Imam Al-Ghazali: Esensi Tiap Makhluk Adalah Sesuatu yang Tertinggi Dalam Dirinya

Sabtu, 18 Februari 2023 - 09:23 WIB
Imam al-Ghazali mengatakan esensi tiap makhluk adalah sesuatu yang tertinggi di dalam dirinya dan khas baginya. Foto/Ilustrasi: Ist
Ada pertanyaan, jika manusia telah diciptakan dengan kualitas-kualitas hewan, setan dan malaikat, bagaimana bisa kita ketahui bahwa kualitas malaikat merupakan esensinya yang sebenarnya, sementara kualitas hewan dan setan hanyalah aksidental dan peralihan belaka?

Menjawab pertanyaan ini, Imam al-Ghazali menjawab, bahwa esensi tiap makhluk adalah sesuatu yang tertinggi di dalam dirinya dan khas baginya. "Kuda dan keledai kedua-duanya adalah hewan pengangkut beban, tetapi kuda lebih unggul dari keledai karena ia dimanfaatkan untuk perang. Jika gagal dalam hal ini, ia pun terpuruk ke tingkatan binatang pengangkut beban," ujar Imam al-Ghazali dalam bukunya berjudul "The Alchemy of Happiness" yang diterjemahkan Haidar Bagir menjadi " Kimia Kebahagiaan ".

Menurutnya, fakultas tertinggi di dalamnya adalah nalar yang menjadikannya bisa merenung tentang Tuhan. Jika fakultas ini dominan dalam dirinya, maka ketika mati dia tinggalkan di belakangnya segenap kecenderungan kepada nafsu dan amarah, sehingga memungkinkannya berkawan dengan para malaikat.



Dalam hal pemilikan kualitas-kualitas hewan, kata al-Ghazali, manusia kalah dibanding banyak hewan, tetapi nalar membuatnya lebih unggul dari mereka, sebagaimana tertulis di dalam al-Qur'an: "Telah Kami tundukkan segala sesuatu di atas bumi untuk manusia" ( QS 45 :13).

"Tetapi jika kecenderungan-kecenderungannya yang lebih rendah yang menang, maka setelah kematiannya, dia akan selamanya menghadap ke bumi dan mendambakan kesenangan-kesenangan duniawi," kata al-Ghazali.

Selanjutnya, jiwa rasional di dalam manusia penuh dengan keajaiban-keajaiban pengetahuan maupun kekuatan. Dengan itu semua ia menguasai seni dan sains, ia bisa menempuh jarak dari bumi ke langit bolak-balik secepat kilat, dan mampu mengatur lelangit dan mengukur jarak antar bintang. Dengan itu juga ia bisa menangkap ikan dari lautan dan burung-burung dari udara, serta bisa menundukkan binatang-binatang seperti gajah, unta dan kuda.

Imam al-Ghazali menggambarkan pancainderanya bagaikan lima pintu yang terbuka menghadap ke dunia luar. Tetapi ajaib dari semuanya ini, hatinya memiliki jendela yang terbuka ke arah dunia ruh yang tak kasat-mata.

Dalam keadaan tertidur, ketika saluran indranya tertutup, jendela ini terbuka dan ia menerima kesan-kesan dari dunia tak-kasat-mata; kadang-kadang bisa ia dapatkan isyarat tentang masa depan. Hatinya bagaikan sebuah cermin yang memantulkan segala sesuatu yang tergambar di dalam Lauhul-mahfuzh.

Tapi, bahkan dalam keadaan tidur, pikiran-pikiran akan segala sesuatu yang bersifat keduniaan akan memburamkan cermin ini, sehingga kesan-kesan yang diterimanya tidak jelas. Meskipun demikian setelah mati pikiran-pikiran seperti itu sirna dan segala sesuatu tampak dalam hakikat-telanjangnya. Dan kata-kata di dalam al-Qur'an pun menyatakan: "Telah Kami angkat tirai darimu dan hari ini penglihatanmu amat tajam."



Membuka sebuah jendela di dalam hati yang mengarah kepada yang tak-kasat-mata ini juga terjadi di dalam keadaan-keadaan yang mendekati ilham kenabian, yakni ketika intuisi timbul di dalam pikiran - tak terbawa lewat saluran-indera apa pun. Makin seseorang memurnikan dirinya dari syahwat-syahwat badani dan memusatkan pikirannya pada Tuhan, akan makin pekalah ia terhadap intuisi-intuisi seperti itu. Orang-orang yang tidak sadar akan hal ini tidak punya hak untuk menyangkal hakikatnya.

Intuisi-intuisi seperti itu tidak pula terbatas hanya pada tingkatan kenabian saja. Sebagaimana juga besi, dengan memolesnya secukupnya, ia akan bisa dijelmakan menjadi sebuah cermin. Jadi, dengan disiplin yang memadai, pikiran siapa pun bisa dijadikan mampu menerima kesan-kesan seperti itu.

