Kesalehan Personal dan Sifat Egois di Tengah Wabah Corona

Kamis, 26 Maret 2020 - 10:34 WIB
Kesalehan Personal dan Sifat Egois di Tengah Wabah Corona
Kesalehan Personal dan Sifat Egois di Tengah Wabah Corona
A A A
Ustaz Miftah el-Banjary
Pakar Ilmu Linguistik Arab dan Tafsir Al-Qur'an

Di tengah mewabahnya virus Corona (Covid-19) yang kian masif dan terus menambah korbannya tidak membuat banyak orang menjadi sadar diri dari penyebab dan dampaknya beraktivitas diluar rumah.

Bahkan, ada sebagian orang yang hanya berlandaskan semangat tinggi dalam beragama, namun tidak dibarengi dengan ilmu pengetahuan tentang bagaimana memahami hukum syariat yang benar. Semangatnya menyemangati orang agar beribadah berjamaah ke masjid/musalla atas dasar keyakinan tidak ada yang perlu ditakuti terhadap virus Corona, sebab dia juga makhluk Allah.

Di satu sisi, keyakinan bahwa wabah penyakit itu berasal dari Allah dan Dia pula yang menyembuhkannya itu benar. Itu memang keyakinan yang memang harus tertancap di dalam diri dan hati seorang muslim. Semua atas kehendak Allah 'Azza wa Jalla.

Namun, di sisi lain harus juga dipahami bahwa Islam juga memiliki aturan Nabawiyyah dalam menyikapi wabah penyakit. Sebab peristiwa yang sama pernah terjadi di masa Rasulullah SAW dan para sahabat mentaati segala ketentuannya.

Jadi, apakah mengajak orang beribadah dan kembali menyemarakkan kembali salat berjamaah di masjid/mushala di tengah badai bala musibah itu tidak baik? Mengajak beribadah salat berjamaah di masjid di tengah wabah penyakit itu baik, tapi tidak tepat.

Kita harus memahami bahwa segala sesuatu pasti ada penyebab dan dampaknya. Maka, memahami penyebab dan dampak lebih harus diutamakan untuk dihindari ketimbang cara mengobatinya.

Sebagaimana sudah kita ketahui bersama bahwa salah satu penyebab penyebaran virus yang cepat itu tertular dari kerumunan massa yang banyak berkumpul. Maka menghindari perkumpulan massa yang banyak termasuk aktivitas salat berjamaah dan aktivitas perlu dihindari demi memutus sebaran virus tersebut dalam jangka waktu tertentu.

Sebagaimana yang disebutkan dalam kaidah ushul Fiqh:

درء المفاسد أولى من جلب المصالح

"Menolak dampak kejahatan lebih utama ketimbang mengambil kemanfaatan."

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari No. 855 dan Muslim No. 564), Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ أَكَلَ ثُومًا أَوْ بَصَلًا ، فَلْيَعْتَزِلْنَا، أَوْ فَلْيَعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا، وَلْيَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ.

"Barangsiapa memakan bawang putih atau bawang merah, maka hendaknya dia menjauhi kami atau menjauhi masjid kami. Dan hendaknya dia berdiam saja di dalam rumahnya." (HR. Al-Bukhari-Muslim).

Dari hadis di atas, Islam mengajarkan bagaimana seorang muslim yang menyadari dirinya membawa kemudharatan bau mulut saja, dia harus memiliki sikap toleran terhadap orang lain untuk tidak memaksakan diri berkumpul dengan orang lain.

Terlebih jika yang dibawanya boleh jadi virus penyakit yang sangat membahayakan. Dan tidak ada yang menjamin bahwa diri kita benar-benar aman dan steril untuk tidak menjadi salah satu penyebab penyebaran virus tersebut.

Islam sangat menekankan kesadaran diri untuk menahan diri sementara waktu untuk tidak bergaul dengan komunitas publik sampai dipastikan semua potensi bahaya benar-benar sudah aman terkendali.

