Kisah Dramatis Ayuba Suleiman Diallo: Hafiz Al-Quran yang Menjadi Budak di Amerika
loading...
A
A
A
Reputasi baru Ayuba ini mungkin mempengaruhi Tolstoy, ketika dia mengambil Ayuba dari penjara dan membawanya kembali ke perkebunannya, dia memperlakukan Ayuba dengan lebih lembut. Beban kerjanya diringankan dan dia bahkan diberi tempat khusus untuk sholat, di mana dia bisa sholat di sana tanpa gangguan.
Segera seorang budak lain, yang bisa berbicara dan memahami bahasa ibu Ayuba dan bahasa Inggris, mengungkapkan kepada Tolstoy, bahwa Ayuba berasal dari keluarga bangsawan yang sangat kaya. Namun, untuk saat ini, kehidupan Ayuba masih belum berubah terlalu banyak, dia tetap masih menjadi seorang budak.
Mempertahankan Keyakinan
Selama dalam perbudakan, Ayuba terus mempertahankan keyakinannya, selain sholat, dia juga berpuasa dan mengikuti hukum dasar Islam tentang makanan. Dia tidak keberatan untuk memakan ikan, namun dia tidak mau memakan sedikit pun daging babi.
Selain itu, dia juga dikatakan telah menolak untuk memakan daging apa pun, kecuali ketika dia sendiri yang menyembelihnya, atau oleh seorang Muslim lain yang menyembelihnya, sehingga orang-orang di sekitarnya seringkali membiarkannya menyembelih untuk dirinya sendiri dan untuk mereka.
Kala itu, Ayuba sempat menulis surat kepada ayahnya di Senegal, menjelaskan kepadanya segala sesuatu yang telah terjadi, dan meminta keluarganya untuk menemukan cara untuk membebaskannya.
“Dia menulis surat dalam bahasa Arabick kepada ayahnya, memberi tahu tentang kemalangannya, berharap dia masih bisa menemukan cara untuk menebusnya,” tulis Thomas Bluett, penulis biografi Ayuba.
Ayuba, yang tetap berpegang teguh terhadap agamanya, menggunakan anugrah yang diberikan kepadanya langsung kepada pangkalnya. Dia adalah produk murni dari tradisi Islam dan kebangsawanan keluarganya dan, dengan demikian, dia menjadi sebuah contoh yang sempurna dari harga diri, kepercayadirian, dan iman yang tak tergoyahkan.
Selain itu, tidak seperti budak lainnya yang dianggap bodoh oleh para tuannya, Ayuba menggunakan kecerdasannya untuk mengamati dan memahami cara dan alur kerja jaringan perdagangan budak transatlantik. Dia hendak mencari celah dari jaringan tersebut. Ayuba mengatur agar surat yang dia buat dapat sampai kepada ayahnya dengan menggunakan rute yang sama persis pada saat dia pertama diculik dan dibawa dari Afrika ke Amerika.
Ayuba mengirim suratnya kepada Vachell Denton, seorang mediator perdagangan budak, dialah yang telah mengatur jual-beli Ayuba dari Kapten Pike kepada Tolstoy, Tuan pemilik Ayuba sekarang, ketika dia pertama kali tiba di Amerika.
Apa yang dilakukan oleh Ayuba adalah sebuah langkah yang sangat berani dan bukannya tanpa risiko. Ayuba menggunakan orang-orang yang sama yang telah memperbudaknya dan memperlakukannya seperti barang dagangan untuk mendapatkan kebebasannya.
Lalu apa yang membuat Ayuba berpkiran bahwa orang-orang ini mau membantu untuk mendapatkan kebebasannya? Jawabannya adalah karena ini semua urusannya dengan uang. Menurut Ayuba, mereka tidak pernah peduli tentang perbudakan itu sendiri. Mereka lebih peduli tentang uang yang mereka hasilkan darinya. Jika dia bisa meyakinkan mereka bahwa mereka akan diberi imbalan yang cukup untuk membantunya, mereka mungkin akan melakukannya.
