Kisah Muslimah Amerika Ketika Suami dan Dirinya Mengidap AIDS

Rabu, 21 Desember 2022 - 05:15 WIB
loading...
A A A
Saya mendapatkan banyak jawaban. Saya juga mendapat balasan dari orang non-Muslim. Saya mengenal mereka semua sampai sekarang. Dan saya sangat akrab dengan mereka, tetapi saya tidak ingin menghabiskan sisa hidup saya bersama salah satu dari mereka.

Saya mendapat teguran dari seorang rekan Muslim pria yang mengetahui bahwa saya begitu peduli tentang AIDS, tetapi tidak tahu saya terkena virus itu. Dia sangat marah. Iklan itu ditunjukkan kepadanya oleh salah seorang Muslim lain yang membacanya. Mereka berkumpul di Al-Farooq untuk suatu rapat kecil membahas iklan itu. Mereka tidak tahu yang menulis iklan tersebut adalah saya.

Dia berkata, "Lihat? Seorang rekan wanita Muslimah mengirimkan iklan dalam koran Sodom dan Gomorah. Dia terjangkit AIDS dan dia mengiklankan mencari seorang suami!"

Saya berkata, "Hei, mengapa kalian membaca kolom pribadi jika kalian pikir itu sebuah kolom yang menjijikkan?"

"Tidak, tidak, tidak. Pesolek ini membawanya kepada kami dan berkata, 'Saya tidak tahu ada orang Muslim yang juga terjangkiti virus ini'."

Lalu saya jawab, "Nah, adakah di antara kalian yang HIV-positif?" itu.

"Tidak, tidak, tak seorang pun di antara kami terjangkiti virus"

Saya berkata, "Kalau ada, suruh dia menghubungi nomor kontak di koran itu."

Dia heran, "Apa maksudmu?"

"Itu iklan saya."

Sejak saat itu saya tidak pernah mendengar apa pun dari dia. Tidak pernah. Saya membuat diri saya menjadi seorang musuh.

Cara kaum Muslim memberi salam, antar sesama pria atau wanita, adalah dengan berpelukan. Sebelum saya terkena AIDS, itu merupakan kebiasaan yang saya lakukan secara otomatis. Setelah saya terjangkiti virus itu, saya menghentikan kebiasaan tersebut.

Saya menghentikannya karena dua alasan. Pertama: Saya tidak tahu sebenarnya setakut apakah orang-orang itu. Mengapa saya membuat diri saya merasa begitu pedih menyaksikan orang-orang itu menarik diri? Saya pernah mengalami peristiwa itu. Tapi saya tetap melakukannya dengan orang-orang yang paham bahwa mereka tidak akan tertulari lewat cara itu. Untuk orang yang tidak mengerti, saya tidak ingin menakuti mereka, dan saya tidak ingin melukai perasaan mereka.

Saya menyaksikan peristiwa itu terjadi pada seorang rekan pria Muslim. Dia meninggal dunia dua tahun yang lalu. Dia tertular AIDS melalui transfusi darah. Dia seorang penderita hemophily, masih muda. Dia tidak pernah keluar untuk melihat dunia.



Saya ingat suatu saat saya sedang berada di rumahnya ketika bibinya bersama dua anaknya datang menjenguknya. Dia duduk di tepi tempat tidur, dan dia berkata pada kedua gadis kecil itu, "Kemarilah beri saya sebuah pelukan." Mereka gemetar ketakutan, dan saat itu saya menyadari apa yang sedang terjadi.

Saya pikir dia akan membiarkannya, tetapi ternyata tidak. Dan dia berkata lagi, "Kemarilah, kemari dan peluklah saya."

Anak yang lebih besar, berusia sekitar delapan tahun, berkata, "Mama bilang saya tidak boleh memelukmu karena engkau terserang AIDS."

Saya benar-benar terguncang. Bukan untuk diri saya sendiri --saya telah mengerti hal-hal semacam itu-- tetapi untuk efek yang akan timbul pada diri orang itu. Ada beberapa orang di ruangan itu. Saya meminta mereka untuk meninggalkan kami.

Dia menangis, hatinya hancur berkeping-keping. Saya berkata, "Sekarang dengarkan. Engkau tahu mereka menyayangimu, tidak semua orang dapat menerima hal ini. Beberapa orang masih merasa takut dan engkau harus memahaminya. Mereka prihatin, ya, tetapi mereka masih takut menyentuhmu. Begitulah kenyataannya. Sekarang, engkau harus membasuh wajahmu, dan jangan menempatkan dirimu dalam posisi seperti itu lagi. Jangan pernah begitu."
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.4029 seconds (0.1#10.140)