Kisah Dramatis Ayuba Suleiman Diallo: Hafiz Al-Quran yang Menjadi Budak di Amerika
loading...
A
A
A
Ayuba Suleiman Diallo adalah seorang hafid, bangsawan Muslim asli asal Afrika Barat. Pada tahun 1730 saat ia berusia 31 tahun secara dramatis nasibnya berubah total. Pria berkulit hitam ini ditangkap dan dijual sebagai budak ke Amerika .
Edward E. Curtis IV dalam buku berjudul Muslims in America (Oxford University Press, 2009) menyebut sebagai budak, rambut dan janggutnya digunduli sehingga sebagai seorang bangsawan dia merasa terhina.
Meskipun masih dalam perdebatan, beberapa menganggap bahwa Ayuba adalah Muslim pertama yang berada di Amerika. Kelak, kehidupannya di Dunia Barat sebagai budak akan menginspirasi begitu banyak orang.
Putra Bangsawan
Ayuba Suleiman Diallo lahir pada tahun 1700 di kota Bundu, wilayah Senegambia (sekarang Senegal). Dia merupakan anak dari keluarga bangsawan Fulani yang sejahtera dan terhormat.
Ayahnya, Suleiman, adalah seorang ulama Muslim yang sangat dihormati. Dia diberi kepercayaan untuk menjadi guru bagi pangeran, putra sang Raja. Ketika ayahnya mengajar sang Pangeran, Ayuba juga hadir di dalam kelasnya.
Di tengah-tengah kehidupan istana dan dikelilingi oleh para ulama terkemuka, pada usia yang masih sangat muda, Ayuba telah menghafal seluruh isi Al-Quran, dia adalah seorang hafiz.
Catatan sejarah lain mengatakan bahwa pada waktu itu usianya baru 15 tahun, dan selain sebagai hafiz, dia juga telah menguasai fikih mazhab Maliki. Dengan kemampuan seperti itu, Ayuba diberi kepercayaan untuk membantu tugas-tugas ayahnya sebagai Imam.
Suleiman, ayah Ayuba, selain sebagai ulama, juga adalah sosok yang berperan penting dalam kancah perpolitikan, dia telah membantu mendirikan kota Bundu, kota tempat di mana Ayuba dibesarkan. Bundu adalah kota Islam orang-orang Fulani, sebuah kota yang diperjuangkan melalui “Fula Pertama”, atau jihad orang-orang Fulani.
Melalui peristiwa itu, orang-orang Fulani menjadikan kota tersebut sebagai negara-kota Islam. Peristiwa ini terjadi 10 tahun sebelum Ayuba dilahirkan. Sebelumnya, Bundu berada di bawah kendali seorang raja dari Mande.
Menginjak usia 31, Ayuba telah mencapai kemapanan, dia memiliki dua istri dan empat anak: Abdullah, Ibrahim, Sambo, dan Fatimah. Pada titik inilah, di puncak masa mudanya, hidupnya akan berubah secara dramatis.
Pada tahun 1731, dia melakukan misi perjalanan dagang ke Gambia di pantai Atlantik, di mana Portugis dan Inggris telah mendirikan pelabuhan komersial. Ayuba datang ke sana dengan seorang penerjemah, Loumein Yoas, untuk membeli kertas, dan menjual dua orang budak.
Secara tradisional, orang-orang Fulani sebenarnya terbiasa membeli kertas dari Afrika Utara dan Timur Tengah, tetapi sekarang kertas itu dapat dibeli dengan lebih mudah dari orang-orang Eropa. Tetapi tidak semua orang Eropa datang ke sana untuk menjual kertas, banyak di antara mereka yang datang ke sana untuk membeli (atau menangkap) budak.
Setelah membeli kertas dan menjual dua orang budaknya, dalam perjalanan pulang ke Bundu, sebelum mereka mencapai tujuan, Ayuba dan Loumein ditangkap oleh para pedagang budak dari suku Afrika lainnya, yaitu suku Mandingo. Orang-orang ini kemudian menggunduli kepala Ayuba dan memangkas habis janggutnya.
Setelah itu Ayuba Suleiman Diallo dan penerjemahnya, Loumein Yoas, mereka dijual kepada Kapten Pike, seorang pedagang budak asal Inggris, pada 27 Februari 1731.
Ayuba meminta dengan amat sangat kepada Kapten Pike, memberi tahu bahwa ayahnya akan menebusnya, dan dia berhasil menulis surat kepada ayahnya untuk menjelaskan apa yang telah terjadi. Tetapi pada saat surat itu sampai di Bundu dan ayah Ayuba mengirim beberapa budaknya sendiri untuk menggantikan putranya, Kapten Pike sudah berlayar ke Amerika, dengan Ayuba di dalamnya.
Ayuba, seorang suami muda, dan ayah dari empat orang anak itu, dibawa menuju ke Annapolis, Maryland, Amerika, dan harus menempuh perjalanan yang panjang selama berbulan-bulan melintasi Samudra Atlantik.
Berdasarkan pengalaman orang Afrika lainnya yang diperbudak di Amerika dan tidak kembali lagi, Ayuba juga merasa mungkin kali ini dia melihat Afrika untuk terakhir kalinya.
Setelah perjalanan yang sulit ke Amerika, Kapten Pike menjual Ayuba kepada seorang petani yang bernama Tuan Tolstoy di Maryland. Kesepakatan jual beli budak itu diatur oleh Vachell Denton, seorang pria yang akan Ayuba temui lagi di masa depan. Tetapi untuk saat ini, dia dimiliki oleh Tolstoy, yang segera memberinya nama baru, “Simon” – sebuah langkah pertama dalam upaya untuk menghapus identitas dan asal muasal si budak.
Namun, Ayuba, bahkan dalam belenggu perbudakan, ingin mempertahankan setiap tetes terakhir identitasnya, dan sebagai gantinya dia memilih nama untuk dirinya sendiri. Ayuba memilih nama sebagai Job ben Solomon, yang mana merupakan terjemahan dari Ayyub bin Sulaiman (bahasa Arab) ke dalam bahasa Inggris (Ayyub = Job, bin = ben, Sulaiman = Solomon).
Namun pemilihan nama baru ini mungkin lebih dari sekadar masalah penerjemahan. Tuan barunya, Tolstoy, yang mungkin seorang Kristen, sudah terbiasa dengan nama-nama dan kisah-kisah yang ada di dalam Alkitab, yakni baik kisah tentang Job, maupun Solomon.
Meskipun ada perbedaan versi antara kisah Ayyub dan Sulaiman di Alkitab dan Al-Quran, tetapi Ayuba tampaknya berusaha mengatakan kepada Tuannya bahwa dia akan tetap bersabar sebagaimana Ayyub, dan bermartabat sebagaimana Sulaiman. Dan memang itulah yang dia lakukan.
Segera setelah tiba di Amerika, Ayuba dipekerjakan di ladang tembakau, namun pekerjaan ini terlalu berat baginya, hingga dia jatuh sakit dan mengeluh kepada Tuannya bahwa dia tidak cocok dengan pekerjaan semacam ini. Melihat Ayuba memang memiliki keterbatasan dalam tenaga fisik, Tolstoy kemudian memindahkan Ayuba, yang kini dipanggil Job, ke bagian lain, yakni mengurus hewan ternak sapi. Di bagian ini pekerjaan Ayuba menjadi lebih ringan.
