Begini Cara Menalkin Orang yang Menghadapi Sakaratul Maut
loading...
A
A
A
Syaikh Yusuf al-Qardhawi mengatakan apabila keadaan orang sudah memasuki pintu maut maka seyogianya keluarganya yang tercinta mengajarinya atau menuntunnya mengucapkan kalimat laa ilaaha illallah . Ini merupakan kalimat tauhid, kalimat ikhlas, dan kalimat takwa, juga merupakan perkataan paling utama yang diucapkan Nabi Muhammad SAW dan nabi-nabi sebelumnya.
Ia menjelasakan kalimat inilah yang digunakan seorang muslim untuk memasuki kehidupan dunia ketika ia dilahirkan dan diazankan di telinganya. Dan kalimat ini pula yang ia pergunakan untuk mengakhiri kehidupan dunia.
"Jadi, dia menghadapi atau memasuki kehidupan dengan kalimat tauhid dan meninggalkan kehidupan pun dengan kalimat tauhid," ujar al-Qardhawi.
Berikut selengkapnya resep yang disampaikan Syaikh Yusuf al-Qardhawi saat si sakit sekarat sebagaimana ditulis dalam bukunya berjudul "Fatwa-Fatwa Kontemporer":
Ulama-ulama kita mengatakan, "Yang lebih disukai untuk mendekati si sakit ialah famili yang paling sayang kepadanya, paling pandai mengatur, dan paling takwa kepada Tuhannya.
Karena, tujuannya adalah mengingatkan si sakit kepada Allah Ta'ala, bertobat dari maksiat, keluar dari kezaliman, dan agar berwasiat. Apabila ia melihat si sakit sudah mendekati ajalnya, hendaklah ia membasahi tenggorokannya dengan meneteskan air atau meminuminya dan membasahi kedua bibirnya dengan kapas, karena yang demikian dapat memadamkan kepedihannya dan memudahkannya mengucapkan kalimat syahadat." ( Lihat, al-Mughni maa asy-Syarhil-Kabir, juz 2, hlm. 304; dan al-Mubdi', karya Ibnu Muflih, juz 2, hlm. 216).
Kemudian dituntunnya mengucapkan kalimat laa ilaaha illallah mengingat hadis yang diriwayatkan Muslim dari Abi Sa'id secara marfu':
"Ajarilah orang yang hampir mati diantara kalian dengan kalimat laa illaaha illallah." (Muslim dalam "al-Jana'iz," hadits nomor 916; Abu Daud, hadits nomor 3117; Nasa'i, juz 4, hlm. 5; dan Ibnu Majah, nomor 1445).
Orang yang hampir mati di dalam hadis ini disebut dengan "mayit" (orang mati) karena ia menghadapi kematian yang tidak dapat dihindari.
Hikmah Menalkin
Jumhur ulama berpendapat bahwa menalkin (mengajari atau menuntun) orang yang hampir mati dengan kalimat laa ilaaha illallah ini hukumnya mandub (sunnah), tetapi ada pula yang berpendapat wajib berdasarkan zhahir perintah. Bahkan sebagian pengikut mazhab Maliki mengatakan telah disepakati wajibnya. (Dikemukakan oleh al-Qari dalam Syarah al-Misykat 2: 329. Imam Syaukani mengutip perkataan Imam Nawawi mengenai sunnahnya menalkin, kemudian beliau berkata, "Perlu diperhatikan, alasan apa yang memalingkan perintah ini dari hukum wajib" Nailul-Authar, juz 4, hlm. 50).
Hikmah menalkin kalimat syahadat ialah agar akhir ucapan ketika seseorang meninggal dunia adalah kalimat tersebut, mengingat hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Hakim serta disahkan olehnya dari Mu'adz secara marfu':
"Barangsiapa yang akhir perkataannya kalimat laa ilaaha illallah, maka ia akan masuk surga." (Abu Daud (3117); dan Hakhim (1: 351), beliau berkata, "Sahih isnadnya." Dan disetujui oleh adz-Dzahabi).
Dicukupkannya dengan ucapan laa ilaaha illallah karena pengakuan akan isi kalimat ini berarti pengakuan terhadap yang lain, karena dia mati berdasarkan tauhid yang diajarkan Nabi Muhammad SAW, di samping itu agar jangan terlalu banyak ucapan yang diajarkan kepadanya.
Sebagian ulama berpendapat agar menalkinkan dua kalimat syahadat, karena kalimat kedua (Muhammad Rasulullah) mengikuti kalimat pertama. Tetapi yang lebih utama ialah mencukupkannya dengan syahadat tauhid, demi melaksanakan zhahir hadis.
Seyogyanya, dalam menalkinkan kalimat tersebut jangan diperbanyak dan jangan diulang-ulang, juga janganlah berkata kepadanya: "Ucapkanlah laa ilaaha illallah," karena dikhawatirkan ia merasa dibentak sehingga merasa jenuh, lalu ia mengatakan, "Saya tidak mau mengucapkannya," atau bahkan mengucapkan perkataan lain yang tidak layak. Hendaklah kalimat ini diucapkan kepadanya sekiranya ia mau mendengarnya dan memperhatikannya, kemudian mau mengucapkannya.
Atau mengucapkan apa yang dikatakan oleh sebagian ulama, yaitu berdzikir kepada Allah dengan mengucapkan: "Subhanallah, walhamdulillah, wa laa ilaaha illallah."
