Ketentuan Puasa bagi Musafir, Tak Semua Dapat Keringanan

Selasa, 28 Maret 2023 - 13:55 WIB
Ketentuan Puasa bagi Musafir diatur dalam al-Quran dan hadis. Foto/Ilustrasi: Ist
Ketentuan puasa bagi musafir disampaikan dalam Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 185 serta sejumlah hadis. Dalam ayat tersebut diinformasikan bahwa musafir yang melakukan perjalanan jauh mendapatkan keringanan untuk tidak berpuasa di bulan Ramadan .

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ[

Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” ( QS Al Baqarah : 185)



Musafir mendapatkan keringanan itu jika dalam kondisi berat untuk berpuasa. Dalil dari hal ini dapat kita lihat dalam hadis Jabir bin ‘Abdillah. Jabir mengatakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فِى سَفَرٍ ، فَرَأَى زِحَامًا ، وَرَجُلاً قَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ ، فَقَالَ « مَا هَذَا » . فَقَالُوا صَائِمٌ . فَقَالَ « لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصَّوْمُ فِى السَّفَرِ

Rasulullah SAW ketika bersafar melihat orang yang berdesak-desakan. Lalu ada seseorang yang diberi naungan. Lalu Nabi SAW mengatakan, “Siapa ini?” Orang-orang pun mengatakan, “Ini adalah orang yang sedang berpuasa.” Kemudian Nabi SAW bersabda, “Bukanlah suatu yang baik jika seseorang berpuasa ketika dia bersafar”

Dari Abu Darda’, beliau berkata,

خَرَجْنَا مَعَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فِى بَعْضِ أَسْفَارِهِ فِى يَوْمٍ حَارٍّ حَتَّى يَضَعَ الرَّجُلُ يَدَهُ عَلَى رَأْسِهِ مِنْ شِدَّةِ الْحَرِّ ، وَمَا فِينَا صَائِمٌ إِلاَّ مَا كَانَ مِنَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – وَابْنِ رَوَاحَةَ

“Kami pernah keluar bersama Nabi SAW di beberapa safarnya pada hari yang cukup terik. Sehingga ketika itu orang-orang meletakkan tangannya di kepalanya karena cuaca yang begitu panas. Di antara kami tidak ada yang berpuasa. Hanya Nabi SAW saja dan Ibnu Rowahah yang berpuasa ketika itu.”



Apabila tidak terlalu menyulitkan ketika safar, maka puasa itu lebih baik karena lebih cepat terlepasnya kewajiban. Begitu pula hal ini lebih mudah dilakukan karena berpuasa dengan orang banyak itu lebih menyenangkan daripada mengqodho’ puasa sendiri sedangkan orang-orang tidak berpuasa.

Kelompok Musafir

Hanya saja, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam kitabnya berjudul Fushul fi Shiyam membagi dua kelompok bagi musafir. Kelompok pertama, orang yang melakukan safar (perjalanan jauh) dengan tujuan supaya terlepas dari kewajiban melaksanakan puasa.

Menurut dia, orang tersebut tidak diperbolehkan meninggalkan puasa, karena telah melakukan tipu daya untuk menghindar dari kewajiban. Hal tersebut tidaklah menyebabkan kewajiban tersebut gugur.

Kelompok kedua, menurut Syaikh Utsaimin, orang yang melakukan safar bukan karena tujuan di atas. Kelompok ini mempunyai tiga keadaan. Keadaan pertama, puasa tersebut sangat memberatkan orang yang safar. Maka dalam keadaan ini haram hukumnya untuk melaksanakan puasa.



Ketika Nabi SAW dalam perang Fathu Makkah dalam keadaan berpuasa, datanglah berita bahwa para manusia merasa berat dalam berpuasa dan mereka menunggu apa yang akan Nabi SAW kerjakan.

Lalu beliau meminta dibawakan satu wadah berisi air. Setelah waktu ashar meminumnya, sedangkan saat itu para sahabat melihat beliau. Kemudian dikatakan kepada beliau: “Sesungguhnya sebagian manusia tetap berpuasa.”