Meskipun Tuannya mungkin tidak menyadarinya, namun Ayuba menikmati pekerjaan barunya (sebisa mungkin yang bisa dinikmati dengan posisinya sebagai budak) karena berternak sapi adalah pekerjaan tradisional orang-orang suku Fulani di Afrika.
Namun lebih dari semua itu, Ayuba kini memiliki kesempatan untuk dapat sholat, yang sebelumnya tidak mungkin dilakukan di ladang tembakau, karena dia selalu diawasi. Sekarang, Ayuba di sela-sela pekerjaannya dan dengan tingkat kebebasan yang lebih longgar, dapat pergi secara diam-diam ke hutan terdekat untuk sholat.
Pada suatu hari, seorang anak laki-laki kulit putih menemukan Ayuba sedang sholat di hutan, anak itu lalu mengolok-ngoloknya dan melemparkan kotoran ke wajahnya. Mungkin karena alasan ini dan insiden-insiden menyedihkan lainnya, Ayuba tidak tahan, sehingga dia memutuskan untuk melarikan diri setelah melayani Tuannya hanya dalam beberapa bulan.
Tidak lama setelah pelariannya, Ayuba tertangkap di Kent County, Pennsylvania, peristiwa ini terjadi pada Juni tahun 1731. Ketika Ayuba ditangkap, dia tidak bisa berbicara bahasa Inggris dan tidak bisa mengatakan dari mana dia berasal atau dia “dimiliki” oleh Tuan siapa.
“Allah... Muhammad...” Hanya dengan mengulang kata-kata inilah Ayuba menjawab ketika diinterogasi oleh penangkapnya.
Ketika berhadapan dengan situasi yang tidak diketahui, dan berpotensi berbahaya yang tidak dapat dia kendalikan, Ayuba menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah dan menegaskan keyakinan Islamnya.
Dia menjadikan syahadat sebagai definisi keberadaannya sendiri, tentang pribadinya. Apa yang dia lakukan pada saat itu tepat, karena pada akhirnya, iman dan pendidikan Islamnya lah yang akan menyelamatkannya, membebaskannya dari perbudakan.
Pendeta Anglikan Thomas Bluett
Akhirnya setelah mengalami kendala bahasa, seorang Afrika yang mengerti bahasa Ayuba dan bahasa Inggris ditemukan, dia menjadi penerjemah bagi kedua belah pihak. Setelah mengetahui asal-usul Ayuba, pihak keamanan menghubungi Tuan pemilik Ayuba, Tolstoy, dan sambil menunggu dia datang, Ayuba ditahan di dalam penjara.
Sementara berada di dalam penjara, bagaimanapun, Ayuba menjadi terkenal di sana karena memiliki kemampuan menulis dalam bahasa Arab dan berasal dari garis keturunan bangsawan Afrika. Berita ini menyebar hingga ke luar penjara, hingga akhirnya menarik perhatian seorang pengacara yang kebetulan sedang bepergian di daerah itu.
Pengacara tersebut bernama Thomas Bluett, selain itu dia juga seorang pendeta Anglikan, dari sebuah organisasi keagamaan yang bernama Anglican Society for the Propagation of the Gospel. Setelah menghabiskan waktu bersamanya, Bluett menyimpulkan, bahwa pemuda ini jelas-jelas bukan budak Afrika-Amerika biasa.
Sebagaimana dikatakan oleh Bluett, “Setelah kami berbicara dan menggunakan bahasa isyarat kepadanya, dia menulis satu atau dua baris di hadapan kami, dan ketika dia membacanya, mengucapkan kata-kata Allah dan Mahommed (Muhammad); yang mana, dan dia menolak segelas anggur yang kami tawarkan kepadanya.
“Kami menduga bahwa dia adalah seorang Mahometan (pengikut Nabi Muhammad), tetapi tidak dapat memperkirakan dia berasal dari negara mana, atau bagaimana dia bisa sampai ke sini; karena dengan pembawaannya yang ramah, dan ketenangan yang terpancar dari wajahnya, kita bisa melihat bahwa dia bukan budak biasa.”
Di kemudian hari, Bluett menulis buku biografi Ayuba yang berjudul Some Memoirs of the Life of Job, the Son of Solomon, the High Priest of Boonda in Africa, Who Was a Slave About Two Years in Maryland (1734).
Reputasi baru Ayuba ini mungkin mempengaruhi Tolstoy, ketika dia mengambil Ayuba dari penjara dan membawanya kembali ke perkebunannya, dia memperlakukan Ayuba dengan lebih lembut. Beban kerjanya diringankan dan dia bahkan diberi tempat khusus untuk sholat, di mana dia bisa sholat di sana tanpa gangguan.
Segera seorang budak lain, yang bisa berbicara dan memahami bahasa ibu Ayuba dan bahasa Inggris, mengungkapkan kepada Tolstoy, bahwa Ayuba berasal dari keluarga bangsawan yang sangat kaya. Namun, untuk saat ini, kehidupan Ayuba masih belum berubah terlalu banyak, dia tetap masih menjadi seorang budak.
Mempertahankan Keyakinan
Selama dalam perbudakan, Ayuba terus mempertahankan keyakinannya, selain sholat, dia juga berpuasa dan mengikuti hukum dasar Islam tentang makanan. Dia tidak keberatan untuk memakan ikan, namun dia tidak mau memakan sedikit pun daging babi.
Selain itu, dia juga dikatakan telah menolak untuk memakan daging apa pun, kecuali ketika dia sendiri yang menyembelihnya, atau oleh seorang Muslim lain yang menyembelihnya, sehingga orang-orang di sekitarnya seringkali membiarkannya menyembelih untuk dirinya sendiri dan untuk mereka.
Kala itu, Ayuba sempat menulis surat kepada ayahnya di Senegal, menjelaskan kepadanya segala sesuatu yang telah terjadi, dan meminta keluarganya untuk menemukan cara untuk membebaskannya.
“Dia menulis surat dalam bahasa Arabick kepada ayahnya, memberi tahu tentang kemalangannya, berharap dia masih bisa menemukan cara untuk menebusnya,” tulis Thomas Bluett, penulis biografi Ayuba.
Ayuba, yang tetap berpegang teguh terhadap agamanya, menggunakan anugrah yang diberikan kepadanya langsung kepada pangkalnya. Dia adalah produk murni dari tradisi Islam dan kebangsawanan keluarganya dan, dengan demikian, dia menjadi sebuah contoh yang sempurna dari harga diri, kepercayadirian, dan iman yang tak tergoyahkan.
Selain itu, tidak seperti budak lainnya yang dianggap bodoh oleh para tuannya, Ayuba menggunakan kecerdasannya untuk mengamati dan memahami cara dan alur kerja jaringan perdagangan budak transatlantik. Dia hendak mencari celah dari jaringan tersebut. Ayuba mengatur agar surat yang dia buat dapat sampai kepada ayahnya dengan menggunakan rute yang sama persis pada saat dia pertama diculik dan dibawa dari Afrika ke Amerika.
