Kisah Muslimah Amerika Ketika Suami dan Dirinya Mengidap AIDS

Rabu, 21 Desember 2022 - 05:15 WIB
loading...
Kisah Muslimah Amerika Ketika Suami dan Dirinya Mengidap AIDS
Muslimah peduli AIDS di Amerika Serikat yang terhimpun dalam organisasi RAHMA. Foto/Ilustrasi: Khadijah Abdullah
A A A
Tarajee Abdur-Rahim lahir pada 16 November 1952, di Boston, Suffolk, Massachusetts, Amerika Serikat sebagai putri dari Oliver Ladd Jr dan Vivian Green. Dia menikah dengan Abu Abdul Malik Abdur-Rahim pada tahun 1978, di Brooklyn, New York City, New York, Amerika Serikat. Dia meninggal pada tanggal 29 Juni 2000, di kampung halamannya, pada usia 47 tahun, dan dimakamkan di Canton, Norfolk, Massachusetts, Amerika Serikat.

Steven Barbosa dalam bukunya berjudul "American Jihad, Islam After Malcolm X" menyebut pada usia 42 tahun, dia menerbitkan jihad iklan Tauheed, sebuah laporan berkala yang terbit dua bulan sekali tentang AIDS . Jurnalis memuat ulasan percobaan klinis, artikel-artikel tentang gejala atau ciri-ciri umum di antara para PWA (People With AIDS --orang-orang yang mengidap penyakit AIDS), daftar pelayanan sosial, tanya jawab, iklan dan tajuk rencana, beserta ayat-ayat Al-Quran.

Dia juga menawarkan kepada para PWA sebuah kelompok diskusi, bantuan dari luar, layanan pembersihan apartemen, binatu, belanja, suruhan, pengawalan, kunjungan pribadi. Dia adalah seorang yang bersemangat luar biasa besar dan sebuah benteng kekuatan bagi kelima putrinya. Tetapi dia berjuang keras untuk merasakan perlindungan dan penghormatan oleh masyarakat Muslim.



Berikut penuturan selengkapnya Tarajee Abdur-Rahim tentang dirinya dalam buku yang diterjemahkan Sudirman Teba dan Fettiyah Basri menjadi "Jihad Gaya Amerika, Islam Setelah Malcolm X" (Mizan, 1995).

Saya mengikrarkan syahadat 16 tahun yang lalu. Suami saya telah memeluk Islam dua tahun sebelum saya mengucapkan syahadat saya. Saya pikir Islam begitu hebat.

Dulu saya memakai thobe dan kirfi (topi) kepunyaan suami saya. Pakaian itu tampak bagus saya pakai. Tetapi saya tidak tertarik. Saya menyebut diri saya, nyaris dengan kebanggaan, sebagai seorang ateis.

Suatu hari saya mengambil Al-Quran dan membacanya. Kitab itu sungguh melambungkan jiwa saya. Saya tahu inilah kebenaran. Sangat masuk akal. Tapi, saya tidak dapat segera mengucapkan kalimat syahadat. Sebab hal itu berarti saya harus membakar semua rok mini dan celana pendek saya. Tetapi saya tidak keberatan. Itu sama sekali tidak memberatkan saya. Karena sejak saat itu saya tidak ingin menjadi yang lain lagi.

Putri saya yang paling besar saat itu baru berumur 6 tahun dan yang nomor dua sekitar 2 tahun. Sekarang mereka berusia 23 dan 18 tahun. Dahulu mereka bernama Nadine dan Hillary. Sekarang Latifa dan Malika. Sesudah itu saya memiliki tiga anak lagi, semuanya perempuan.

Ketika saya menikah, anak tertua saya telah berumur empat atau lima tahun. Kami memutuskan untuk menikah secara resmi. Kami meninggalkan Harlem menuju ke Brooklyn. Malik adalah teman saya, kekasih saya, sahabat saya.

Malik mempunyai masalah keterlibatan dengan obat-obatan. Dahulu saya sering menyindirnya. Saya katakan kepadanya bahwa dia bukan seorang pemadat yang baik. Dia telah berusaha keras dan tetap tidak berhasil. Dia mungkin bisa meninggalkan kecanduan itu selama lima atau enam tahun, kemudian minum-minum lagi selama satu tahun.

Dia cukup mampu membiayai kebiasaan itu. Dia tidak pernah mengambil apa pun dari rumah. Melihat perubahan wajah dan sikap yang dialaminya ketika dia sedang dalam pengaruh obat-obatan, merupakan saat yang paling menyakitkan.



Saya tidak pernah melihat dia menggunakannya. Dia tidak pernah melakukannya di hadapan saya atau anak-anak, tetapi saya selalu mengetahui kalau dia memakai obat-obat itu lagi.

Tak ada alasan untuk meninggalkan orang ini. Dia terlibat dalam masalah yang dia sendiri tidak tahu bagaimana cara mengatasinya. Dan itulah persoalan utamanya.

Ketika orang-orang mulai membicarakan tentang AIDS, saya mendengarkan dan saya memikirkannya sendiri. Saya tidak perlu mengkhawatirkannya: saya seorang Muslim. Saya sholat lima kali sehari. Malik juga seorang Muslim. Saya berkata pada diri sendiri, dia yang menggunakan obat-obatan, bukan saya.

Tetapi ketika saya terus mendengarkan tentang AIDS, saya mengatakan, mari kita pergi dan periksa. Pada awalnya, dia tidak mau pergi. Tetapi saya, perlu mengetahui, sebab saya dengar bahwa tempat-tempat yang berhubungan langsung dengannya merupakan kategori risiko tinggi. Akhirnya dia setuju dan kami pergi. Hasil diagnosa mengatakan bahwa sejak sebelas tahun yang lalu kami mengidap HIV-positif.

Saya benar-benar terhenyak. Saya tidak dapat mempercayai bahwa saya terjangkiti virus tersebut. Tetapi saya tidak meratapinya terlalu lama. Islam mengajarkan kepada Anda bagaimana menghadapi berbagai persoalan yang terjadi dalam hidup Anda. Dan cara untuk menghadapinya sangat sederhana: beriman dan tawakal kepada Allah. Saya memikirkan hal itu dan saya berkata pada diri sendiri, mungkin sekarang dia akan meninggalkan obat-obat itu.

Tak ada dukungan komunitas Muslim yang dapat diharapkannya. Tak ada sistem yang mendukung kaum heteroseksual. AIDS adalah penyakit para gay. Itu adalah penyakit orang Haiti, itu adalah penyakit kaum homoseks kulit putih.

Begitu pendapat orang banyak dan sekarang kita ketahui bahwa pendapat semacam itu salah. Tetapi saat itu, itulah yang dipercaya semua orang. Kami bukan orang kulit putih, kami bukan gay, kami bukan orang Haiti. Dan saya tahu ini tidak disadari masyarakat.
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2726 seconds (0.1#10.140)