Benarkah Sayyidina Ali Menolak Kepemimpinan Khalifah Abu Bakar?

Selasa, 14 Juli 2020 - 13:23 WIB
Ilustrasi Khalifah Abu Bakar. Fito/Ilustrasi/Ist
SEPENINGGAL Rasulullah shalallahu alaihi wa salam (SAW), kaum Muslimin berpikir tentang kekhalifahan itu menurut pandangan Arab murni. Kebetulan pula Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam tidak mewasiatkan kekhalifahan itu kepada siapa pun. ( )

Kaum Ansar dengan Muhajirin berselisih mengenai siapa pelanjut Rasulullah. Bahkan ada yang menyebut di dalam tubuh kaum Muhajirin sendiri juga terjadi perpecahan dengan Banu Hasyim.

Muhammad Husain Haikal dalam As-Siddiq Abu Bakr menggambarkan sesudah baiat umum terhadap Abu Bakar, tak ada alasan untuk meragukan, bahwa sebenarnya penduduk Madinah sudah cukup bersungguh-sungguh dalam memikirkan pemilihan Khalifah pertama itu, dan dasarnya memang tak terdapat, baik dalam Qur'an maupun dalam Sunah.

“Maka mereka waktu itu memilih penduduk yang tinggal di Madinah yang di kalangan Muslimin dipandang lebih tepat untuk memegang pimpinan. Andaikata masalah ini sampai melampaui batas ke luar Madinah, sampai kepada suku-suku Arab di luar kota Madinah tentu soalnya akan jadi lain,” tutur Haekal.

Pengukuhan Abu Bakar itu adalah suatu hal tiba-tiba yang menguntungkan — memakai kata-kata Umar bin Khattab . Tradisi yang dipakai dalam memilih Abu Bakar bukan itu pula yang dipakai dalam memilih kedua Khalifah sesudah itu — Umar dan Usman bin Affan .



Sebelum meninggal, Abu Bakar sudah berwasiat agar memilih Umar bin Khattab. Kemudian pengganti berikutnya oleh Umar diserahkan kepada enam orang yang nama-namanya disebutkan, agar memilih seorang di antara sesama mereka.

Setelah Usman terbunuh serta timbul perselisihan sesudah itu antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah, pihak Banu Umayyah melanjutkan kekuasaan itu secara turun-temurun dengan warisan yang diterima anak dari bapak.

Menurut Haekal, kalau demikian sumber peristiwa itu tak ada alasan untuk mengatakan, bahwa dalam menjalankan kekuasaan, dalam Islam sudah ada suatu sistem yang baku. Tetapi yang ada ialah ijtihad yang didasarkan kepada peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat Islam yang berubah-ubah dan didasarkan pada aneka macam bentuk sesuai dengan perubahan situasi.

Sedangkan sistem pemerintahan yang dijalankan oleh Abu Bakar dalam hal ini menurut pola Arab yang murni. Hubungannya dengan masa Nabi yang masih dekat, serta hubungan Abu Bakar sendiri secara pribadi dengan Rasulullah dan pengaruhnya dalam dirinya, memberi bekas padanya yang kemudian mengalami perubahan karena situasi dan meluasnya kawasan Islam.

Perubahan dalam sistem pemerintahan ini berlangsung mengikuti perkembangan lingkungan yang ada, sehingga dengan demikian, sedikit pun tak terdapat persamaan antara masa kekuasaan Abbasi dalam puncak kejayaannya dengan masa Khalifah pertama Abu Bakar, juga antara masa Abu Bakar dengan masa-masa Umar, Usman dan Ali.

Haekal berpendapat masa Abu Bakar dapat dikatakan masa yang sungguh unik. Masa itu adalah masa transisi yang wajar saja dengan masa Rasulullah, baik dalam politik agama maupun dalam politik sekuler. “Memang benar, ketika itu agama sudah sempurna, dan tak ada lagi orang dapat mengubah-ubah atau menukar-nukar apa yang sudah ada dalam agama itu. Tetapi begitu Nabi wafat, orang-orang Arab pinggiran mulai berpikir-pikir mau jadi murtad, atau memang sudah banyak kabilah yang murtad,” tuturnya.