Ayuba mengirim suratnya kepada Vachell Denton, seorang mediator perdagangan budak, dialah yang telah mengatur jual-beli Ayuba dari Kapten Pike kepada Tolstoy, Tuan pemilik Ayuba sekarang, ketika dia pertama kali tiba di Amerika.
Apa yang dilakukan oleh Ayuba adalah sebuah langkah yang sangat berani dan bukannya tanpa risiko. Ayuba menggunakan orang-orang yang sama yang telah memperbudaknya dan memperlakukannya seperti barang dagangan untuk mendapatkan kebebasannya.
Lalu apa yang membuat Ayuba berpkiran bahwa orang-orang ini mau membantu untuk mendapatkan kebebasannya? Jawabannya adalah karena ini semua urusannya dengan uang. Menurut Ayuba, mereka tidak pernah peduli tentang perbudakan itu sendiri. Mereka lebih peduli tentang uang yang mereka hasilkan darinya. Jika dia bisa meyakinkan mereka bahwa mereka akan diberi imbalan yang cukup untuk membantunya, mereka mungkin akan melakukannya.
Namun ketika surat itu hendak diberikan kepada Pike, dia sudah berangkat ke Inggris. Denton kemudian menitipkan surat itu kepada Kapten Hunt yang akan berangkat ke Inggris, untuk diberikan kepada Pike setibanya di sana. Sayangnya, ketika surat itu sampai di London, Kapten Pike sekali lagi sudah pergi ke pantai barat Afrika, untuk membawa pria, wanita, dan anak-anak Afrika lainnya ke dalam kapalnya.
Hunt kemudian menunjukkan surat itu kepada wakil gubernur Royal African Company, James Oglethorpe, mantan anggota Parlemen dan seorang dermawan. Oglethorpe juga merupakan seorang bangsawan Inggris yang telah mendirikan koloni Inggris di Georgia, Amerika, pada tahun 1732.
Melihatnya, keingintahuan Oglethorpe terusik, dia lalu meneruskan surat itu ke Universitas Oxford, untuk diterjemahkan oleh John Gagnier, seorang orientalis asal Prancis yang menjadi professor bahasa Ibrani dan Arab di universitas tersebut. Saat membaca terjemahannya, Oglethorpe memutuskan untuk membeli kebebasan Ayuba dari Tolstoy.
“Tidak ada baiknya bagi seorang Muslim hidup di negara Kristen,” itulah salah satu kutipan kalimat Ayuba dalam suratnya. Selain itu dia juga meminta agar diumumkan kepada orang-orang Bundu, bahwa dia masih hidup, dan dia memohon kepada penguasa negara dan keluarganya untuk memastikan bahwa kedua istrinya tidak menikah lagi.
Dua Ciri Khas
Pada Juni tahun 1732, setelah selama delapan belas bulan dalam masa perbudakan di Amerika, Ayuba ditebus seharga 45 poundsterling Inggris oleh Oglethorpe. Menurut sejarawan Sylviane A. Diouf, Ayuba dapat terbebas dari perbudakan karena dua ciri khas seorang Muslim.
Pertama, fakta bahwa dia telah menampilkan dirinya sebagai seorang Muslim ketika dibawa keluar dari penjara memberi kesan pada orang-orang yang mencoba mencari tahu siapa dirinya. Kedua, karena, sebagai seorang Muslim, dia terpelajar dan dapat menggunakan pemahaman dan analisanya yang tidak dimiliki oleh pada umumnya budak-budak Afrika lainnya.
Sebagaimana ditekankan oleh beberapa penulis Eropa, ketika seorang Afrika menulis dalam bahasa Arab seperti Al-Quran, maka kedudukannya hampir mirip dengan orang Eropa yang mampu menulis dalam bahasa Latin, ada nilai lebih di sana.
Namun, sementara orang Eropa tidak secara rutin menulis korespondensi mereka dalam bahasa Latin, lain halnya dengan Muslim Afrika Barat yang memang menulis dalam bahasa Arab, bahkan bagi mereka yang diperbudak jauh dari tanah kelahiran mereka.
Demikianlah, setelah ditebus oleh James Oglethorpe, Ayuba Suleiman Diallo berlayar menuju London dari Amerika. Selama perjalanan dan sesampainya di London, orang-orang di sekitar Ayuba dapat melihat dengan jelas bahwa dia sangat terdidik dan taat terhadap agamanya.
Awak kapal mencatat, bahwa Ayuba terus menolak wine yang ditawarkan kepadanya dan tidak mau memakan daging yang disediakan kepadanya, kecuali daging itu disembelih menurut hukum Islam. Dia juga terus melaksanakan sholat lima waktu selama berada di atas kapal.
Thomas Bluett, pengacara asal Inggris yang pernah menemani Ayuba ketika di dalam penjara, ikut serta di dalam perjalanan ini. Semenjak bertemu dengan Ayuba, Bluett sangat tertarik dengan kisah hidupnya, dan dia berkeinginan untuk membantu Ayuba merdeka.
Selama di dalam kapal, Bluett juga mengajari Ayuba bahasa Inggris, sehingga pada saat dia tiba di London, dia bisa mulai menceritakan kisahnya kepada mereka yang tertarik (dan tampaknya ada banyak dari mereka yang tertarik).
Salinan Al-Quran
Setibanya di London, Ayuba tetap melaksanakan ajaran Islam. Selain itu, Ayuba juga memperlihatkan kualitasnya sebagai seorang Muslim yang telah menempa pendidikan agama dari sejak usia muda, sebagaimana yang dilaporkan oleh Bluett pada tahun 1734, di Inggris Ayuba menulis tiga buah salinan Al-Quran.
Dia menulis Al-Quran “tanpa bantuan salinan (Al-Quran) lainnya, dan tanpa melihat ke salah satu dari ketiganya ketika dia menulis yang lain,” catat Bluett. Artinya, dia menulis benar-benar mengandalkan ingatannya.
Ayuba juga membantu Sir Hans Sloane, seorang dokter, yang juga merupakan seorang kolektor, pendiri Museum Inggris, dan Presiden the Royal Geographical Society. Di museum, Ayuba membantunya untuk mengorganisir koleksi-koleksi naskah berbahasa Arabnya. Bukan hanya sebatas itu, karena Ayuba sudah bisa berbahasa Inggris, dia juga membantu Sir Hans untuk menerjemahkan bahasa Arab ke Inggris.
Di Inggris Ayuba menjadi benar-benar terkenal setelah orang-orang membaca tentang kisah hidupnya. Ayuba adalah seorang selebritis alamiah dengan segala yang dimilikinya, sehingga menjadikan buku tentang kisah hidupnya menjadi buku terlaris pada abad ke-18.
Ajakan Pindah Agama
Penasaran dengan kemampuan literasi, latar belakang kebangsawanan, dan perilaku Ayuba yang santun, salah satu keluarga kerajaan Inggris menjadi sangat ingin bertemu dengannya. Ayuba diundang menjadi tamu kehormatan Duke of Montagu, dia diajak ke rumahnya dan menjadi bersahabat dengannya.
Suatu waktu, beberapa penyokong dana selama Ayuba di Inggris berharap dapat mengajak Ayuba untuk pindah ke agama Kristen, dan mereka memberinya salinan Perjanjian Baru dalam terjemahan bahasa Arab. Tapi Ayuba sudah akrab dengan kisah Yesus, yang digambarkan dalam Al-Quran sebagai seorang nabi dan bukan sebagai penjelmaan Tuhan dalam bentuk manusia.
