Kisah Muslimah Amerika Ketika Suami dan Dirinya Mengidap AIDS

Rabu, 21 Desember 2022 - 05:15 WIB
loading...
A A A
Saya sangat marah pada Malik sebab saya ingin dia melindungi saya, bukan dari virus itu, tetapi dari unsur-unsur di sekeliling virus tersebut. Saya ingin duduk di samping Malik dan mendapat rasa aman.

Saya tidak ingin mencemaskan apa yang dipikirkan orang Muslim yang lain. Saya ingin Malik membuat hidup ini aman bagi saya. Saya sangat marah pada Malik atas semua ini, tetapi saya tidak pernah marah mengenai penyakit itu.



Saya harus memberanikan diri untuk keluar. Saya ingin tahu apa yang dilakukan orang terhadap AIDS, saya ingin mengambil manfaatnya bagi saya. Saya tahu banyak orang yang mengidap penyakit tersebut selain saya. Lagi pula, saya tahu banyak orang Muslim selain saya yang terjangkiti penyakit ini. Saya tahu saya bukan satu-satunya yang terkena virus tersebut.

Malik tidak ingin menghadiri kelompok pendukung. Dia tidak ingin mengetahui apa-pun. Dia hanya marah: Mengapa Allah menimpakan hal ini kepadanya?

Mengapa Allah meletakkannya pada posisi di mana terdapat kemungkinan besar bahwa dia akan mati karena sesuatu yang tidak ada obatnya, dan meninggalkan istri dan anak-anaknya?

Saya bukan seorang laki-laki, dan saya tidak memahami bagaimana seorang lelaki berpikir, tetapi saya kira saya memakluminya.

Kami selalu bertengkar sejak saat itu. Saya mencela kemarahannya. Dia mencaci cara saya menghadapi keadaan tersebut. Saya pikir mungkin sebagai laki-laki dia merasa gelisah karena istrinya lebih kuat dari dirinya.

Saya tidak pernah mencoba menegangkan otot, dalam arti mengajaknya berkelahi. Saya pun ingin melindunginya. Tetapi kadang-kadang saya sendiri pun merasa ingin menangis. Saya ingin menangis tetapi saya tidak dapat melakukannya. Saya terlalu sibuk menabahkan diri untuk menghadapi kenyataan itu.

Entah bagaimana sebagai seorang perempuan, saya mendapati diri saya setahap demi setahap meninggalkan sifat feminin saya dan memandang segala sesuatu dari sudut pandang maskulin. Karena saya merasa tak seorang pun melindungi saya, maka saya harus melindungi diri saya sendiri.

Lalu saya mengenakan baju baja saya, membawa perisai di satu tangan saya dan tombak di tangan yang lain. Saya mulai mendatangi kelompok pendukung yang satu ke kelompok yang lain, hanya untuk melihat.

Saya mengetahui semuanya dari 'penghuni planet Mars yang kecil dan hijau'. Tetapi saya gembira.

Gay Men's Health Crisis Center (Pusat Penanganan Krisis Kesehatan Kaum Gay) di (Greenwich) Village memperlakukan saya seperti seorang ratu.



Sebelum saya ke sana, saya tahu bahwa tempat itu hanya untuk kaum gay semata. Tetapi itu tidak membuat saya berbalik. Merekalah yang terperanjat dengan kehadiran saya. Lupakan kenyataan bahwa saya seorang wanita. Tetapi saya seorang wanita kulit hitam, dan saya seorang wanita Muslim. Saya membiasakan diri dengan kenyataan tersebut.

Ketika saya mengunjungi GMHC dan beberapa organisasi AIDS lain yang semuanya dikelola oleh para pria homoseks, tindakan pertama mereka semuanya sama: Mereka hanya duduk dan memandangi saya. Di wajah mereka saya dapat membaca pikiran mereka [dengan suara yang dibuat-buat, difemininkan]: "Oh, dia nyata-nyata berada di tempat yang salah."

Dan di wajah-wajah yang lain saya dapat melihat: Saya heran apa yang dia lakukan di sini. Dan ada pula wajah-wajah yang menyiratkan: "Oooo, saya menyukai pakaiannya."

Itu semua sangat menghibur saya. Mereka memperlakukan saya dengan begitu baik. Tentu saja saya tidak membuang waktu menunggu mereka bertanya mengapa saya berada di sana. Saya segera menjelaskan duduk persoalannya. Saya segera memperkenalkan diri: "Nama saya Tarajee. Saya juga mengidap HIV positif. Saya tahu saya berada di tempat yang tepat."

Mereka senang bersama saya, saya pun demikian. Mereka ingin mengetahui mengapa saya menutup rambut saya dan seberapa panjang rambut saya. Mereka menanyakan kepada saya beberapa pertanyaan kewanitaan. Itulah yang sangat menghibur saya. Saya dapat berbagi rasa. Saya merasa nyaman bersama mereka. Saya merasa bersama "para wanita". Saya tidak merasa terkucil.

Mereka membuka lebar pintu mereka. Saya dapat datang dan pergi-sesuka hati. Sebagian besar dari mereka merasa saya orang yang mengagumkan. Kami tidak banyak berbicara masalah HIV, tetapi kami lebih banyak membicarakan masalah-masalah kemanusiaan.
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.4132 seconds (0.1#10.140)