Namun ketika surat itu hendak diberikan kepada Pike, dia sudah berangkat ke Inggris. Denton kemudian menitipkan surat itu kepada Kapten Hunt yang akan berangkat ke Inggris, untuk diberikan kepada Pike setibanya di sana. Sayangnya, ketika surat itu sampai di London, Kapten Pike sekali lagi sudah pergi ke pantai barat Afrika, untuk membawa pria, wanita, dan anak-anak Afrika lainnya ke dalam kapalnya.
Hunt kemudian menunjukkan surat itu kepada wakil gubernur Royal African Company, James Oglethorpe, mantan anggota Parlemen dan seorang dermawan. Oglethorpe juga merupakan seorang bangsawan Inggris yang telah mendirikan koloni Inggris di Georgia, Amerika, pada tahun 1732.
Melihatnya, keingintahuan Oglethorpe terusik, dia lalu meneruskan surat itu ke Universitas Oxford, untuk diterjemahkan oleh John Gagnier, seorang orientalis asal Prancis yang menjadi professor bahasa Ibrani dan Arab di universitas tersebut. Saat membaca terjemahannya, Oglethorpe memutuskan untuk membeli kebebasan Ayuba dari Tolstoy.
“Tidak ada baiknya bagi seorang Muslim hidup di negara Kristen,” itulah salah satu kutipan kalimat Ayuba dalam suratnya. Selain itu dia juga meminta agar diumumkan kepada orang-orang Bundu, bahwa dia masih hidup, dan dia memohon kepada penguasa negara dan keluarganya untuk memastikan bahwa kedua istrinya tidak menikah lagi.
Dua Ciri Khas
Pada Juni tahun 1732, setelah selama delapan belas bulan dalam masa perbudakan di Amerika, Ayuba ditebus seharga 45 poundsterling Inggris oleh Oglethorpe. Menurut sejarawan Sylviane A. Diouf, Ayuba dapat terbebas dari perbudakan karena dua ciri khas seorang Muslim.
Pertama, fakta bahwa dia telah menampilkan dirinya sebagai seorang Muslim ketika dibawa keluar dari penjara memberi kesan pada orang-orang yang mencoba mencari tahu siapa dirinya. Kedua, karena, sebagai seorang Muslim, dia terpelajar dan dapat menggunakan pemahaman dan analisanya yang tidak dimiliki oleh pada umumnya budak-budak Afrika lainnya.
Segera seorang budak lain, yang bisa berbicara dan memahami bahasa ibu Ayuba dan bahasa Inggris, mengungkapkan kepada Tolstoy, bahwa Ayuba berasal dari keluarga bangsawan yang sangat kaya. Namun, untuk saat ini, kehidupan Ayuba masih belum berubah terlalu banyak, dia tetap masih menjadi seorang budak.
Mempertahankan Keyakinan
Selama dalam perbudakan, Ayuba terus mempertahankan keyakinannya, selain sholat, dia juga berpuasa dan mengikuti hukum dasar Islam tentang makanan. Dia tidak keberatan untuk memakan ikan, namun dia tidak mau memakan sedikit pun daging babi.
Selain itu, dia juga dikatakan telah menolak untuk memakan daging apa pun, kecuali ketika dia sendiri yang menyembelihnya, atau oleh seorang Muslim lain yang menyembelihnya, sehingga orang-orang di sekitarnya seringkali membiarkannya menyembelih untuk dirinya sendiri dan untuk mereka.
Kala itu, Ayuba sempat menulis surat kepada ayahnya di Senegal, menjelaskan kepadanya segala sesuatu yang telah terjadi, dan meminta keluarganya untuk menemukan cara untuk membebaskannya.
“Dia menulis surat dalam bahasa Arabick kepada ayahnya, memberi tahu tentang kemalangannya, berharap dia masih bisa menemukan cara untuk menebusnya,” tulis Thomas Bluett, penulis biografi Ayuba.
Ayuba, yang tetap berpegang teguh terhadap agamanya, menggunakan anugrah yang diberikan kepadanya langsung kepada pangkalnya. Dia adalah produk murni dari tradisi Islam dan kebangsawanan keluarganya dan, dengan demikian, dia menjadi sebuah contoh yang sempurna dari harga diri, kepercayadirian, dan iman yang tak tergoyahkan.