Lantas, ada lagi yang berseloroh begini: "Mengapa harus aktivitas di masjid saja yang dibatasi, sedangkan aktivitas bisnis dan pasar tidak, harusnya pasar, mal-mal, pusat perbelanjaan juga harus ditutup kan biar adil". Sekilas pertanyaan semacam ini ada benarnya, tapi justru pertanyaan semacam ini muncul dari ketidakpahaman dan ketidakmengertian tentang hukum syariat di dalam Islam.

Islam itu agama universal yang semua hukum syariatnya telah diatur sedemikian rupa oleh Allah demi kemaslahatan manusia. Segala peraturan dan ketentuan hukum syariat dipertimbangkan dan dilihat dari berbagai aspek.

Kembali pada kaidah hukum ushul Fiqh:

يحتمل الضرار الخاص لدفع الضرار العام

"Memberlakukan darurat khusus demi mencegah darurat yang lebih besar."

Jika kita bandingkan antara mencegah aktivitas ibadah di masjid/mushala dengan mencegah aktivitas di pasar atau pusat perdagangan, mana antara keduanya yang memunculkan persoalan dan mudharat yang lebih besar?

Jika Anda diimbau untuk tidak salat Jumat di masjid dua pekan demi memutus rantai kemudharatan yang lebih besar, apakah Anda masih bisa salat Zuhur di rumah? Jawabnya: Ya, masih bisa!

Apakah ada dampak sosial yang muncul ketika semua orang salat dan beribadah di rumah? Jawabnya: Tidak ada.

Sekarang mari kita bandingkan sekiranya aktivitas di pasar atau pusat perbelanjaan ditutup total? Apakah ada dampaknya? Ya tentu saja, aktivitas ekonomi menjadi terhambat, barang-barang kebutuhan pokok akan langka, harga akan melonjak naik, kehidupan akan semakin sulit, penimbunan barang dan aktivitas monopoli akan terjadi, kesenjangan sosial akan meningkat.

Maka memperhatikan dari dua dampak di atas, kita bisa mempertimbangkan antara mana mafasid/kemudharatan yang timbul akibat dua contoh di atas. Karena itulah, hukum syariat itu sangat luwes, fleksibel, dan proporsional dalam menerapkan hukum Islam.

Ada lagi yang berkomentar, " Toh jika saya mati itu pun sudah takdir Allah! Siapa tahu mati syahid". Ya, soal takdir siapa yang tahu. Soal syahid itu urusan keyakinan. Tapi, sekiranya hidup dan matimu tidak merepotkan orang lain, itu jauh lebih baik."

Jika kamu mati dengan membawa wabah penyakit, tentu hal itu yang akan merepotkan orang lain memandikan, mengurusi jenazahmu dan menguburkanmu. Keluargamu akan menanggung dampaknya. Orang lain di sekitarmu juga akan merasakan efeknya. Tentu, kita tidak ingin hidup dan mati kita pun merepotkan orang lain, bukan?

Maka, cara terbaik hindari apa yang bisa dihindari. Itulah yang diajarkan Rasulullah SAW dalam hadisnya:

إذا سمعتم بأرض أي الطاعون فلا تقدموا عليه وإذا أنتم بها فلا تخرجوا فرارا منه [رواه البخاري]

"Jika kalian mendengar wabah penyakit, maka janganlah kalian mendatanginya dan sekiranya kalian berada di negeri itu, maka janganlah kalian keluar disebabkan takut terhadapnya." (HR. Al-Bukhari)

Jika pada hari ini kita melihat ada banyak orang yang tiba-tiba saja mendadak berubah sangat religius meneriakkan semangat propoganda menghidupkan semangat ibadah sunnah di tengah badai wabah penyakit yang mendera, maka dipastikan dia belum memahami "Maqashid Syariah" dari hukum syariat Islam dalam agama yang dianutnya.

Oleh karena itu, berislam bukan hanya sekadar mempelajari tauhid semata, maka perlu diseimbangkan lagi dengan memahami kefleksibelan hukum Islam dengan pendekatan perspektif Fiqh. Lalu direnungi dengan ilmu Tasawuf agar muncul rasa empati serta kesalehan sosial yang penuh dengan nilai-nilai rahmatan lil 'alamin.

Wallahu A'lam
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.2755 seconds (0.1#10.140)