Ayuba, seperti kebanyakan Muslim lainnya, setuju dengan para sponsor Kristennya bahwa Yesus dilahirkan dari Perawan Maria, memiliki mukjizat, dan akan datang kembali pada akhir zaman. Tetapi dia menolak doktrin Kristen tentang Tritunggal, kepercayaan bahwa Allah, meskipun pada intinya satu, tapi juga merupakan tiga “pribadi”, yaitu Allah Bapa, Allah Anak (Yesus), dan Allah Roh Kudus.
Lalu setelah Ayuba membaca Injil dengan teliti dan sangat berhati-hati, Ayuba memberi tahu teman-teman Kristennya, secara akurat, bahwa dia tidak menemukan penyebutan “Tritunggal” dalam kitab suci itu. Ayuba dengan cepat, menggunakan teks suci Kristen itu sendiri untuk mendukung pandangan teologis Islamnya tentang monoteisme, kepercayaan pada satu Tuhan.
Dan memang, menurut Edward E. Curtis IV, seorang sejarawan yang menulis kisah tentang Ayuba, meskipun Injil Matius memerintahkan pengikut Yesus untuk membaptis seluruh dunia dalam nama “ayah, anak, dan roh kudus,” kata “tritunggal” itu sendiri tidak pernah diucapkan dalam Perjanjian Baru.
Ayuba juga lalu memperingatkan mereka untuk menghindari penggambaran citra manusia dengan Tuhan, bahkan terhadap Yesus itu sendiri, yang mana dalam perspektifnya adalah seorang nabi (Isa). Ayuba sangat kritis — paling tidak menurut Bluett yang merupakan seorang pendeta Anglikan — terhadap tradisi “penyembahan berhala” Katolik Roma, yang mana sebelumnya telah dia amati di suatu kota di Afrika Barat.
Namun demikian, dengan segala hal yang dia dapat di Inggris, sebagaimana telah diduga Ayuba sebelumnya, kedatangannya ke Inggris bukanlah sesuatu yang gratis. Dunia perbudakan sejatinya adalah sebuah bisnis. Orang-orang yang telah membebaskannya kelak akan meminta imbalan balik kepada Ayuba.
Pulang ke Afrika
Setelah sekian lama tinggal di Inggris, pada tahun 1734 Ayuba Suleiman Diallo akhirnya berlayar pulang ke negaranya dengan bantuan dari Royal African Company, sebuah perusahaan asal Inggris yang memiliki bisnis utama perdagangan emas, perak, dan budak dari Afrika Barat.
Seperti yang telah diduga oleh Ayuba sebelumnya, bahwa kebebasan yang dia peroleh – yang dibantu oleh orang-orang Royal African Company – bukanlah sesuatunya yang gratis. Sebelum kepulangannya, di London, para kolonialis Royal African Company meminta Ayuba bekerja untuk mereka.
Mereka berharap koneksi Ayuba di Afrika Barat dapat membantu mereka dalam membangun hubungan yang lebih kuat untuk perdagangan di wilayah Senegambia, khususnya perdagangan gading, getah pohon karet, dan emas. Ayuba memenuhi permintaan mereka.
Ayuba pulang ke tanah kelahirannya dengan membawa surat-surat dari Royal African Company yang merekomendasikan kepada para petugas mereka di Gambia untuk mendampingi Ayuba “dengan rasa hormat terbesar dan segala keramahan yang mungkin kalian bisa.”
Ayuba menapakkan kakinya dengan selamat di Afrika pada 8 Agustus 1734 di Fort James, Gambia. “Atas izin Allah,” tulis Ayuba. Dari sana dia memulai perjalanannya kembali ke kota asalnya di Bundu, Senegal. Dia ditemani oleh Francis Moore, seorang Inggris, petugas Royal African Company.
Dalam suatu ketidaksengajaan yang luar biasa, pada malam pertama perjalanan mereka, Ayuba bertemu dengan orang-orang yang telah menculiknya tiga tahun sebelumnya. Francis Moore memberikan kesaksiannya ketika peristiwa ini terjadi.
“Job (panggilan Ayuba ketika di Amerika dan Inggris), seseorang yang sangat tenang pada waktu-waktu lain, tidak bisa menahan diri ketika melihat mereka, tetapi jatuh ke dalam hasrat yang paling mengerikan, dan hendak membunuh mereka dengan pedang lebar dan pistolnya, yang mana selalu dia bawa untuk menjaga dirinya,” tulis Moore.
Namun Ayuba urung melakukannya, dia malah berbicara kepada bekas para penculiknya itu. Dia bertanya tentang raja mereka dan dari sana dia mengetahui bahwa “di antara barang-barang dari hasil penjualan Job kepada Kapten Pyke terdapat sebuah pistol, yang biasa dikenakan oleh sang Raja dengan cara digantung di lehernya memakai seutas tali…., suatu hari (pistol) ini tidak sengaja meletus, dan pelurunya bersarang di tenggorokannya, dia tewas seketika.”
Ayuba kemudian berlutut dan “mengembalikan rasa syukurnya kepada Nabi Muhammad karena telah membuat orang ini mati oleh barang-barang dari hasil penjualannya ke dalam perbudakan.”
Ada banyak yang harus disyukuri, karena Ayuba hanyalah orang kedua, seperti yang dikatakan oleh seorang Pulo (Fulani) kepada Moore, yang pernah diketahui kembali ke negara ini, setelah dibawa menjadi budak oleh orang kulit putih.
Perang yang Mengerikan
Sewaktu masih di Inggris, Ayuba mengirim surat kepada ayahnya, memberitahunya bahwa dia masih hidup dan kini telah merdeka dari perbudakan, dan dalam waktu dekat dia akan segera pulang. Surat ini sampai kepada ayahnya dan keluarganya tahu bahwa Ayuba akan pulang dalam waktu yang telah ditentukan.
Kini, setelah tiba di tanah Afrika, karena ada beberapa urusan terkait pekerjaannya di Royal African Company, Ayuba dan Moore harus mengurus beberapa hal terlebih dahulu di sekitar Sungai Gambia, sebelum dia sampai di rumahnya, dia mengirim kurir untuk menyampaikan pesan bahwa dia sudah tiba di Afrika.
Ketika kurir itu kembali, Ayuba menerima berita menyedihkan dari keluarganya, mengatakan bahwa ayahnya telah meninggal saat dia masih di Inggris, dan Bundu telah hancur lebur karena perang mengerikan yang bahkan tidak menyisakan “seekor sapi pun.”
Mendengar berita ini, Ayuba menangis sedih. Tetapi paling tidak, dia juga menerima berita baik, bahwa keempat anaknya baik-baik saja.
Meskipun dikelilingi oleh bahaya peperangan dan perampokan, pada tahun 1735, Ayuba ditemani oleh teman Inggrisnya akhirnya tiba di kota kelahirannya. Ketika Ayuba tiba di sana, dalam sebuah selebrasi, dia menembakkan senjatanya ke udara dan memacu kudanya berputar-putar dengan kencang.