Lalu beliau bersabda: “Mereka adalah orang-orang yang bermaksiat, mereka itu adalah orang-orang yang bermaksiat.” (HR Muslim)

Keadaan kedua, jelas Syaikh Utsaimin, puasa tersebut memberatkan orang yang safar namun tidak sampai pada keberatan yang sangat. Maka, hukumnya makruh jika ia melaksanakan puasa, karena dengan melaksanakan puasa berarti ia telah meninggalkan rukhshah (keringanan dari Allah Ta’ala) dan memberatkan diri sendiri.

Keadaan ketiga, menurut Syaikh Utsaimin lagi, puasa tersebut tidak memberatkannya. Maka, dalam keadaan seperti ini ia memilih yang paling ringan baginya, boleh baginya untuk berpuasa boleh juga tidak.

Allah Ta’ala berfirman: “Allah menghendaki kemudahan atas kalian dan tidak menghendaki kesukaran atas kalian.” Menurut Syaikh Utsaimin, iradah (menghendaki) yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah mahabbah (mencintai).

Apabila antara berpuasa dengan tidak berpuasa sama-sama tidak memberatkan, maka melaksanakan puasa adalah lebih utama karena demikianlah yang dilaksanakan Nabi SAW.



Kondisi Safar

Syaikh Utsaimin selanjutnya menjelaskan seseorang dikatakan dalam keadaan safar (bepergian) sejak ia keluar dari daerahnya sampai ia kembali ke daerah asalnya tersebut. Meskipun ia tinggal di tempat tujuan safarnya beberapa waktu lamanya, ia tetap dinamakan musafir selama ia meniatkan untuk tidak bermukim di tempat itu setelah selesai urusannya. Oleh karena itu, ia mendapatkan rukhshah (keringanan) bagi orang yang safar meskipun dalam waktu yang lama.

Hal ini dikarenakan tidak ada keterangan dari Nabi SAW tentang batas waktu tertentu selesainya safar. Maka pada asalnya adalah tetap dalam kondisi safar dan diiringi dengan hukum-hukum yang berkaitan dengannya sampai datang dalil yang menunjukkan selesainya safar dan ditiadakannya hukum-hukum yang berkaitan dengannya.

Menurut Syaikh, tidak ada perbedaan rukhshah, antara safar yang datang sekali waktu saja, seperti haji, umrah, mengunjungi karib kerabat, berdagang, dan semisalnya dengan safar yang terus menerus, seperti safarnya pengemudi kendaraan umum (taksi), atau selainnya seperti kendaraan-kendaraan yang besar.

"Kapan saja mereka keluar dari daerahnya, maka ketika itu mereka dalam keadaan safar, diperbolehkan bagi mereka hal-hal yang diperbolehkan bagi musafir lainnya, seperti tidak berpuasa di bulan Ramadan dan mengqashar (meringkas) salat yang empat rakaat menjadi dua rakaat," ujarnya.



Demikian pula boleh menjamak (mengumpulkan) antara salat zuhur dengan ashar, serta maghrib dengan isyak jika ada hajat (kebutuhan). Tidak berpuasa ketika dalam keadaan safar tersebut adalah lebih utama jika hal itu lebih memudahkan, kemudian mereka mengqadha’ puasa yang ditinggalkan tersebut nantinya. "Karena, para pengemudi kendaraan tersebut mempunyai daerah tempat mereka berasal," jelasnya.

Karena itu, kapan saja berada di negeri asalnya, menurutnya, mereka adalah orang-orang mukim, mereka mendapatkan hak orang-orang yang mukim dan mendapatkan kewajiban bagi orang-orang yang mukim. Dan kapan saja mereka safar, mereka mendapatkan hak bagi orang yang safar dan mendapatkan kewajiban bagi orang yang safar. Wallahu A'lam Bishawab
(mhy)
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Hadits of The Day
Dari Mu'adz bin Jabal bahwa Rasulullah shallallahu wa'alaihi wa sallam menggandeng tangannya dan berkata: Wahai Mu'adz, demi Allah, aku mencintaimu, aku wasiatkan kepadamu wahai Mu'adz, janganlah engkau tinggalkan setiap selesai shalat untuk mengucapkan:  ALLAAHUMMA A'INNII 'ALAA DZIKRIKA WA SYUKRIKA WA HUSNI 'IBAADATIK (Ya Allah, tolonglah aku untuk selalu mengingat-Mu (berdzikir kepada-Mu), dan bersyukur kepada-Mu, serta beribadah dengan baik kepada-Mu.)

(HR. Sunan Abu Dawud No. 1301)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More