Kisah Dramatis Ayuba Suleiman Diallo: Hafiz Al-Quran yang Menjadi Budak di Amerika
loading...
A
A
A
Ayuba Suleiman Diallo adalah seorang hafid, bangsawan Muslim asli asal Afrika Barat. Pada tahun 1730 saat ia berusia 31 tahun secara dramatis nasibnya berubah total. Pria berkulit hitam ini ditangkap dan dijual sebagai budak ke Amerika .
Edward E. Curtis IV dalam buku berjudul Muslims in America (Oxford University Press, 2009) menyebut sebagai budak, rambut dan janggutnya digunduli sehingga sebagai seorang bangsawan dia merasa terhina.
Meskipun masih dalam perdebatan, beberapa menganggap bahwa Ayuba adalah Muslim pertama yang berada di Amerika. Kelak, kehidupannya di Dunia Barat sebagai budak akan menginspirasi begitu banyak orang.
Putra Bangsawan
Ayuba Suleiman Diallo lahir pada tahun 1700 di kota Bundu, wilayah Senegambia (sekarang Senegal). Dia merupakan anak dari keluarga bangsawan Fulani yang sejahtera dan terhormat.
Ayahnya, Suleiman, adalah seorang ulama Muslim yang sangat dihormati. Dia diberi kepercayaan untuk menjadi guru bagi pangeran, putra sang Raja. Ketika ayahnya mengajar sang Pangeran, Ayuba juga hadir di dalam kelasnya.
Di tengah-tengah kehidupan istana dan dikelilingi oleh para ulama terkemuka, pada usia yang masih sangat muda, Ayuba telah menghafal seluruh isi Al-Quran, dia adalah seorang hafiz.
Catatan sejarah lain mengatakan bahwa pada waktu itu usianya baru 15 tahun, dan selain sebagai hafiz, dia juga telah menguasai fikih mazhab Maliki. Dengan kemampuan seperti itu, Ayuba diberi kepercayaan untuk membantu tugas-tugas ayahnya sebagai Imam.
Suleiman, ayah Ayuba, selain sebagai ulama, juga adalah sosok yang berperan penting dalam kancah perpolitikan, dia telah membantu mendirikan kota Bundu, kota tempat di mana Ayuba dibesarkan. Bundu adalah kota Islam orang-orang Fulani, sebuah kota yang diperjuangkan melalui “Fula Pertama”, atau jihad orang-orang Fulani.
Melalui peristiwa itu, orang-orang Fulani menjadikan kota tersebut sebagai negara-kota Islam. Peristiwa ini terjadi 10 tahun sebelum Ayuba dilahirkan. Sebelumnya, Bundu berada di bawah kendali seorang raja dari Mande.
Menginjak usia 31, Ayuba telah mencapai kemapanan, dia memiliki dua istri dan empat anak: Abdullah, Ibrahim, Sambo, dan Fatimah. Pada titik inilah, di puncak masa mudanya, hidupnya akan berubah secara dramatis.
Pada tahun 1731, dia melakukan misi perjalanan dagang ke Gambia di pantai Atlantik, di mana Portugis dan Inggris telah mendirikan pelabuhan komersial. Ayuba datang ke sana dengan seorang penerjemah, Loumein Yoas, untuk membeli kertas, dan menjual dua orang budak.
Secara tradisional, orang-orang Fulani sebenarnya terbiasa membeli kertas dari Afrika Utara dan Timur Tengah, tetapi sekarang kertas itu dapat dibeli dengan lebih mudah dari orang-orang Eropa. Tetapi tidak semua orang Eropa datang ke sana untuk menjual kertas, banyak di antara mereka yang datang ke sana untuk membeli (atau menangkap) budak.
Setelah membeli kertas dan menjual dua orang budaknya, dalam perjalanan pulang ke Bundu, sebelum mereka mencapai tujuan, Ayuba dan Loumein ditangkap oleh para pedagang budak dari suku Afrika lainnya, yaitu suku Mandingo. Orang-orang ini kemudian menggunduli kepala Ayuba dan memangkas habis janggutnya.
Setelah itu Ayuba Suleiman Diallo dan penerjemahnya, Loumein Yoas, mereka dijual kepada Kapten Pike, seorang pedagang budak asal Inggris, pada 27 Februari 1731.
Ayuba meminta dengan amat sangat kepada Kapten Pike, memberi tahu bahwa ayahnya akan menebusnya, dan dia berhasil menulis surat kepada ayahnya untuk menjelaskan apa yang telah terjadi. Tetapi pada saat surat itu sampai di Bundu dan ayah Ayuba mengirim beberapa budaknya sendiri untuk menggantikan putranya, Kapten Pike sudah berlayar ke Amerika, dengan Ayuba di dalamnya.
Ayuba, seorang suami muda, dan ayah dari empat orang anak itu, dibawa menuju ke Annapolis, Maryland, Amerika, dan harus menempuh perjalanan yang panjang selama berbulan-bulan melintasi Samudra Atlantik.