Ayuba mendapatkan semua anak-anaknya sehat, dan dia berpuasa dari fajar hingga senja selama sebulan penuh, mungkin untuk memenuhi sumpah yang telah dia buat jika suatu waktu dia dapat bebas kembali ketika pertama kali ditangkap pada tahun 1730 atau 1731.
Edward E. Curtis IV dalam buku berjudul Muslims in America (Oxford University Press, 2009) menyebut sebagai budak, rambut dan janggutnya digunduli sehingga sebagai seorang bangsawan dia merasa terhina.
Meskipun masih dalam perdebatan, beberapa menganggap bahwa Ayuba adalah Muslim pertama yang berada di Amerika. Kelak, kehidupannya di Dunia Barat sebagai budak akan menginspirasi begitu banyak orang.
Putra Bangsawan
Ayuba Suleiman Diallo lahir pada tahun 1700 di kota Bundu, wilayah Senegambia (sekarang Senegal). Dia merupakan anak dari keluarga bangsawan Fulani yang sejahtera dan terhormat.
Ayahnya, Suleiman, adalah seorang ulama Muslim yang sangat dihormati. Dia diberi kepercayaan untuk menjadi guru bagi pangeran, putra sang Raja. Ketika ayahnya mengajar sang Pangeran, Ayuba juga hadir di dalam kelasnya.
Di tengah-tengah kehidupan istana dan dikelilingi oleh para ulama terkemuka, pada usia yang masih sangat muda, Ayuba telah menghafal seluruh isi Al-Quran, dia adalah seorang hafiz.
Catatan sejarah lain mengatakan bahwa pada waktu itu usianya baru 15 tahun, dan selain sebagai hafiz, dia juga telah menguasai fikih mazhab Maliki. Dengan kemampuan seperti itu, Ayuba diberi kepercayaan untuk membantu tugas-tugas ayahnya sebagai Imam.
Suleiman, ayah Ayuba, selain sebagai ulama, juga adalah sosok yang berperan penting dalam kancah perpolitikan, dia telah membantu mendirikan kota Bundu, kota tempat di mana Ayuba dibesarkan. Bundu adalah kota Islam orang-orang Fulani, sebuah kota yang diperjuangkan melalui “Fula Pertama”, atau jihad orang-orang Fulani.
Melalui peristiwa itu, orang-orang Fulani menjadikan kota tersebut sebagai negara-kota Islam. Peristiwa ini terjadi 10 tahun sebelum Ayuba dilahirkan. Sebelumnya, Bundu berada di bawah kendali seorang raja dari Mande.
Menginjak usia 31, Ayuba telah mencapai kemapanan, dia memiliki dua istri dan empat anak: Abdullah, Ibrahim, Sambo, dan Fatimah. Pada titik inilah, di puncak masa mudanya, hidupnya akan berubah secara dramatis.
Pada tahun 1731, dia melakukan misi perjalanan dagang ke Gambia di pantai Atlantik, di mana Portugis dan Inggris telah mendirikan pelabuhan komersial. Ayuba datang ke sana dengan seorang penerjemah, Loumein Yoas, untuk membeli kertas, dan menjual dua orang budak.
Secara tradisional, orang-orang Fulani sebenarnya terbiasa membeli kertas dari Afrika Utara dan Timur Tengah, tetapi sekarang kertas itu dapat dibeli dengan lebih mudah dari orang-orang Eropa. Tetapi tidak semua orang Eropa datang ke sana untuk menjual kertas, banyak di antara mereka yang datang ke sana untuk membeli (atau menangkap) budak.
Setelah membeli kertas dan menjual dua orang budaknya, dalam perjalanan pulang ke Bundu, sebelum mereka mencapai tujuan, Ayuba dan Loumein ditangkap oleh para pedagang budak dari suku Afrika lainnya, yaitu suku Mandingo. Orang-orang ini kemudian menggunduli kepala Ayuba dan memangkas habis janggutnya.
Setelah itu Ayuba Suleiman Diallo dan penerjemahnya, Loumein Yoas, mereka dijual kepada Kapten Pike, seorang pedagang budak asal Inggris, pada 27 Februari 1731.
Ayuba meminta dengan amat sangat kepada Kapten Pike, memberi tahu bahwa ayahnya akan menebusnya, dan dia berhasil menulis surat kepada ayahnya untuk menjelaskan apa yang telah terjadi. Tetapi pada saat surat itu sampai di Bundu dan ayah Ayuba mengirim beberapa budaknya sendiri untuk menggantikan putranya, Kapten Pike sudah berlayar ke Amerika, dengan Ayuba di dalamnya.
Ayuba, seorang suami muda, dan ayah dari empat orang anak itu, dibawa menuju ke Annapolis, Maryland, Amerika, dan harus menempuh perjalanan yang panjang selama berbulan-bulan melintasi Samudra Atlantik.
Berdasarkan pengalaman orang Afrika lainnya yang diperbudak di Amerika dan tidak kembali lagi, Ayuba juga merasa mungkin kali ini dia melihat Afrika untuk terakhir kalinya.
Setelah perjalanan yang sulit ke Amerika, Kapten Pike menjual Ayuba kepada seorang petani yang bernama Tuan Tolstoy di Maryland. Kesepakatan jual beli budak itu diatur oleh Vachell Denton, seorang pria yang akan Ayuba temui lagi di masa depan. Tetapi untuk saat ini, dia dimiliki oleh Tolstoy, yang segera memberinya nama baru, “Simon” – sebuah langkah pertama dalam upaya untuk menghapus identitas dan asal muasal si budak.
Namun, Ayuba, bahkan dalam belenggu perbudakan, ingin mempertahankan setiap tetes terakhir identitasnya, dan sebagai gantinya dia memilih nama untuk dirinya sendiri. Ayuba memilih nama sebagai Job ben Solomon, yang mana merupakan terjemahan dari Ayyub bin Sulaiman (bahasa Arab) ke dalam bahasa Inggris (Ayyub = Job, bin = ben, Sulaiman = Solomon).
Namun pemilihan nama baru ini mungkin lebih dari sekadar masalah penerjemahan. Tuan barunya, Tolstoy, yang mungkin seorang Kristen, sudah terbiasa dengan nama-nama dan kisah-kisah yang ada di dalam Alkitab, yakni baik kisah tentang Job, maupun Solomon.
Meskipun ada perbedaan versi antara kisah Ayyub dan Sulaiman di Alkitab dan Al-Quran, tetapi Ayuba tampaknya berusaha mengatakan kepada Tuannya bahwa dia akan tetap bersabar sebagaimana Ayyub, dan bermartabat sebagaimana Sulaiman. Dan memang itulah yang dia lakukan.
Segera setelah tiba di Amerika, Ayuba dipekerjakan di ladang tembakau, namun pekerjaan ini terlalu berat baginya, hingga dia jatuh sakit dan mengeluh kepada Tuannya bahwa dia tidak cocok dengan pekerjaan semacam ini. Melihat Ayuba memang memiliki keterbatasan dalam tenaga fisik, Tolstoy kemudian memindahkan Ayuba, yang kini dipanggil Job, ke bagian lain, yakni mengurus hewan ternak sapi. Di bagian ini pekerjaan Ayuba menjadi lebih ringan.