Maka tak ada jalan Abu Bakar harus bertindak menentukan langkah demi mengatasi keadaan yang sangat genting itu. Langkah itu sudah dimulai oleh Nabi sendiri ketika mengadakan hubungan dengan negara-negara tetangga dalam menjalankan politik dakwahnya itu. Jadi tak ada jalan lain buat Abu Bakar daripada harus meneruskan langkah itu.

Pelantikan Abu Bakar

Tak lama setelah selesai pelantikan, Abu Bakar dan mereka yang hadir di Saqifah kembali ke mesjid. Waktu itu sudah sore. Kaum Muslimin sedang mengikuti berita-berita dari rumah Aisyah mengenai penyelenggaraan pemakaman Rasulullah.

Ketika itu orang ramai pun sama-sama memberikan ikrar sebagai Baiat Umum sesudah Baiat Khusus di Saqifah. Selesai baiat, Abu Bakar berdiri. Di hadapan mereka ia mengucapkan sebuah pidato yang merupakan pernyataan pertama setelah ia memangku jabatan sebagai Khalifah. Di samping itu pidato ini adalah teladan yang sungguh bijaksana dan sangat menentukan. Setelah mengucapkan puji syukur kepada Allah Abu Bakar radiallahu 'anhu berkata:

"Kemudian, Saudara-saudara. Saya sudah terpilih untuk memimpin kamu sekalian, dan saya bukanlah orang yang terbaik di antara kamu sekalian. Kalau saya berlaku baik, bantulah saya. Kebenaran adalah suatu kepercayaan, dan dusta adalah pengkhianatan.”

“Orang yang lemah di kalangan kamu adalah kuat di mata saya, sesudah haknya saya berikan kepadanya — insya Allah, dan orang yang kuat buat saya adalah lemah sesudah haknya nanti saya ambil — insya Allah.”

“Apabila ada golongan yang meninggalkan perjuangan di jalan Allah, maka Allah akan menimpakan kehinaan kepada mereka. Apabila kejahatan itu sudah meluas pada suatu golongan, maka Allah akan menyebarkan bencana kepada mereka. Taatilah saya selama saya taat kepada (perintah) Allah dan Rasul-Nya. Tetapi apabila saya melanggar (perintah) Allah dan Rasulullah maka gugurlah kesetiaanmu kepada saya. Laksanakanlah salat kamu, Allah akan merahmati kamu sekalian."

Isu Penolakan Ali

Masih adakah yang belum memberikan ikrar dari Muhajirin? Adakah ikrar umum ini sudah merupakan konsensus semua Muslimin, tak ada lagi yang tertinggal seperti Sa'd bin Ubadah dalam Ikrar Khusus di Saqifah? Haekal menyebutkan yang sudah menjadi kesepakatan umum, bahwa ada segolongan Muhajirin terkemuka yang tidak turut, dan bahwa Ali bin Abi Thalib dan Abbas bin Abdul Muthalib dari Banu Hasyim termasuk yang tidak ikut.

Menurut al-Ya'qubi, "Mereka yang tidak ikut membaiat Abu Bakar dari kalangan Muhajirin dan Ansar dan ikut Ali bin Abi Thalib di antaranya ialah Abbas bin Abdul Muthalib, Fadl bin al-Abbas, Zubair bin alAwwam bin al-As, Khalid bin Sa'id, Miqdad bin Amr, Salman alFarisi, Abu Zar al-Gifari, Ammar bin Yasir, Bara' bin Azib dan Ubai bin Ka'b, dan bahwa dalam hal ini Abu Bakar meminta pendapat Umar bin Khattab, Abu Ubaidah bin Jarrah dan Mugirah bin Syu'ba.

Saran ketiga tokoh itu ialah agar menemui Abbas bin Abdul Muthalib dan agar dia juga dilibatkan dan berperan dalam masalah ini, baik untuk kepentingannya sendiri maupun penerusnya kemudian.

