Hukum Orang Sakit Mengharap Kematian
loading...
A
A
A
Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya berjudul "Fatwa-Fatwa Kontemporer" mengatakan orang yang sakit diperbolehkan mengeluhkan penderitaannya. Namun, tidaklah baik baginya mengharapkan kematian atau meminta kematian karena penderitaan yang dialaminya.
Ini diingatkan hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Anas bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:
"Jangan sekali-kali seseorang di antara kamu mengharapkan kematian karena penderitaan yang dialaminya. Jika ia harus berbuat begitu, maka hendaklah ia mengucapkan, 'Ya Allah, hidupkanlah aku jika hidup itu lebih baik bagiku; dan matikanlah aku jika kematian itu lebih baik bagiku." (Al-Bukhari dalam Fathul-Bari, hadits nomor 5671, "Bab Tamanni al-Maridh al-Mauta;" dan Muslim dalam "adz-Dzikir wad-Du'a," hadis nomor 2680).
Hadis Abu Hurairah ra yang diriwayatkan oleh Bukhari dan lainnya menjelaskan hikmah larangan ini, maka Nabi SAW bersabda:
"Dan jangan sekali-kali salah seorang di antara kamu mengharapkan kematian, karena kalau ia orang baik maka boleh jadi akan menambah kebaikannya; dan jika ia orang yang jelek maka boleh jadi ia akan bertobat dengan tulus." ( Al-Bukhari dalam Fathul-Bari, nomor 5673).
Menurut al-Qardhawi, makna kata yasta'tibu ialah kembali dari segala sesuatu yang menjadikannya tercela, caranya ialah dengan melakukan tobat nashuha (tobat yang tulus).
Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya dari Abu Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda:
"Jangan sekali-kali salah seorang di antara kamu mengharapkan kematian dan jangan pula berdoa memohon kematian sebelum datang waktunya. Sesungguhnya kematianitu apabila datang kepada salah seorang di antara kamu maka putuslah amalnya, dan sesungguhnya tidak bertambah umur orang mukmin itu melainkan hanya menambah kebaikan baginya." (HR Muslim dalam "adz-Dzikr wad-Du'a wat-Taubah" hadis nomor 2662).
Para ulama mengatakan, sebenarnya dimakruhkannya mengharapkan kematian itu hanyalah apabila berkenaan dengan kemudaratan atau kesempitan hidup duniawi, tetapi tidak dimakruhkan apabila motivasinya karena takut fitnah terhadap agamanya, karena kerusakan zaman, sebagaimana dipahami dari hadits Anas di atas.
Banyak diriwayatkan dari kalangan salaf yang mengharapkan kematian ketika mereka takut fitnah terhadap agamanya." ( Lihat, Syarh as-Sunnah, karya al-Baghawi dan al-Majmu' karya an-Nawawi)
Hal ini diperkuat oleh hadits Mu'adz bin Jabal mengenai doa Nabi SAW:
"Ya Allah, aku mohon kepada-Mu (agar Engkau menolongku untuk) melakukan kebaikan, meninggalkan kemunkaran, dan mencintai orang-orang miskin. Dan apabila Engkau menghendaki suatu fitnah kepada suatu kaum, maka wafatkanlah aku untuk menghadapMu tanpa terkena fitnah."
Hadis tersebut diriwayatkan Tirmidzi dan beliau berkata, "Hasan sahih." Hadis nomor 3235. Diriwayatkan juga dalam Musnad Ahmad dan disahkan oleh Hakim, sebagaimana juga diriwayatkan oleh Tirmidzi dari hadits Ibnu Abbas, nomor 3233, dan Imam Ahmad yang disahkan oleh Syakir, hadits nomor 3484.
Selain itu, juga disebutkan dalam beberapa hadis yang membicarakan tanda-tanda hari kiamat bahwa kelak akan ada seseorang yang melewati kubur saudaranya, lalu ia mengatakan, "Alangkah baiknya kalau aku yang menempati tempatnya (kuburnya)."
Al-Qardhawi menjelaskan tidak disukainya (dimakruhkannya) mengharapkan kematian ini dengan ketentuan apabila hal itu dilakukan sebelum datangnya pendahuluan kematian; namun jika setelah pendahuluan kematian itu datang, maka tidak terlarang dia mengharapkannya karena merasa rela bertemu Allah, dan tidak terlarang pula bagi orang yang meminta kematian karena kerinduannya untuk bertemu dengan Allah Azza wa Jalla.
Oleh karena itu, dalam bab ini pula Imam Bukhari mencatat hadis Aisyah yang mengatakan, "Saya mendengar Nabi SAW, sambil bersandar pada saya, berdoa:
"Ya Allah, ampunilah aku dan kasih sayangilah aku, dan pertemukanlah aku dengan teman yang luhur." (Al-Bukhari, hadits nomor 5674).