Apabila ia sudah mengucapkan kalimah syahadat satu kali, maka hal itu sudah cukup dan tidak perlu diulang, kecuali jika ia mengucapkan perkataan lain sesudah itu, maka perlu diulang menalkinnya dengan lemah lembut dan dengan cara persuasif (membujuknya agar mau mengucapkannya), karena kelemahlembutan dituntut dalam segala hal terlebih lagi dalam kasus ini.
Ia menjelasakan kalimat inilah yang digunakan seorang muslim untuk memasuki kehidupan dunia ketika ia dilahirkan dan diazankan di telinganya. Dan kalimat ini pula yang ia pergunakan untuk mengakhiri kehidupan dunia.
"Jadi, dia menghadapi atau memasuki kehidupan dengan kalimat tauhid dan meninggalkan kehidupan pun dengan kalimat tauhid," ujar al-Qardhawi.
Berikut selengkapnya resep yang disampaikan Syaikh Yusuf al-Qardhawi saat si sakit sekarat sebagaimana ditulis dalam bukunya berjudul "Fatwa-Fatwa Kontemporer":
Ulama-ulama kita mengatakan, "Yang lebih disukai untuk mendekati si sakit ialah famili yang paling sayang kepadanya, paling pandai mengatur, dan paling takwa kepada Tuhannya.
Karena, tujuannya adalah mengingatkan si sakit kepada Allah Ta'ala, bertobat dari maksiat, keluar dari kezaliman, dan agar berwasiat. Apabila ia melihat si sakit sudah mendekati ajalnya, hendaklah ia membasahi tenggorokannya dengan meneteskan air atau meminuminya dan membasahi kedua bibirnya dengan kapas, karena yang demikian dapat memadamkan kepedihannya dan memudahkannya mengucapkan kalimat syahadat." ( Lihat, al-Mughni maa asy-Syarhil-Kabir, juz 2, hlm. 304; dan al-Mubdi', karya Ibnu Muflih, juz 2, hlm. 216).
Kemudian dituntunnya mengucapkan kalimat laa ilaaha illallah mengingat hadis yang diriwayatkan Muslim dari Abi Sa'id secara marfu':
"Ajarilah orang yang hampir mati diantara kalian dengan kalimat laa illaaha illallah." (Muslim dalam "al-Jana'iz," hadits nomor 916; Abu Daud, hadits nomor 3117; Nasa'i, juz 4, hlm. 5; dan Ibnu Majah, nomor 1445).
Orang yang hampir mati di dalam hadis ini disebut dengan "mayit" (orang mati) karena ia menghadapi kematian yang tidak dapat dihindari.
Hikmah Menalkin
Jumhur ulama berpendapat bahwa menalkin (mengajari atau menuntun) orang yang hampir mati dengan kalimat laa ilaaha illallah ini hukumnya mandub (sunnah), tetapi ada pula yang berpendapat wajib berdasarkan zhahir perintah. Bahkan sebagian pengikut mazhab Maliki mengatakan telah disepakati wajibnya. (Dikemukakan oleh al-Qari dalam Syarah al-Misykat 2: 329. Imam Syaukani mengutip perkataan Imam Nawawi mengenai sunnahnya menalkin, kemudian beliau berkata, "Perlu diperhatikan, alasan apa yang memalingkan perintah ini dari hukum wajib" Nailul-Authar, juz 4, hlm. 50).
Hikmah menalkin kalimat syahadat ialah agar akhir ucapan ketika seseorang meninggal dunia adalah kalimat tersebut, mengingat hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Hakim serta disahkan olehnya dari Mu'adz secara marfu':
"Barangsiapa yang akhir perkataannya kalimat laa ilaaha illallah, maka ia akan masuk surga." (Abu Daud (3117); dan Hakhim (1: 351), beliau berkata, "Sahih isnadnya." Dan disetujui oleh adz-Dzahabi).
Dicukupkannya dengan ucapan laa ilaaha illallah karena pengakuan akan isi kalimat ini berarti pengakuan terhadap yang lain, karena dia mati berdasarkan tauhid yang diajarkan Nabi Muhammad SAW, di samping itu agar jangan terlalu banyak ucapan yang diajarkan kepadanya.
Sebagian ulama berpendapat agar menalkinkan dua kalimat syahadat, karena kalimat kedua (Muhammad Rasulullah) mengikuti kalimat pertama. Tetapi yang lebih utama ialah mencukupkannya dengan syahadat tauhid, demi melaksanakan zhahir hadis.
Seyogyanya, dalam menalkinkan kalimat tersebut jangan diperbanyak dan jangan diulang-ulang, juga janganlah berkata kepadanya: "Ucapkanlah laa ilaaha illallah," karena dikhawatirkan ia merasa dibentak sehingga merasa jenuh, lalu ia mengatakan, "Saya tidak mau mengucapkannya," atau bahkan mengucapkan perkataan lain yang tidak layak. Hendaklah kalimat ini diucapkan kepadanya sekiranya ia mau mendengarnya dan memperhatikannya, kemudian mau mengucapkannya.
Atau mengucapkan apa yang dikatakan oleh sebagian ulama, yaitu berdzikir kepada Allah dengan mengucapkan: "Subhanallah, walhamdulillah, wa laa ilaaha illallah."
Apabila ia sudah mengucapkan kalimah syahadat satu kali, maka hal itu sudah cukup dan tidak perlu diulang, kecuali jika ia mengucapkan perkataan lain sesudah itu, maka perlu diulang menalkinnya dengan lemah lembut dan dengan cara persuasif (membujuknya agar mau mengucapkannya), karena kelemahlembutan dituntut dalam segala hal terlebih lagi dalam kasus ini.