Meskipun Tuannya mungkin tidak menyadarinya, namun Ayuba menikmati pekerjaan barunya (sebisa mungkin yang bisa dinikmati dengan posisinya sebagai budak) karena berternak sapi adalah pekerjaan tradisional orang-orang suku Fulani di Afrika.
Namun lebih dari semua itu, Ayuba kini memiliki kesempatan untuk dapat sholat, yang sebelumnya tidak mungkin dilakukan di ladang tembakau, karena dia selalu diawasi. Sekarang, Ayuba di sela-sela pekerjaannya dan dengan tingkat kebebasan yang lebih longgar, dapat pergi secara diam-diam ke hutan terdekat untuk sholat.
Pada suatu hari, seorang anak laki-laki kulit putih menemukan Ayuba sedang sholat di hutan, anak itu lalu mengolok-ngoloknya dan melemparkan kotoran ke wajahnya. Mungkin karena alasan ini dan insiden-insiden menyedihkan lainnya, Ayuba tidak tahan, sehingga dia memutuskan untuk melarikan diri setelah melayani Tuannya hanya dalam beberapa bulan.
Tidak lama setelah pelariannya, Ayuba tertangkap di Kent County, Pennsylvania, peristiwa ini terjadi pada Juni tahun 1731. Ketika Ayuba ditangkap, dia tidak bisa berbicara bahasa Inggris dan tidak bisa mengatakan dari mana dia berasal atau dia “dimiliki” oleh Tuan siapa.
“Allah... Muhammad...” Hanya dengan mengulang kata-kata inilah Ayuba menjawab ketika diinterogasi oleh penangkapnya.
Ketika berhadapan dengan situasi yang tidak diketahui, dan berpotensi berbahaya yang tidak dapat dia kendalikan, Ayuba menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah dan menegaskan keyakinan Islamnya.
Dia menjadikan syahadat sebagai definisi keberadaannya sendiri, tentang pribadinya. Apa yang dia lakukan pada saat itu tepat, karena pada akhirnya, iman dan pendidikan Islamnya lah yang akan menyelamatkannya, membebaskannya dari perbudakan.
Pendeta Anglikan Thomas Bluett
Akhirnya setelah mengalami kendala bahasa, seorang Afrika yang mengerti bahasa Ayuba dan bahasa Inggris ditemukan, dia menjadi penerjemah bagi kedua belah pihak. Setelah mengetahui asal-usul Ayuba, pihak keamanan menghubungi Tuan pemilik Ayuba, Tolstoy, dan sambil menunggu dia datang, Ayuba ditahan di dalam penjara.
Sementara berada di dalam penjara, bagaimanapun, Ayuba menjadi terkenal di sana karena memiliki kemampuan menulis dalam bahasa Arab dan berasal dari garis keturunan bangsawan Afrika. Berita ini menyebar hingga ke luar penjara, hingga akhirnya menarik perhatian seorang pengacara yang kebetulan sedang bepergian di daerah itu.
Pengacara tersebut bernama Thomas Bluett, selain itu dia juga seorang pendeta Anglikan, dari sebuah organisasi keagamaan yang bernama Anglican Society for the Propagation of the Gospel. Setelah menghabiskan waktu bersamanya, Bluett menyimpulkan, bahwa pemuda ini jelas-jelas bukan budak Afrika-Amerika biasa.
Sebagaimana dikatakan oleh Bluett, “Setelah kami berbicara dan menggunakan bahasa isyarat kepadanya, dia menulis satu atau dua baris di hadapan kami, dan ketika dia membacanya, mengucapkan kata-kata Allah dan Mahommed (Muhammad); yang mana, dan dia menolak segelas anggur yang kami tawarkan kepadanya.
“Kami menduga bahwa dia adalah seorang Mahometan (pengikut Nabi Muhammad), tetapi tidak dapat memperkirakan dia berasal dari negara mana, atau bagaimana dia bisa sampai ke sini; karena dengan pembawaannya yang ramah, dan ketenangan yang terpancar dari wajahnya, kita bisa melihat bahwa dia bukan budak biasa.”
Di kemudian hari, Bluett menulis buku biografi Ayuba yang berjudul Some Memoirs of the Life of Job, the Son of Solomon, the High Priest of Boonda in Africa, Who Was a Slave About Two Years in Maryland (1734).
Reputasi baru Ayuba ini mungkin mempengaruhi Tolstoy, ketika dia mengambil Ayuba dari penjara dan membawanya kembali ke perkebunannya, dia memperlakukan Ayuba dengan lebih lembut. Beban kerjanya diringankan dan dia bahkan diberi tempat khusus untuk sholat, di mana dia bisa sholat di sana tanpa gangguan.
Segera seorang budak lain, yang bisa berbicara dan memahami bahasa ibu Ayuba dan bahasa Inggris, mengungkapkan kepada Tolstoy, bahwa Ayuba berasal dari keluarga bangsawan yang sangat kaya. Namun, untuk saat ini, kehidupan Ayuba masih belum berubah terlalu banyak, dia tetap masih menjadi seorang budak.
Mempertahankan Keyakinan
Selama dalam perbudakan, Ayuba terus mempertahankan keyakinannya, selain sholat, dia juga berpuasa dan mengikuti hukum dasar Islam tentang makanan. Dia tidak keberatan untuk memakan ikan, namun dia tidak mau memakan sedikit pun daging babi.
Selain itu, dia juga dikatakan telah menolak untuk memakan daging apa pun, kecuali ketika dia sendiri yang menyembelihnya, atau oleh seorang Muslim lain yang menyembelihnya, sehingga orang-orang di sekitarnya seringkali membiarkannya menyembelih untuk dirinya sendiri dan untuk mereka.
Kala itu, Ayuba sempat menulis surat kepada ayahnya di Senegal, menjelaskan kepadanya segala sesuatu yang telah terjadi, dan meminta keluarganya untuk menemukan cara untuk membebaskannya.
“Dia menulis surat dalam bahasa Arabick kepada ayahnya, memberi tahu tentang kemalangannya, berharap dia masih bisa menemukan cara untuk menebusnya,” tulis Thomas Bluett, penulis biografi Ayuba.
Ayuba, yang tetap berpegang teguh terhadap agamanya, menggunakan anugrah yang diberikan kepadanya langsung kepada pangkalnya. Dia adalah produk murni dari tradisi Islam dan kebangsawanan keluarganya dan, dengan demikian, dia menjadi sebuah contoh yang sempurna dari harga diri, kepercayadirian, dan iman yang tak tergoyahkan.
Selain itu, tidak seperti budak lainnya yang dianggap bodoh oleh para tuannya, Ayuba menggunakan kecerdasannya untuk mengamati dan memahami cara dan alur kerja jaringan perdagangan budak transatlantik. Dia hendak mencari celah dari jaringan tersebut. Ayuba mengatur agar surat yang dia buat dapat sampai kepada ayahnya dengan menggunakan rute yang sama persis pada saat dia pertama diculik dan dibawa dari Afrika ke Amerika.
Ayuba mengirim suratnya kepada Vachell Denton, seorang mediator perdagangan budak, dialah yang telah mengatur jual-beli Ayuba dari Kapten Pike kepada Tolstoy, Tuan pemilik Ayuba sekarang, ketika dia pertama kali tiba di Amerika.