Hal ini sebagai isyarat bahwa larangan tersebut khusus untuk keadaan sebelum datangnya pendahuluan kematian.
Ini diingatkan hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Anas bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:
"Jangan sekali-kali seseorang di antara kamu mengharapkan kematian karena penderitaan yang dialaminya. Jika ia harus berbuat begitu, maka hendaklah ia mengucapkan, 'Ya Allah, hidupkanlah aku jika hidup itu lebih baik bagiku; dan matikanlah aku jika kematian itu lebih baik bagiku." (Al-Bukhari dalam Fathul-Bari, hadits nomor 5671, "Bab Tamanni al-Maridh al-Mauta;" dan Muslim dalam "adz-Dzikir wad-Du'a," hadis nomor 2680).
Hadis Abu Hurairah ra yang diriwayatkan oleh Bukhari dan lainnya menjelaskan hikmah larangan ini, maka Nabi SAW bersabda:
"Dan jangan sekali-kali salah seorang di antara kamu mengharapkan kematian, karena kalau ia orang baik maka boleh jadi akan menambah kebaikannya; dan jika ia orang yang jelek maka boleh jadi ia akan bertobat dengan tulus." ( Al-Bukhari dalam Fathul-Bari, nomor 5673).
Menurut al-Qardhawi, makna kata yasta'tibu ialah kembali dari segala sesuatu yang menjadikannya tercela, caranya ialah dengan melakukan tobat nashuha (tobat yang tulus).
Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya dari Abu Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda:
"Jangan sekali-kali salah seorang di antara kamu mengharapkan kematian dan jangan pula berdoa memohon kematian sebelum datang waktunya. Sesungguhnya kematianitu apabila datang kepada salah seorang di antara kamu maka putuslah amalnya, dan sesungguhnya tidak bertambah umur orang mukmin itu melainkan hanya menambah kebaikan baginya." (HR Muslim dalam "adz-Dzikr wad-Du'a wat-Taubah" hadis nomor 2662).
Para ulama mengatakan, sebenarnya dimakruhkannya mengharapkan kematian itu hanyalah apabila berkenaan dengan kemudaratan atau kesempitan hidup duniawi, tetapi tidak dimakruhkan apabila motivasinya karena takut fitnah terhadap agamanya, karena kerusakan zaman, sebagaimana dipahami dari hadits Anas di atas.
Banyak diriwayatkan dari kalangan salaf yang mengharapkan kematian ketika mereka takut fitnah terhadap agamanya." ( Lihat, Syarh as-Sunnah, karya al-Baghawi dan al-Majmu' karya an-Nawawi)
Baca Juga
Hal ini diperkuat oleh hadits Mu'adz bin Jabal mengenai doa Nabi SAW:
"Ya Allah, aku mohon kepada-Mu (agar Engkau menolongku untuk) melakukan kebaikan, meninggalkan kemunkaran, dan mencintai orang-orang miskin. Dan apabila Engkau menghendaki suatu fitnah kepada suatu kaum, maka wafatkanlah aku untuk menghadapMu tanpa terkena fitnah."
Hadis tersebut diriwayatkan Tirmidzi dan beliau berkata, "Hasan sahih." Hadis nomor 3235. Diriwayatkan juga dalam Musnad Ahmad dan disahkan oleh Hakim, sebagaimana juga diriwayatkan oleh Tirmidzi dari hadits Ibnu Abbas, nomor 3233, dan Imam Ahmad yang disahkan oleh Syakir, hadits nomor 3484.
Selain itu, juga disebutkan dalam beberapa hadis yang membicarakan tanda-tanda hari kiamat bahwa kelak akan ada seseorang yang melewati kubur saudaranya, lalu ia mengatakan, "Alangkah baiknya kalau aku yang menempati tempatnya (kuburnya)."
Al-Qardhawi menjelaskan tidak disukainya (dimakruhkannya) mengharapkan kematian ini dengan ketentuan apabila hal itu dilakukan sebelum datangnya pendahuluan kematian; namun jika setelah pendahuluan kematian itu datang, maka tidak terlarang dia mengharapkannya karena merasa rela bertemu Allah, dan tidak terlarang pula bagi orang yang meminta kematian karena kerinduannya untuk bertemu dengan Allah Azza wa Jalla.
Oleh karena itu, dalam bab ini pula Imam Bukhari mencatat hadis Aisyah yang mengatakan, "Saya mendengar Nabi SAW, sambil bersandar pada saya, berdoa:
"Ya Allah, ampunilah aku dan kasih sayangilah aku, dan pertemukanlah aku dengan teman yang luhur." (Al-Bukhari, hadits nomor 5674).
Hal ini sebagai isyarat bahwa larangan tersebut khusus untuk keadaan sebelum datangnya pendahuluan kematian.
(mhy)