Syaikh Al-Qardhawi Kupas Pernyataan Rasyid Ridha tentang Hal-Hal Berikut Ini

Senin, 19 Desember 2022 - 18:03 WIB
loading...
A A A
Lebih Dekat
Dalam permulaan surat ar-Rum dan sababun-nuzul-nya diindikasikan bahwa Al-Qur'an menganggap kaum Nashara - meskipun mereka juga kafir menurut pandangannya (Al-Qur'an)- lebih dekat kepada kaum muslim daripada kaum Majusi penyembah api. Karena itu, kaum muslim merasa sedih ketika melihat kemenangan bangsa Persia yang majusi terhadap bangsa Rum Byzantium yang Nashara.

Adapun kaum musyrik bersikap sebaliknya, karena mereka melihat kaum majusi lebih dekat kepada aqidah mereka yang menyembah berhala.



Ketika itu turunlah Al-Qur'an yang memberikan kabar gembira kepada kaum muslim bahwa kondisi ini akan berubah, dan kemenangan akan diraih bangsa Rum dalam beberapa tahun mendatang:

"... Dan pada hari (kemenangan bangsa Rumawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman, karena pertolongan Allah ..." ( QS ar-Rum : 4-5)

Secara lebih lengkap Al-Qur'an mengatakan:

"Alif laam miim. Telah dikalahkan bangsa Rumawi di negeri yang terdekat Dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang, dalam beberapa tahun lagi. Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). Dan pada hari (kemenangan bangsa Rumawi) itu bergembiralah orang-orang yang benman, karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yangdikehe ndaki-Nya. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang." ( QS ar-Rum : 1-5)

Nabi SAW pernah meminta bantuan kepada sebagian kaum musyrik Quraisy setelah Fathu Makkah, dalam menghadapi musyrikin Hawazin, meskipun derajat kemusyrikan mereka sama.

Hal itu beliau lakukan karena menurut pandangan beliau bahwa kaum musyrik Quraisy mempunyai hubungan nasab yang khusus dengan beliau. Di samping itu, suku Quraisy termasuk suku yang mendapat tempat terhormat di kalangan masyarakat, sehingga Shafwan bin Umayyah sebelum masuk Islam pernah mengatakan, "Sungguh saya lebih baik dihormati oleh seorang Quraisy daripada dihormati oleh seorang Hawazin."

Bagi Ahlus-Sunnah - meski bagaimanapun mereka membid'ahkan golongan Muktazilah - tidak ada alasan untuk tidak memanfaatkan ilmu dan produk pemikiran golongan Muktazilah dalam beberapa hal yang mereka sepakati, sebagaimana tidak terhalangnya mereka untuk menolak pendapat Muktazilah yang mereka pandang bertentangan dengan kebenaran dan menyimpang dari Sunnah.

Contoh yang paling jelas ialah kitab Tafsir al-Kasysyaf karya al-Allamah az-Zamakhsyari, seorang Muktazilah yang terkenal. Dapat dikatakan hampir tidak ada seorang alim pun (dari kalangan Ahlus Sunnah) - yang menaruh perhatian terhadap Al-Qur'an dan tafsirnya - yang tidak menggunakan rujukan Tafsir al-Kasysyaf ini, sebagaimana tampak dalam tafsir ar-Razi, an-Nasafi, an-Nisaburi, al-Baidhawi, Abi Su'ud, al-Alusi, dan lainnya.



Begitu pentingnya Tafsir al-Kasysyaf ini (bagi Ahlus-Sunnah) sehingga kita dapati orang-orang seperti al-Hafizh Ibnu Hajar mentakhrij hadits-haditsnya dalam kitab beliau yang berjudul Al-Kaafil asy-Syaaf fi Takhriji Ahaadiits al-Kasysyaaf.

Kita jumpai pula al-Allamah Ibnul Munir yang menyusun kitab untuk mengomentari al-Kasysyaf ini, khususnya mengenai masalah-masalah yang diperselisihkan dengan judul al-Intishaaf min al-Kasysyaaf.

Imam Abu Hamid al-Ghazali, ketika menyerang ahli-ahli filsafat yang perkataan-perkataannya menjadi fitnah bagi banyak orang, pernah meminta bantuan kepada semua firqah Islam yang tidak sampai derajat kafir. Karena itu, beliau tidak menganggap sebagai halangan untuk menggunakan produk dan pola pikir Muktazilah dan lainnya yang sekiranya dapat digunakan untuk menggugurkan pendapat/perkataan ahli-ahli filsafat tersebut. Dan mengenai hal ini beliau berkata dalam mukadimah Tahafut al-Falasifah sebagai berikut:

"Hendaklah diketabui bahwa yang dimaksud ialah memberi peringatan kepada orang yang menganggap baik terhadap ahli-ahli filsafat dan mengira bahwa jalan hidup mereka itu bersih dari pertentangan, dengan menjelaskan bentuk-bentuk kesemerawutan (kerancuan) mereka. Karena itu, saya tidak mencampuri mereka untuk menuntut dan mengingkari, bukan menyerukan dan menetapkan perkataan mereka. Maka saya jelekkan keyakinan mereka dan saya tempatkan mereka dengan posisi yang berbeda-beda."

"Sekali waktu saya nyatakan mereka bermazhab Muktazilah, pada kali lain bermazhab Karamiyah, dan pada kali lain lagi bermazhab Waqifiyah. Saya tidak menetapkannya pada mazhab yang khusus, bahkan saya anggap semua firqah bersekutu untuk menentangnya, karena semua firqah itu kadang-kadang bertentangan dengan paham kita dalam masalah-masalah tafshil (perincian, cabang), sedangkan mereka menentang ushuluddin (pokok-pokok agama). Karena itu, hendaklah kita menentang mereka. Dan ketika menghadapi masalah-masalah berat, hilanglah kedengkian diantara sesama (dalam masalah-masalah kecil/cabang)."



Kembali ke Quran dan Hadis
Saudara penanya berkata, "Bagaimana kita bersikap toleran kepada orang yang menentang kita, yang nyata-nyata menyelisihi nash Al-Qur'an atau hadits Nabawi, sedangkan Allah berfirman:

"Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (QS As-Sunnah)." (QS an-Nisa': 59)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.4083 seconds (0.1#10.140)