Berdasarkan pengalaman orang Afrika lainnya yang diperbudak di Amerika dan tidak kembali lagi, Ayuba juga merasa mungkin kali ini dia melihat Afrika untuk terakhir kalinya.
Edward E. Curtis IV dalam buku berjudul Muslims in America (Oxford University Press, 2009) menyebut sebagai budak, rambut dan janggutnya digunduli sehingga sebagai seorang bangsawan dia merasa terhina.
Meskipun masih dalam perdebatan, beberapa menganggap bahwa Ayuba adalah Muslim pertama yang berada di Amerika. Kelak, kehidupannya di Dunia Barat sebagai budak akan menginspirasi begitu banyak orang.
Putra Bangsawan
Ayuba Suleiman Diallo lahir pada tahun 1700 di kota Bundu, wilayah Senegambia (sekarang Senegal). Dia merupakan anak dari keluarga bangsawan Fulani yang sejahtera dan terhormat.
Ayahnya, Suleiman, adalah seorang ulama Muslim yang sangat dihormati. Dia diberi kepercayaan untuk menjadi guru bagi pangeran, putra sang Raja. Ketika ayahnya mengajar sang Pangeran, Ayuba juga hadir di dalam kelasnya.
Di tengah-tengah kehidupan istana dan dikelilingi oleh para ulama terkemuka, pada usia yang masih sangat muda, Ayuba telah menghafal seluruh isi Al-Quran, dia adalah seorang hafiz.
Catatan sejarah lain mengatakan bahwa pada waktu itu usianya baru 15 tahun, dan selain sebagai hafiz, dia juga telah menguasai fikih mazhab Maliki. Dengan kemampuan seperti itu, Ayuba diberi kepercayaan untuk membantu tugas-tugas ayahnya sebagai Imam.
Suleiman, ayah Ayuba, selain sebagai ulama, juga adalah sosok yang berperan penting dalam kancah perpolitikan, dia telah membantu mendirikan kota Bundu, kota tempat di mana Ayuba dibesarkan. Bundu adalah kota Islam orang-orang Fulani, sebuah kota yang diperjuangkan melalui “Fula Pertama”, atau jihad orang-orang Fulani.
Melalui peristiwa itu, orang-orang Fulani menjadikan kota tersebut sebagai negara-kota Islam. Peristiwa ini terjadi 10 tahun sebelum Ayuba dilahirkan. Sebelumnya, Bundu berada di bawah kendali seorang raja dari Mande.
Menginjak usia 31, Ayuba telah mencapai kemapanan, dia memiliki dua istri dan empat anak: Abdullah, Ibrahim, Sambo, dan Fatimah. Pada titik inilah, di puncak masa mudanya, hidupnya akan berubah secara dramatis.
Pada tahun 1731, dia melakukan misi perjalanan dagang ke Gambia di pantai Atlantik, di mana Portugis dan Inggris telah mendirikan pelabuhan komersial. Ayuba datang ke sana dengan seorang penerjemah, Loumein Yoas, untuk membeli kertas, dan menjual dua orang budak.
Secara tradisional, orang-orang Fulani sebenarnya terbiasa membeli kertas dari Afrika Utara dan Timur Tengah, tetapi sekarang kertas itu dapat dibeli dengan lebih mudah dari orang-orang Eropa. Tetapi tidak semua orang Eropa datang ke sana untuk menjual kertas, banyak di antara mereka yang datang ke sana untuk membeli (atau menangkap) budak.
Setelah membeli kertas dan menjual dua orang budaknya, dalam perjalanan pulang ke Bundu, sebelum mereka mencapai tujuan, Ayuba dan Loumein ditangkap oleh para pedagang budak dari suku Afrika lainnya, yaitu suku Mandingo. Orang-orang ini kemudian menggunduli kepala Ayuba dan memangkas habis janggutnya.
Setelah itu Ayuba Suleiman Diallo dan penerjemahnya, Loumein Yoas, mereka dijual kepada Kapten Pike, seorang pedagang budak asal Inggris, pada 27 Februari 1731.
Ayuba meminta dengan amat sangat kepada Kapten Pike, memberi tahu bahwa ayahnya akan menebusnya, dan dia berhasil menulis surat kepada ayahnya untuk menjelaskan apa yang telah terjadi. Tetapi pada saat surat itu sampai di Bundu dan ayah Ayuba mengirim beberapa budaknya sendiri untuk menggantikan putranya, Kapten Pike sudah berlayar ke Amerika, dengan Ayuba di dalamnya.
Ayuba, seorang suami muda, dan ayah dari empat orang anak itu, dibawa menuju ke Annapolis, Maryland, Amerika, dan harus menempuh perjalanan yang panjang selama berbulan-bulan melintasi Samudra Atlantik.
Berdasarkan pengalaman orang Afrika lainnya yang diperbudak di Amerika dan tidak kembali lagi, Ayuba juga merasa mungkin kali ini dia melihat Afrika untuk terakhir kalinya.