasan juga hanya akan berarti kalau ada "janji dan ancaman" yang setimpal di hari kemudian.
Mutazilah yakin bahwa pembalasan di akhirat semata-mata ditentukan oleh "amal perbuatan manusia" yang diambilnya sendiri secara bebas merdeka. Sebagai yang Maha adil Tuhan harus membalas keburukan atas setiap tindakan buruk dan harus membalas kebaikan atas semua tindakan yang baik. Dan sebagai yang Maha adil, Dia tak bisa tidak kecuali harus bertindak yang terbaik bagi manusia.
Sementara itu, manusia yang bebas dan bertanggung jawab itu, pastilah manusia yang memiliki kemampuan yang memungkinkan dirinya menentukan mana yang baik dan mana yang buruk.
Kemampuan itu menurut keyakinan Mu'tazilah sudah diberikan Tuhan, berupa akal yang lebih dipahami sebagai rasio atau nalar. Dengan nalarnya, manusia tumbuh sebagai makhluk yang mandiri dan tidak lagi tergantung pada pihak lain dalam menentukan jalan hidupnya. Baik atau buruk (al-hasan wa 'l-qabh) bukanlah sesuatu yang harus didiktekan siapa pun juga, diluar diri manusia sendiri.
Pada poin inilah Mu'tazilah dimasyhurkan sebagai aliran pemikiran yang rasionalistik, yang cenderung mengunggulkan otoritas "akal" (nalar) atas "naqal," suatu pendirian yang oleh mayoritas Muslim dipandang sangat membahayakan keutuhan doktrin. Apakah dengan begitu, Mu'tazilah tak lagi perlu?
Kiai Masdar mengatakan tak ada penegasan eksplisit tentang itu. Tapi, dengan tesisnya bahwa al-Qur'an itu makhluk, maka sebenarnya Mu'tazilah sudah berketetapan hati bahwa sebagai sesama makhluk, al-Qur'an (wahyu) tidak memiliki otoritas yang dapat mendikte manusia.
Seperti diketahui, tesis tentang Qur'an tersebut erat kaitannya dengan tesisnya yang lain tentang "Keesaan Tuhan" yang dibangunnya dengan pendekatan murni filosofis. Secara harfiyah prinsip yang tersebut terakhir ini bukan barang baru bagi umat Islam pada jamannya, bahkan juga sebelumnya.
Tapi "keesaan Tuhan" dalam teori Mu'tazilah ini menjadi baru karena yang ia maksudkan rupanya adalah pembebasan (tanzih) Tuhan dari seluruh "sifat" bahkan yang secara eksplisit tersebut dalam ajaran-ajaran wahyu (Qur'an).
Sifat-sifat atau atribut yang dikenakan kepada Tuhan bukanlah sesuatu yang sebangun dengan hakikat-Nya. Keduanya memiliki perbedaan yang substansial. Yakni, jika hakikat Tuhan itu qadim, maka segala sesuatu selainnya, termasuk sifat-sifat yang dikenakan kepadaNya, adalah hadis.
Dengan menarik postulat ini lebih jauh, maka Qur'an sebagai ekspresi salah satu sifat-Nya (al-kalam) yang hadis dengan demikian juga berkapasitas hadis, maka diciptakan (makhluk).
(mhy)