Kisah Muslimah Amerika Ketika Suami dan Dirinya Mengidap AIDS

Rabu, 21 Desember 2022 - 05:15 WIB
loading...
A A A
Saya tahu cara menghadapi orang-orang dengan pola pikir seperti itu.

Saya mengenal sedikitnya 150 orang Muslim yang mengidap AIDS, laki-laki dan perempuan. Yang paling banyak laki-laki. Tak mudah mengajak mereka untuk bergabung. Tapi saya coba mempengaruhi mereka.

Saya berkorespondensi dengan rekan-rekan pria di mana-mana. Mereka ketakutan. Mereka bahkan tidak ingin bertemu satu lama lain, sebab mereka tidak ingin yang lain tahu bahwa mereka mengidap virus itu --walaupun orang lain itu juga terkena virus tersebut.

Saya mempunyai daftar --yang saya sebut daftar sahabat pena yang terdiri dari orang-orang Muslim yang HIV-positif. Saya mengedarkan daftar itu kepada orang Muslim yang terjangkiti virus tersebut, supaya mereka tidak merasa bahwa mereka tidak mempunyai pilihan lagi. Setiap orang yang tertera dalam daftar itu telah setuju untuk ikut dimasukkan ke dalam daftar tersebut. Jika Anda tidak mau mencantumkan nama Anda dalam daftar, maka Anda pun tidak akan mendapatkan copy daftar tersebut. Saya hanya menuliskan nama, jabatan, dan nomor seri. Untuk membuat mereka terus berkomunikasi.

Saya diperkenalkan dengan seorang imam yang istrinya juga mengidap AIDS. Orang yang mengenalkan saya dengannya juga mengidap AIDS, tetapi imam tersebut tidak mengetahuinya.

Saya ingin imam itu memberitahu istrinya bahwa banyak orang yang seperti dia, yang berbicara dengan bahasa yang sama dengan bahasanya. Yang semuanya juga orang Islam.

Saya tidak tertarik bagaimana atau mengapa dia sampai mendapatkan penyakit itu. Saya hanya prihatin pada kenyataan bahwa keadaan itu adalah cara yang mengerikan untuk mati. Bukan karena AIDS tetapi karena rasa kesepian, amarah, dan kepahitan.



Allah berfirman, jangan berputus asa, jangan berkecil hati. Itu artinya Anda tidak boleh mendahului menyimpulkan sesuatu yang Anda tidak mempunyai kekuatan untuk mengendalikannya. Anda tidak dapat berbuat apa pun mengenainya. Jadi jangan sesali keadaan itu dan carilah hikmahnya.

Imam itu heran bagaimana saya tahu. Dia berkata, "saya ingin tahu siapa yang telah memberitahu Anda."

Saya berkata, "Saya tidak ingin membicarakan hal itu."

Dia tidak peduli, "Anda tidak akan dapat membicarakan masalah ini dengan saya sebelum Anda memberitahukan siapa yang menceritakan pada Anda."

Kemudian saya berkata, "Mengapa Anda mempersoalkan masalah ini? Istri Anda terkena AIDS! Saya juga terkena virus itu. Biarkan saya menjadi temannya, sebab jika Anda tidak terjangkiti virus ini, imam, tidak mungkin Anda dapat memahami apa yang dia alami. Saya tidak peduli apa yang telah Anda baca dari buku."

Saya tidak pernah berhasil membujuknya.

Ketika saya sadari bahwa yang jadi persoalan baginya adalah siapa orang yang memberitahu saya, saya sadar bahwa penyakit AIDS tidak menjadi persoalan. Maka saya mohon diri dan pamit.

Tetapi saya ingin mereka mengerti. Betul, saya mengidap virus itu, tetapi Anda tidak dapat mengusir saya keluar dari masyarakat ini. Lalu saya jalan-jalan berkeliling dan meyakinkan diri bahwa mereka melihat saya. Yah, saya masih di sini. Allah belum memanggil saya kembali kepada-Nya.

Saya pergi ke masjid Al-Farooq di Atlantic Avenue [di Brooklyn]. Beberapa sukarelawan dari organisasi-organisasi AIDS di seluruh Brooklyn, Manhattan, dan Queens diundang. Kami menggantungkan poster-poster di mana-mana.

Kami mengadakan pertemuan di sana. Tak ada seorang Muslim pun yang hadir. Ada sekitar dua puluh lima orang non-Muslim yang datang, saya pikir ini luar biasa. Mereka harus duduk di lantai. Itu hal yang sulit bagi mereka.

Sang imam akhirnya masuk. Dan seorang rekan wanita yang merencanakan program itu berkata, "Imam, apakah Anda mau mengucapkan sepatah kata?"

Dia berkata, "Ya. Orang Islam mempunyai obat ampuh untuk AIDS: jangan bergonta-ganti pasangan, maka AIDS pun tidak akan datang!"
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2923 seconds (0.1#10.140)