Mengenai ini terjadi perbedaan pendapat antara dia dengan sepupunya, Ali bin Abi Thalib. Dengan demikian Abu Bakar dan sahabat-sahabatnya punya argumen dalam menghadapi Ali. Apa yang sudah disarankan mereka tadi oleh Abu Bakar dilaksanakan.

)

Dalam suatu percakapan panjang ia berkata kepada Abbas: "Kami telah datang kepadamu dan yang kami inginkan engkau dapat berperan juga dalam hal ini, baik untukmu sendiri maupun untuk penerusmu kemudian, mengingat engkau adalah paman Rasulullah."

Abbas menjawab tawaran itu setelah terjadi dialog seperti dilukiskan oleh Ya'qubi; "Kalaupun ini yang akan menjadi hak kami, kami tidak mau sebagian-sebagian."

Dalam sebuah sumber yang disebutkan oleh Ya'qubi, juga penulis-penulis sejarah yang lain menyebutkan, dan masih cukup terkenal, bahwa ada kelompok Muhajirin dan Ansar yang mengadakan pertemuan dengan Ali bin Abi Thalib di rumah Fatimah putri Rasulullah dengan maksud hendak membaiat Ali.

Di antara mereka itu Khalid bin Sa'id yang mengatakan: "Sungguh, tak ada orang yang lebih patut menempati kedudukan Muhammad selain engkau."

Pertemuan di rumah Fatimah itu sampai juga beritanya kepada Abu Bakar dan Umar, dan kedua orang ini bersama-sama dengan yang lain datang dan menyerbu rumah itu. Ketika Ali keluar membawa pedang, yang disambut oleh Umar, maka terjadi pertarungan. Pedang Ali dipatahkan dan mereka menyerbu masuk ke dalam rumah.



Saat itu Fatimah keluar dengan mengatakan: "Keluarlah kalau tidak rambutku akan kuperlihatkan dan aku akan berseru kepada Allah."

Mereka keluar, juga orang-orang yang berada dalam rumah itu. Keadaan demikian berjalan selama beberapa hari. Kemudian satu demi satu mereka memberikan ikrar — kecuali Ali yang baru membaiat setelah Fatimah wafat, yakni sesudah enam bulan.

Menurut Haekal, sumber lain menyebutkan bahwa ia membaiat sesudah empat puluh hari. Disebutkan lagi bahwa Umar bin Khattab telah menimbun kayu di sekeliling rumah Fatimah dengan maksud hendak membakar rumah itu atau Ali harus membaiat Abu Bakar.

Tetapi sumber-sumber yang terkenal dan lebih umum mengenai tidak hadirnya atau terlambatnya Ali dan Banu Hasyim itu ialah seperti yang diuraikan oleh Ibn Qutaibah dalam al-Imamah was-Siyasah dan sumber-sumber serupa, baik yang sezaman atau yang datang kemudian, yakni selesai memberikan ikrar kepada Abu Bakar Umar dan rombongan berangkat menemui Banu Hasyim.



Mereka diminta agar juga datang memberikan ikrar seperti yang lain. Ketika itu Banu Hasyim di rumah Ali. Baik Ali maupun yang lain menolak ajakan Umar itu. Malah Zubair bin al-Awwam dan sahabat-sahabatnya keluar menemui Umar dengan membawa pedang. Kepada sahabat-sahabatnya Umar berkata, "Awas orang itu dan ambil pedangnya!"

Mereka merampas pedang itu dari tangannya. Kemudian ia pun pergi dan membaiat. Ketika kepada Ali bin Abi Thalib dikatakan: “Baiatlah Abu Bakar”, Ali menjawab: "Aku tidak akan membaiat, karena dalam hal ini aku lebih berhak daripada kalian. Kamulah yang lebih pantas membaiat aku. Kamu telah mengambil kekuasaan itu dari Ansar dengan alasan kalian kerabat Nabi Sallallahu 'alaihi wasallam dan kalian mengambil dari kami ahlulbait secara paksa. Bukankah kalian mengatakan kepada Ansar bahwa kalian lebih berhak daripada mereka dalam hal ini karena Muhammad dari kalian, lalu pimpinan dan kekuasaan diserahkan kepada kalian! Sekarang aku akan menuntut kepada kalian sebagaimana kalian menuntut kepada Ansar. Kami lebih berhak terhadap Rasulullah selama masih hidup dan sesudah mati. Jika kamu beriman berlaku adillah terhadap kami, kalau tidak berarti dengan sengaja kamu berlaku zalim."

