Bagaimana Hukum Ijtihad dalam Islam?

Rabu, 08 Januari 2020 - 14:48 WIB
Bagaimana Hukum Ijtihad...
Bagaimana Hukum Ijtihad dalam Islam?
A A A
Ijtihad berasal dari kata 'ijtahada yajtahidu ijtihaadan' yang artinya mengerahkan kemampuan dalam menanggung beban. Menurut istilah syara, ijtihad adalah mencurahkan segala upaya dalam memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas secara detail (penjelasannya masih umum) dalam Al-Qur'an maupun Hadis Nabi .

Sekarang muncul masalah ijtihad. Ada yang menghendaki pintu ijtihad supaya dibuka, ada yang menghendaki tetap tertutup. Ada juga yang menyarankan agar dilakukan ijtihad dalam masalah-masalah yang pernah disepakati kaum muslimin sebelumnya. Mereka menghendaki perubahan hukum sesuai tuntutan zaman.

Apa pandangan yang tepat dalam masalah ini? Berikut penjelasan ulama besar kelahiran Mesir, Prof Muhammad Mutawalli asy-Sya'rawi (1911-1998) sebagaimana disampaikan Al-Habib Ahmad bin Novel Jindan .

Kata Beliau, tujuan dari petunjuk, bimbingan, dan ajaran Allah ialah memelihara kelestarian alam dan seluruh makhluk isinya agar tidak terjadi benturan-benturan, kerusakan, atau kehancuran. Untuk kepentingan itu, pasti ada perintah dan larangan. Apa yang tidak termasuk perintah dan larangan, tergolong dalam lingkungan dibolehkan atau mubah. Lingkungan dibolehkan atau mubah tidak menimbulkan sesuatu pengaruh yang merugikan. Kalau saja ada pengaruhnya, tentu sudah beralih kepada perintah atau larangan (wajib atau haram). Perintah dan larang­an terbagi dalam dua bentuk,

Pertama, suatu nash hukum yang jelas dan tegas tidak mungkin bisa dikeluarkan dari lingkungan 'perintah dan larangan'. Tidak boleh ada upaya ijtihad untuk mengubahnya. Kalau terjadi perubahan, hukum dunia akan rusak binasa.

Kedua, termasuk juga dalam lingkungan 'perintah dan larangan' tetapi ketetapan hukumnya kurang jelas dan tegas dan memungkinkan bagi akal untuk membahasnya. Dalam hal yang tergolong bentuk kedua ini, ijtihad untuk memahami ketetapan hukum itu dapat diterima dan tidak akan merusak kelestarian alam semesta. Tetapi syarat-syaratnya harus dipenuhi.

Ketetapan hukum dari seorang mujtahid yang memenuhi persyaratan, akan menentukan dan memastikan syariat pengamalannya. la tidak boleh mengatakan bahwa inilah yang hak, yang lain batil. Dia harus mengatakan bahwa ini yang benar, tetapi bisa juga keliru atau salah. Dan yang lain itu mungkin mengandung kebenaran.

Pendapat yang Berbeda Perlu Dihormati
Dikisahkan, setelah selesai Perang Ahzab, kaum muslimin merasa letih dan bersiap akan beristirahat. Allah Ta'ala mewahyukan agar kaum muslimin jangan beristirahat. Rasulullah menyampaikannya dalam ucapan beliau yang terkenal.

"Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir janganlah salat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraidhah."

Pasukan muslimin segera berangkat ke perkampungan Bani Quraidhah. Dalam perjalanan mereka memperkirakan akan habis waktu Ashar sebelum mereka sampai. Sebagian dari mereka salat Ashar. Sebagian lagi berpendapat bahwa sabda Rasulullah berarti suatu keharusan salat Ashar di perkampungan Bani Quraidhah dan tidak boleh salat Ashar di tempat lain.

Timbul dua pendapat sebagian berpegang dari segi waktu, sebagian berpegang dari segi tempat. Mendengar itu, Rasulullah shalallahu 'alahi wa sallam (SAW) membenarkan keduanya.

Dari ketetapan Rasulullah tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa apabila suatu ketetapan hukum mengandung unsur ijtihad, tiap pendapat dari seorang mujtahid yang memenuhi persyaratan dapat dianggap benar.

Contoh lain, ketetapan Al-Qur'an dalam masalah wudhu. Sebagaimanya firman-Nya,
يأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوٓا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَوٰةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِۚ

"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, basuhlah mukamu dan tanganmu sampai deng­an siku dan usaplah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai deng­an kedua mata kaki…" (Al-Maa'idah: 6)

Muka tidak disebut batasnya karena tidak akan ada beda pendapat mengenai batas-batas muka, tangan, ditentukan sampai siku. Kalau tidak disebut dengan jelas, bisa menimbulkan perbedaan penafsiran. Ada yang mengatakan pengertian tangan sampai siku, atau sampai lengan atau tapak tangan. Sebab menurut istilah bahasa, ketiganya disebut tangan juga.

Mengusap kepala disebut 'bi-ruusikum', didahului dengan 'bi' yang berarti sebagian. Kalau yang dikehendaki seluruh kepala atau seperempat kepala, tentu sudah ditegaskan.

Pada dasarnya, hukum itu membuka kesempatan untuk berbeda pendapat dan beda penafsiran, asal tidak keluar dari batas hukum itu sendiri, seperti mengenai bi itu.

Ketetapan hukum yang sudah jelas dan tegas tidak dapat lagi diijtihadkan apalagi dengan alasan kebutuhan zaman yang sudah tidak sesuai sehingga produk hukum itu dianggap tak sesuai lagi atau perlu pembaruan.

Kalau alasan perubahan itu diterima, berarti ketetapan hukum itu yang mengatur adalah zaman. Syariat Allah bertujuan meningkatkan kebutuhan zaman untuk kepentingan manusia. Bukan mengurangi atau menurunkan kualitas hukum demi keperluan, kebutuhan, dan kepentingan masyarakat yang makin merosot alau makin mundur iman, akhlak, dan ibadahnya.

Sekarang ijtihad sudah diracuni orang-orang yang tidak paham agama. Banyak orang yang mengaku Islam (Islam KTP) dengan berani ikut-ikutan memberi pendapat dalam soal-soal agama. Alasannya Islam itu agama yang mudah, fleksibel, tidak merugikan, dan tidak dirugikan orang lain serta alasan lain-lain sesuai dengan kepentingan akal dan perutnya. Malah celakanya lagi, mereka yang mengeluarkan semboyan-semboyan itu.

Dalam masalah ketetapan hukum yang masih samar-samar, untuk memastikan dan meyakinkannya, boleh berijtihad.

Firman Allah: "Padahal kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin me­ngetahui kebenarannya akan dapat mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)." (an-Nisaa': 83)

Ulil Amri adalah tokoh-tokoh sahabat dan para cendekiawan di antara mereka. Kalau hanya pedomannya orang yang pandai berbicara bisa menetapkan hukum, pembicaraannya pasti akan keluar dari lingkup fatwa. Yang bisa berfatwa tentang masalah kedokteran adalah dokter, yang bisa tentang teknik orang teknik, yang bisa berfatwa masalah hukum sudah pasti orang hukum. Begitu pula yang bisa berfatwa tentang urusan agama tentu orang yang punya ilmu agama.

Firman Allah: "Karena itu bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui." (Surah An-Nahl 43).

Sumber:
Anda Bertanya Islam Menjawab, Karya Prof Dr M Mutawalli asy-Sya'rawi
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1425 seconds (0.1#10.140)