Syaikh Al-Qardhawi Kupas Pernyataan Rasyid Ridha tentang Hal-Hal Berikut Ini

Senin, 19 Desember 2022 - 18:03 WIB
loading...
A A A
Dalam sunnah Rasul SAW sendiri terdapat sesuatu yang mendukung diterimanya perbedaan pendapat semacam ini dalam suatu peristiwa yang terkenal, yaitu peristiwa shalat asar di Bani Quraizhah, setelah usai perang Ahzab.

Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Umar r.a., ia berkata: Rasulullah SAW bersabda pada hari perang Ahzab: "Jangan sekali-kali seseorang melakukan sholat asar kecuali di (perkampungan) Bani Quraizhah."

Sebagian mereka mendapatkan waktu ashar ditengah perjalanan. Lalu mereka berkata, "Kami tidak akan sholat asar kecuali setelah kami datang di Bani Quraizhah." Dan sebagian lagi berkata, "Kami akan melakukan sholat asar, karena bukan itu yang dimaksudkan Rasulullah SAW terhadap kita." Kemudian peristiwa itu dilaporkan kepada Rasulullah SAW, maka beliau tidak mencela salah satunya."

Al-Allamah Ibnul Qayyim berkata di dalam kitabnya Zadul Ma'ad sebagai berikut:

"Para fuqaha berbeda pendapat: manakah yang benar. Satu golongan mengatakan, 'Orang yang mengakhirkan (menunda) sholatnya itulah yang benar. Seandainya kami bersama mereka, niscaya kami juga mengakhirkannya sebagaimana yang mereka lakukan, dan tidaklah kami melakukan sholat kecuali di kampung Bani Quraizhah demi melaksanakan perintahnya (Rasul), dan meninggalkan takwil yang bertentangan dengan zhahir.'

Golongan lain berkata, 'Bahkan orang-orang yang melakukan sholat di tengah perjalanan pada waktunya itulah yang mendapatkan keunggulan. Mereka berbahagia mendapatkan tiga keutamaan sekaligus, yakni bersegera melaksanakan perintah Rasul untuk keluar, bersegera mendapatkan keridhaan Allah dengan melakukan shalat pada waktunya, dan bersegera menjumpai kaum yang dituju.'

Dengan demikian, mereka memperoleh keutamaan jihad, keutamaan sholat pada waktunya, mengerti apa yang dikehendaki, dan mereka lebih pandai daripada yang lain.

Apalagi sholatnya itu adalah shalat asar yang merupakan shalat wustha berdasarkan nash Rasulullah saw. yang sahih dan sharih (jelas). Nash seperti itu tidak dapat ditolak dan disangkal lagi.

Ia merupakan sunnah yang datang menyuruh manusia untuk memeliharanya, bersegera kepadanya, dan melaksanakan pada awal waktunya.

Barangsiapa meninggalkannya, ia akan rugi seperti ia kehilangan anak istrinya (keluarganya) dan hartanya.

Jadi, hal ini merupakan perintah yang tidak diterapkan pada amalan lain.



Adapun orang-orang yang mengakhirkannya, mungkin saja dimaafkan atau diberi satu pahala karena berpegang teguh pada zhahir nash dan bermaksud mejalankan perintah. Namun, tidak bisa dikatakan mereka benar dan orang yang bersegera melakukan shalat serta jihad itu salah.

Mereka yang melaksanakan shalat di tengah jalan, berarti telah menghimpun antara beberapa dalil dan mendapatkan dua keutamaan. Kalau mereka mendapatkan dua pahala, maka yang lain pun mendapatkan pahala. Mudah-mudahan Allah meridhai mereka."

Maksud dari semua penjelasan itu ialah: bahwa orang yang menentang kita dalam masalah yang ada nashnya (yang qath'i tsubut dan dilalah-nya), maka ia tidak boleh kita tolerir sama sekali. Sebab, masalah-masalah qath'iyyah (yang didasarkan pada dalil-dalil qath' tsubut dan dilalah-nya) bukanlah lapangan ijtihad, karena sesungguhnya lapangan ijtihad hanyalah dalam masalah-masalah zhanniyyah (yang didasarkan pada dalil zhanni).

Membuka pintu ijtihad untuk masalah-masalah qath'iyyah berarti membuka pintu kejahatan dan fitnah atas umat. Hal itu tidak ada yang mengetahui akibatnya kecuali Allah, karena qath'iyyat itulah yang menjadi tempat kembali ketika terjadi pertentangan dan perselisihan. Apabila masalah qath'iyyah ini menjadi ajang pertentangan dan perselisihan, maka sudah tidak ada lagi ditangan kita ini sesuatu yang kita jadikan tempat berhukum dan kita jadikan sandaran.

Telah saya peringatkan dalam beberapa kitab saya bahwa diantara fitnah dan pemikiran yang sangat membahayakan kehidupan agama dan peradaban kita ialah memutarbalikkan masalah-masalah qath'iyyah sebagai zhanniyyah dan perkara-perkara (dalil-dalil) yang muhkam sebagai mutasyabihah

Bahkan adakalanya menentang sebagian masalah qath'iyyah itu termasuk kafir yang terang-terangan, yaitu bila sampai mengenai apa yang dinamakan oleh ulama-ulama kita dengan istilah "al-ma'lum minad-din bidh-dharurah" (yang sudah diketahui dari agama dengan pasti). Maksudnya, apa yang telah disepakati hukumnya oleh umat Islam, dan sama-sama diketahui oleh orang pandai dan orang awam, seperti fardunya zakat dan puasa, haramnya riba dan minum khamar, dan lain-lain yang merupakan ketentuan Dinul Islam yang pasti.



Adapun terhadap orang yang berbeda pendapat dengan kita mengenai nash yang zhanni - karena satu atau beberapa sebab - kita perlu bersikap toleran meskipun kita tidak sependapat dengan mereka Mengenai sebab-sebab itu telah saya sebutkan atau bisa juga melihat uraian Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Raf'ul-Malam 'an Aimmatil-A'lam. Dalam kitab ini beliau menyebutkan sepuluh sebab atau alasan, namun beliau tidak menggunakan nash atau hadits tertentu. Ini menunjukkan keluhuran ilmu dan kesadaran beliau ra.
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3884 seconds (0.1#10.140)