Selain itu, tidak seperti budak lainnya yang dianggap bodoh oleh para tuannya, Ayuba menggunakan kecerdasannya untuk mengamati dan memahami cara dan alur kerja jaringan perdagangan budak transatlantik. Dia hendak mencari celah dari jaringan tersebut. Ayuba mengatur agar surat yang dia buat dapat sampai kepada ayahnya dengan menggunakan rute yang sama persis pada saat dia pertama diculik dan dibawa dari Afrika ke Amerika.
Ayuba mengirim suratnya kepada Vachell Denton, seorang mediator perdagangan budak, dialah yang telah mengatur jual-beli Ayuba dari Kapten Pike kepada Tolstoy, Tuan pemilik Ayuba sekarang, ketika dia pertama kali tiba di Amerika.
Apa yang dilakukan oleh Ayuba adalah sebuah langkah yang sangat berani dan bukannya tanpa risiko. Ayuba menggunakan orang-orang yang sama yang telah memperbudaknya dan memperlakukannya seperti barang dagangan untuk mendapatkan kebebasannya.
Lalu apa yang membuat Ayuba berpkiran bahwa orang-orang ini mau membantu untuk mendapatkan kebebasannya? Jawabannya adalah karena ini semua urusannya dengan uang. Menurut Ayuba, mereka tidak pernah peduli tentang perbudakan itu sendiri. Mereka lebih peduli tentang uang yang mereka hasilkan darinya. Jika dia bisa meyakinkan mereka bahwa mereka akan diberi imbalan yang cukup untuk membantunya, mereka mungkin akan melakukannya.
Namun ketika surat itu hendak diberikan kepada Pike, dia sudah berangkat ke Inggris. Denton kemudian menitipkan surat itu kepada Kapten Hunt yang akan berangkat ke Inggris, untuk diberikan kepada Pike setibanya di sana. Sayangnya, ketika surat itu sampai di London, Kapten Pike sekali lagi sudah pergi ke pantai barat Afrika, untuk membawa pria, wanita, dan anak-anak Afrika lainnya ke dalam kapalnya.
Hunt kemudian menunjukkan surat itu kepada wakil gubernur Royal African Company, James Oglethorpe, mantan anggota Parlemen dan seorang dermawan. Oglethorpe juga merupakan seorang bangsawan Inggris yang telah mendirikan koloni Inggris di Georgia, Amerika, pada tahun 1732.
Melihatnya, keingintahuan Oglethorpe terusik, dia lalu meneruskan surat itu ke Universitas Oxford, untuk diterjemahkan oleh John Gagnier, seorang orientalis asal Prancis yang menjadi professor bahasa Ibrani dan Arab di universitas tersebut. Saat membaca terjemahannya, Oglethorpe memutuskan untuk membeli kebebasan Ayuba dari Tolstoy.
“Tidak ada baiknya bagi seorang Muslim hidup di negara Kristen,” itulah salah satu kutipan kalimat Ayuba dalam suratnya. Selain itu dia juga meminta agar diumumkan kepada orang-orang Bundu, bahwa dia masih hidup, dan dia memohon kepada penguasa negara dan keluarganya untuk memastikan bahwa kedua istrinya tidak menikah lagi.
Dua Ciri Khas
Pada Juni tahun 1732, setelah selama delapan belas bulan dalam masa perbudakan di Amerika, Ayuba ditebus seharga 45 poundsterling Inggris oleh Oglethorpe. Menurut sejarawan Sylviane A. Diouf, Ayuba dapat terbebas dari perbudakan karena dua ciri khas seorang Muslim.
Pertama, fakta bahwa dia telah menampilkan dirinya sebagai seorang Muslim ketika dibawa keluar dari penjara memberi kesan pada orang-orang yang mencoba mencari tahu siapa dirinya. Kedua, karena, sebagai seorang Muslim, dia terpelajar dan dapat menggunakan pemahaman dan analisanya yang tidak dimiliki oleh pada umumnya budak-budak Afrika lainnya.