Apa yang dilakukan oleh Ayuba adalah sebuah langkah yang sangat berani dan bukannya tanpa risiko. Ayuba menggunakan orang-orang yang sama yang telah memperbudaknya dan memperlakukannya seperti barang dagangan untuk mendapatkan kebebasannya.
Lalu apa yang membuat Ayuba berpkiran bahwa orang-orang ini mau membantu untuk mendapatkan kebebasannya? Jawabannya adalah karena ini semua urusannya dengan uang. Menurut Ayuba, mereka tidak pernah peduli tentang perbudakan itu sendiri. Mereka lebih peduli tentang uang yang mereka hasilkan darinya. Jika dia bisa meyakinkan mereka bahwa mereka akan diberi imbalan yang cukup untuk membantunya, mereka mungkin akan melakukannya.
Namun ketika surat itu hendak diberikan kepada Pike, dia sudah berangkat ke Inggris. Denton kemudian menitipkan surat itu kepada Kapten Hunt yang akan berangkat ke Inggris, untuk diberikan kepada Pike setibanya di sana. Sayangnya, ketika surat itu sampai di London, Kapten Pike sekali lagi sudah pergi ke pantai barat Afrika, untuk membawa pria, wanita, dan anak-anak Afrika lainnya ke dalam kapalnya.
Hunt kemudian menunjukkan surat itu kepada wakil gubernur Royal African Company, James Oglethorpe, mantan anggota Parlemen dan seorang dermawan. Oglethorpe juga merupakan seorang bangsawan Inggris yang telah mendirikan koloni Inggris di Georgia, Amerika, pada tahun 1732.
Melihatnya, keingintahuan Oglethorpe terusik, dia lalu meneruskan surat itu ke Universitas Oxford, untuk diterjemahkan oleh John Gagnier, seorang orientalis asal Prancis yang menjadi professor bahasa Ibrani dan Arab di universitas tersebut. Saat membaca terjemahannya, Oglethorpe memutuskan untuk membeli kebebasan Ayuba dari Tolstoy.
“Tidak ada baiknya bagi seorang Muslim hidup di negara Kristen,” itulah salah satu kutipan kalimat Ayuba dalam suratnya. Selain itu dia juga meminta agar diumumkan kepada orang-orang Bundu, bahwa dia masih hidup, dan dia memohon kepada penguasa negara dan keluarganya untuk memastikan bahwa kedua istrinya tidak menikah lagi.
Dua Ciri Khas
Pada Juni tahun 1732, setelah selama delapan belas bulan dalam masa perbudakan di Amerika, Ayuba ditebus seharga 45 poundsterling Inggris oleh Oglethorpe. Menurut sejarawan Sylviane A. Diouf, Ayuba dapat terbebas dari perbudakan karena dua ciri khas seorang Muslim.
Pertama, fakta bahwa dia telah menampilkan dirinya sebagai seorang Muslim ketika dibawa keluar dari penjara memberi kesan pada orang-orang yang mencoba mencari tahu siapa dirinya. Kedua, karena, sebagai seorang Muslim, dia terpelajar dan dapat menggunakan pemahaman dan analisanya yang tidak dimiliki oleh pada umumnya budak-budak Afrika lainnya.
Sebagaimana ditekankan oleh beberapa penulis Eropa, ketika seorang Afrika menulis dalam bahasa Arab seperti Al-Quran, maka kedudukannya hampir mirip dengan orang Eropa yang mampu menulis dalam bahasa Latin, ada nilai lebih di sana.
Namun, sementara orang Eropa tidak secara rutin menulis korespondensi mereka dalam bahasa Latin, lain halnya dengan Muslim Afrika Barat yang memang menulis dalam bahasa Arab, bahkan bagi mereka yang diperbudak jauh dari tanah kelahiran mereka.
Demikianlah, setelah ditebus oleh James Oglethorpe, Ayuba Suleiman Diallo berlayar menuju London dari Amerika. Selama perjalanan dan sesampainya di London, orang-orang di sekitar Ayuba dapat melihat dengan jelas bahwa dia sangat terdidik dan taat terhadap agamanya.
Awak kapal mencatat, bahwa Ayuba terus menolak wine yang ditawarkan kepadanya dan tidak mau memakan daging yang disediakan kepadanya, kecuali daging itu disembelih menurut hukum Islam. Dia juga terus melaksanakan sholat lima waktu selama berada di atas kapal.
Thomas Bluett, pengacara asal Inggris yang pernah menemani Ayuba ketika di dalam penjara, ikut serta di dalam perjalanan ini. Semenjak bertemu dengan Ayuba, Bluett sangat tertarik dengan kisah hidupnya, dan dia berkeinginan untuk membantu Ayuba merdeka.
Selama di dalam kapal, Bluett juga mengajari Ayuba bahasa Inggris, sehingga pada saat dia tiba di London, dia bisa mulai menceritakan kisahnya kepada mereka yang tertarik (dan tampaknya ada banyak dari mereka yang tertarik).
Salinan Al-Quran
Setibanya di London, Ayuba tetap melaksanakan ajaran Islam. Selain itu, Ayuba juga memperlihatkan kualitasnya sebagai seorang Muslim yang telah menempa pendidikan agama dari sejak usia muda, sebagaimana yang dilaporkan oleh Bluett pada tahun 1734, di Inggris Ayuba menulis tiga buah salinan Al-Quran.
Dia menulis Al-Quran “tanpa bantuan salinan (Al-Quran) lainnya, dan tanpa melihat ke salah satu dari ketiganya ketika dia menulis yang lain,” catat Bluett. Artinya, dia menulis benar-benar mengandalkan ingatannya.
Ayuba juga membantu Sir Hans Sloane, seorang dokter, yang juga merupakan seorang kolektor, pendiri Museum Inggris, dan Presiden the Royal Geographical Society. Di museum, Ayuba membantunya untuk mengorganisir koleksi-koleksi naskah berbahasa Arabnya. Bukan hanya sebatas itu, karena Ayuba sudah bisa berbahasa Inggris, dia juga membantu Sir Hans untuk menerjemahkan bahasa Arab ke Inggris.
Di Inggris Ayuba menjadi benar-benar terkenal setelah orang-orang membaca tentang kisah hidupnya. Ayuba adalah seorang selebritis alamiah dengan segala yang dimilikinya, sehingga menjadikan buku tentang kisah hidupnya menjadi buku terlaris pada abad ke-18.
Ajakan Pindah Agama
Penasaran dengan kemampuan literasi, latar belakang kebangsawanan, dan perilaku Ayuba yang santun, salah satu keluarga kerajaan Inggris menjadi sangat ingin bertemu dengannya. Ayuba diundang menjadi tamu kehormatan Duke of Montagu, dia diajak ke rumahnya dan menjadi bersahabat dengannya.
Suatu waktu, beberapa penyokong dana selama Ayuba di Inggris berharap dapat mengajak Ayuba untuk pindah ke agama Kristen, dan mereka memberinya salinan Perjanjian Baru dalam terjemahan bahasa Arab. Tapi Ayuba sudah akrab dengan kisah Yesus, yang digambarkan dalam Al-Quran sebagai seorang nabi dan bukan sebagai penjelmaan Tuhan dalam bentuk manusia.