Kebenaran inilah yang diisyaratkan oleh Nabi ketika beliau berkata: "Setiap anak lahir dengan suatu fitrah (untuk menjadi muslim); orang tuanyalah yang kemudian membuatnya menjadi seorang Yahudi , Nasrani atau Majusi."

Setiap manusia, di kedalaman kesadarannya, mendengar pertanyaan "Bukankah Aku ini tuhanmu?" dan menjawab "Ya". Tetapi ada hati yang menyerupai cermin yang telah sedemikian dikotori oleh karat dan kotoran sehingga tidak lagi memberikan pantulan-pantulan yang jernih.



Sementara hati para nabi dan wali, meskipun mereka juga mempunyai nafsu seperti kita, sangat peka terhadap segenap kesan-kesan ilahiah.

Bukan hanya dengan nalar pengetahuan capaian dan intuitif saja jiwa manusia bisa menempati tingkatan paling utama di antara makhluk-makhluk lain, tetapi juga dengan nalar kekuatan. Sebagaimana malaikat-malaikat berkuasa atas kekuatan-kekuatan alam, demikian jugalah jiwa mengatur anggota-anggota badan.

Jiwa yang telah mencapai suatu tingkatan kekuatan khusus, tidak saja mengatur jasadnya sendiri, melainkan juga jasad orang lain. Jika mereka ingin agar seseorang yang sakit bisa sembuh, maka si sakit pun akan sembuh, atau menginginkan seseorang yang sehat agar jatuh sakit, maka sakitlah orang itu, atau jika ia inginkan kehadiran seseorang, maka datanglah orang itu kepadanya.

Sesuai dengan baik-buruknya akibat yang ditimbulkan oleh jiwa yang sangat kuat ini, hal tersebut diistilahkan sebagai mukjizat dan sihir. Jiwa ini berbeda dari orang biasa dalam tiga hal:

1. Yang hanya dilihat oleh orang-orang lain sebagai mimpi, mereka lihat pada saat-saat jaga.

2. Sementara kehendak orang lain hanya mempengaruhi jasad mereka saja, jiwa ini, dengan kekuatan kehendaknya, bisa pula menggerakan jasad-jasad di luar mereka.

3. Pengetahuan yang oleh orang lain diperoleh dengan belajar secara sungguh-sungguh, sampai kepada mereka lewat intuisi.



Menurut al-Ghazali, tentunya bukan hanya tiga tanda ini sajalah yang membedakan mereka dari orang-orang biasa, tetapi hanya ketiganya itulah yang bisa kita ketahui. Sebagaimana halnya, tidak ada sesuatu pun yang mengetahui sifat-sifat Tuhan yang sebenarnya, kecuali Tuhan sendiri, maka tak ada seorang pun yang mengetahui sifat sebenarnya seorang Nabi, kecuali seorang Nabi.

Hal ini tak perlu kita herankan, sama halnya dengan di dalam peristiwa sehari-hari kita melihat kemustahilan untuk menerangkan keindahan puisi pada seseorang yang telinganya kebal terhadap irama, atau menjelaskan keindahan warna kepada seseorang yang sama sekali buta.

Di samping ketidakmampuan, ada juga hambatan-hambatan lain di dalam pencapaian kebenaran rohaniah. Salah satu di antaranya adalah pengetahuan yang dicapai secara eksternal.

Sebagai misal, hati bisa digambarkan sebagai sumur dan pancaindera sebagai lima aliran yang dengan terus-menerus membawa air ke dalamnya. Agar bisa menemukan kandungan hati yang sebenarnya, maka aliran-aliran ini mesti dihentikan untuk sesaat dengan cara apa pun dan sampah yang dibawa bersamanya mesti dibersihkan dari sumur itu.

Dengan kata lain, jika kita ingin sampai kepada kebenaran rohani yang murni, pada saat itu mesti kita buang pengetahuan yang telah dicapai dengan proses-proses eksternal dan yang sering sekali mengeras menjadi prasangka dogmatis.

(mhy)
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Hadits of The Day
Dari Aisyah Ummul Mukminin, bahwa ia berkata:  Sudah biasa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berpuasa beberapa hari, hingga kami mengira bahwa beliau akan berpuasa terus. Namun beliau juga biasa berbuka (tidak puasa) beberapa hari hingga kami mengira bahwa beliau akan tidak puasa terus. Dan aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyempurnakan puasanya sebulan penuh, kecuali Ramadhan.  Dan aku juga tidak pernah melihat beliau puasa sunnah dalam sebulan yang lebih banyak daripada puasanya ketika bulan Sya'ban.

(HR. Muslim No. 1956)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More