"Kau tak akan dibiarkan sebelum membaiat," kata Umar.



"Dalam bertindak orang harus berlaku adil. Umar, sungguh aku tidak dapat menerima kata-katamu itu dan aku tidak akan membaiat," kata Ali bersemangat dan dengan nada keras.

Dikhawatirkan dialog itu akan jadi semakin panas, maka Abu Bakar segera campur tangan dengan katanya: "Kalau engkau memang tidak mau membaiat, aku tidak akan memaksamu."

Abu Ubaidah segera mendekati Ali seraya katanya dengan nada lembut: "Sepupuku, engkau masih muda, dan mereka itu orang tua-tua kita. Tentu dalam bidang ini engkau tidak punya pengalaman dan pengetahuan seperti mereka. Menurut hematku Abu Bakar lebih mampu dari engkau dan lebih dapat mengatasi segala persoalan. Serahkanlah pimpinan itu kepada Abu Bakar. Jika engkau masih akan panjang umur, maka engkaulah kelak yang pantas memegang pimpinan ini semua, mengingat jasamu, ketaatanmu dalam agama, amalmu, pengetahuanmu, kedinianmu dalam Islam, nasabmu serta hubunganmu sebagai menantu."



Di sini Ali berontak seraya berkata: "Hebat sekali kalian ini Muhajirin! Janganlah kalian mencoba mengeluarkan kekuasaan Muhammad atas orang-orang Arab itu dari keluarganya dan dari dalam rumahnya ke keluarga dan ke dalam rumah kalian lalu mengenyahkan kedudukan dan hak keluarganya dari rakyat. Demi Allah, Saudara-saudara Muhajirin, kamilah yang lebih berhak dari semua orang, karena kami adalah keluarganya, kami ahlulbait. Dalam pimpinan ini kami lebih berhak dari kalian. Dari kalangan kamilah yang membaca Qur'an, yang mengetahui hukum-hukum agama, mengenal benar sunah Rasulullah, mengikuti perkembangan rakyat serta melindungi mereka dari hal-hal yang tidak baik. Kami yang mengadakan pemerataan dengan mereka. Dia adalah dari kami. Janganlah kamu memperturutkan hawa nafsu, kalian akan sesat dari jalan Allah dan akan lebih jauh menyimpang dari kebenaran."

Menurut beberapa sumber, ketika itu Basyir bin Sa'd juga hadir. Mendengar kata-kata itu ia berkata: "Ali, kalau kata-katamu itu didengar oleh Ansar sebelum pengukuhan terhadap Abu Bakar, aku pun tak akan berbeda pendapat dengan kau."

Dengan marah Ali keluar. Ia pergi menemui Fatimah dan keluar rumah bersama-sama. Dengan dinaikkan di atas binatang beban malam itu Fatimah berkeliling menemui kelompok-kelompok Ansar meminta dukungan.



Mereka itu berkata: "Putri Rasulullah, baiat kami atas orang itu sudah selesai. Sekiranya suamimu dan sepupumu itu yang lebih dulu menemui kami sebelum Abu Bakar, tentu kami tak akan menyamakannya."

Jawaban ini menambah kemarahan Ali dan ia berkata lagi: "Apa aku akan meninggalkan Rasulullah di rumah tanpa dimakamkan dan keluar memperebutkan kekuasaan?"

"Apa yang dilakukan Abu al-Hasan," sela Fatimah, "memang yang sudah semestinya dilakukan. Tetapi apa yang mereka lakukan, biarlah Allah nanti yang membuat perhitungan dan yang menentukan."
Halaman :
Follow
Hadits of The Day
Dari Al Aghar Al Muzanni, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya hatiku tidak pernah lalai dari dzikir kepada Allah subhanahu wa ta'ala, sesungguhnya aku beristighfar sebanyak seratus kali dalam sehari.

(HR. Muslim No. 4870)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More