Ayuba, seperti kebanyakan Muslim lainnya, setuju dengan para sponsor Kristennya bahwa Yesus dilahirkan dari Perawan Maria, memiliki mukjizat, dan akan datang kembali pada akhir zaman. Tetapi dia menolak doktrin Kristen tentang Tritunggal, kepercayaan bahwa Allah, meskipun pada intinya satu, tapi juga merupakan tiga “pribadi”, yaitu Allah Bapa, Allah Anak (Yesus), dan Allah Roh Kudus.
Lalu setelah Ayuba membaca Injil dengan teliti dan sangat berhati-hati, Ayuba memberi tahu teman-teman Kristennya, secara akurat, bahwa dia tidak menemukan penyebutan “Tritunggal” dalam kitab suci itu. Ayuba dengan cepat, menggunakan teks suci Kristen itu sendiri untuk mendukung pandangan teologis Islamnya tentang monoteisme, kepercayaan pada satu Tuhan.
Dan memang, menurut Edward E. Curtis IV, seorang sejarawan yang menulis kisah tentang Ayuba, meskipun Injil Matius memerintahkan pengikut Yesus untuk membaptis seluruh dunia dalam nama “ayah, anak, dan roh kudus,” kata “tritunggal” itu sendiri tidak pernah diucapkan dalam Perjanjian Baru.
Ayuba juga lalu memperingatkan mereka untuk menghindari penggambaran citra manusia dengan Tuhan, bahkan terhadap Yesus itu sendiri, yang mana dalam perspektifnya adalah seorang nabi (Isa). Ayuba sangat kritis — paling tidak menurut Bluett yang merupakan seorang pendeta Anglikan — terhadap tradisi “penyembahan berhala” Katolik Roma, yang mana sebelumnya telah dia amati di suatu kota di Afrika Barat.
Namun demikian, dengan segala hal yang dia dapat di Inggris, sebagaimana telah diduga Ayuba sebelumnya, kedatangannya ke Inggris bukanlah sesuatu yang gratis. Dunia perbudakan sejatinya adalah sebuah bisnis. Orang-orang yang telah membebaskannya kelak akan meminta imbalan balik kepada Ayuba.
Pulang ke Afrika
Setelah sekian lama tinggal di Inggris, pada tahun 1734 Ayuba Suleiman Diallo akhirnya berlayar pulang ke negaranya dengan bantuan dari Royal African Company, sebuah perusahaan asal Inggris yang memiliki bisnis utama perdagangan emas, perak, dan budak dari Afrika Barat.
Seperti yang telah diduga oleh Ayuba sebelumnya, bahwa kebebasan yang dia peroleh – yang dibantu oleh orang-orang Royal African Company – bukanlah sesuatunya yang gratis. Sebelum kepulangannya, di London, para kolonialis Royal African Company meminta Ayuba bekerja untuk mereka.
Mereka berharap koneksi Ayuba di Afrika Barat dapat membantu mereka dalam membangun hubungan yang lebih kuat untuk perdagangan di wilayah Senegambia, khususnya perdagangan gading, getah pohon karet, dan emas. Ayuba memenuhi permintaan mereka.
Ayuba pulang ke tanah kelahirannya dengan membawa surat-surat dari Royal African Company yang merekomendasikan kepada para petugas mereka di Gambia untuk mendampingi Ayuba “dengan rasa hormat terbesar dan segala keramahan yang mungkin kalian bisa.”
Ayuba menapakkan kakinya dengan selamat di Afrika pada 8 Agustus 1734 di Fort James, Gambia. “Atas izin Allah,” tulis Ayuba. Dari sana dia memulai perjalanannya kembali ke kota asalnya di Bundu, Senegal. Dia ditemani oleh Francis Moore, seorang Inggris, petugas Royal African Company.
Dalam suatu ketidaksengajaan yang luar biasa, pada malam pertama perjalanan mereka, Ayuba bertemu dengan orang-orang yang telah menculiknya tiga tahun sebelumnya. Francis Moore memberikan kesaksiannya ketika peristiwa ini terjadi.
“Job (panggilan Ayuba ketika di Amerika dan Inggris), seseorang yang sangat tenang pada waktu-waktu lain, tidak bisa menahan diri ketika melihat mereka, tetapi jatuh ke dalam hasrat yang paling mengerikan, dan hendak membunuh mereka dengan pedang lebar dan pistolnya, yang mana selalu dia bawa untuk menjaga dirinya,” tulis Moore.
Namun Ayuba urung melakukannya, dia malah berbicara kepada bekas para penculiknya itu. Dia bertanya tentang raja mereka dan dari sana dia mengetahui bahwa “di antara barang-barang dari hasil penjualan Job kepada Kapten Pyke terdapat sebuah pistol, yang biasa dikenakan oleh sang Raja dengan cara digantung di lehernya memakai seutas tali…., suatu hari (pistol) ini tidak sengaja meletus, dan pelurunya bersarang di tenggorokannya, dia tewas seketika.”
Ayuba kemudian berlutut dan “mengembalikan rasa syukurnya kepada Nabi Muhammad karena telah membuat orang ini mati oleh barang-barang dari hasil penjualannya ke dalam perbudakan.”
Ada banyak yang harus disyukuri, karena Ayuba hanyalah orang kedua, seperti yang dikatakan oleh seorang Pulo (Fulani) kepada Moore, yang pernah diketahui kembali ke negara ini, setelah dibawa menjadi budak oleh orang kulit putih.
Perang yang Mengerikan
Sewaktu masih di Inggris, Ayuba mengirim surat kepada ayahnya, memberitahunya bahwa dia masih hidup dan kini telah merdeka dari perbudakan, dan dalam waktu dekat dia akan segera pulang. Surat ini sampai kepada ayahnya dan keluarganya tahu bahwa Ayuba akan pulang dalam waktu yang telah ditentukan.
Kini, setelah tiba di tanah Afrika, karena ada beberapa urusan terkait pekerjaannya di Royal African Company, Ayuba dan Moore harus mengurus beberapa hal terlebih dahulu di sekitar Sungai Gambia, sebelum dia sampai di rumahnya, dia mengirim kurir untuk menyampaikan pesan bahwa dia sudah tiba di Afrika.
Ketika kurir itu kembali, Ayuba menerima berita menyedihkan dari keluarganya, mengatakan bahwa ayahnya telah meninggal saat dia masih di Inggris, dan Bundu telah hancur lebur karena perang mengerikan yang bahkan tidak menyisakan “seekor sapi pun.”
Mendengar berita ini, Ayuba menangis sedih. Tetapi paling tidak, dia juga menerima berita baik, bahwa keempat anaknya baik-baik saja.
Meskipun dikelilingi oleh bahaya peperangan dan perampokan, pada tahun 1735, Ayuba ditemani oleh teman Inggrisnya akhirnya tiba di kota kelahirannya. Ketika Ayuba tiba di sana, dalam sebuah selebrasi, dia menembakkan senjatanya ke udara dan memacu kudanya berputar-putar dengan kencang.
Ayuba mendapatkan semua anak-anaknya sehat, dan dia berpuasa dari fajar hingga senja selama sebulan penuh, mungkin untuk memenuhi sumpah yang telah dia buat jika suatu waktu dia dapat bebas kembali ketika pertama kali ditangkap pada tahun 1730 atau 1731.
(mhy)