Memaknai Keberkahan Ramadan (26): Al-Qur'an sebagai Jalan dan Tuntunan Hidup
Jum'at, 28 April 2023 - 17:15 WIB
Imam Shamsi Ali
Direktur Jamaica Muslim Center
Presiden Nusantara Foundation
Kita hidup dalam dunia yang penuh dengan paradoks. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan yang ada dan universitas-universitas bergengsi, manusia justeru terjatuh dalam kebodohan yang semakin membingungkan. Hadirnya berbagai alat komunikasi dan informasi yang semakin canggih tapi manusia mengalami misinformasi dan miskomunikasi yang semakin liar dan membahayakan.
Belum lagi kenyataan bahwa sesungguhnya perekonomian dunia tidak pernah berkurang. Jumlah modal dunia semakin tidak terkalkulasi. Seorang pebisnis dunia saja bisa memiliki harta pribadi lebih 200 Milyaran US Dollar. Tapi manusia justeru semakin merasa miskin dan kekurangan. Semakin banyak rumah sakit, alat-alat kesehatan dan obat-obatan yang diproduksi semakin banyak pula orang penyakit yang menghantui manusia. Bahkan timbul jenis-jenis penyakit yang tidak diketahui sebab dan pengobatannya.
Yang lebih runyam lagi semakin maju dan canggih alat-alat Pertahanan (persenjataan) yang diproduksi oleh manusia demi keamanan, justeru dunia semakin tidak aman. Kekacauan, terorisme dan sumber ketidak amanan (perang) semakin menjadi-jadi.
Sementara itu manusia merasa dan mengaku lebih beradab. Tapi dari hari ke hari semakin memperlihatkan prilaku yang tidak beradab (uncivilized). Bahkan ragam nilai kehidupan dijadikan justifikasi untuk menginjak-injak nilai yang dibangga-banggakan. Atas nama kebebasan justeru kebebasan sebagian orang dirampas. Atas nama demokrasi justeru kenyamanan hidup publik sebagian bangsa dipreteli. Atas nama keadilan manusia meperlakukan manusia lain dengan ragam kezholiman.
Demikian seterusnya. Ringkasnya tidak berlebihan jika manusia yang melabeli kehidupannya dengan kehidupan modern kembali terjatuh ke dalam kehidupan kelam (darkness). Sebuah kedaaan yang digambarkan sebagai kehidupan jahiliyah yang diliputi oleh kegelapan (zhulumat) tadi.
Di saat-saat seperti inilah Ramadan hadir dengan keberkahan terbesarnya. Allah tentukan sebuah malam di bulan ini yang memiliki nilai (value) yang lebih baik dari seribu bulan. Itulah malam atau Lailatul Qadar. Malam yang mulia ini digambarkan dalam Surah Al-Qadar secara penuh.
Pertanyaan yang mungkin timbul adalah kenapa malam Al-Qadar itu menjadi jauh lebih bernilai dari seribu bulan? Apa rahasianya?
Jawabannya tentu karena Allah yang menentukan demikian. Allah menjadikan sebagian waktu/tempat menjadi lebih utama dari waktu/tempat yang lain. Arafah di hari Wukuf menjadi hari paling bernilai dan tempat yang paling bernilai. Masjidil Haram menjadi masjid yang paling afdhol. Hari Jumat jadi hari terbaik dari hari-hari sepekan. Demikian seterusnya. Allah Pemilik dan punya otoritas dalam segalanya. Termasuk menentukan sebuah malam sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan.
Tapi alasan khusus kenapa Lailatul Qadar menjadi malam yang lebih baik dari seribu malam, tidak terlepas dari kemuliaan Al-Qur'an yang diturunkan di malam itu. Pesan tegasnya sesungguhnya adalah bahwa "Hidup dengan Al-Qur'an, hidup mengikut Al-Qur'an, hidup yang tertuntun oleh Al-Qur'an walau hanya semalam lebih baik dari hidup seribu bulan (umur panjang di atas rata-rata atau sekitar 83 tahun lebih) tanpa Al-Qur'an."
Inilah poin keberkahan yang saya ingin tekankan kali ini. Betapa dengan Al-Qur'an, manusia tidak saja memiliki kehidupan yang jelas dan lurus. Tidak mengalami ragam paradoks seperti yang disebutkan di awal catatan ini. Lebih jauh bahkan manusia akan memiliki kehidupan yang lebih bermakna dan bernilai baik secara duniawi maupun secara ukhrawinya.
Sayangnya manusia seringkali berlomba mencari Lailatul Qadar. Tapi sekadar fokus pada malamnya dengan ragam ritualnya. Sementara yang sesungguhnya menjadikan malam itu memiliki nilai (Al-Qur'an) diabaikan.
Karenanya tanpa mengurangi makna dan urgensi malam itu, saya ingin katakan: "Mari cari Al-Qadar (salah satunya bermakna nilai atau kadar) setiap saat dengan menjadikan Al-Qur'an sebagai jalan hidup. Dengan itu kehidupan kita akan bermakna besar walau mungkin dengan kuantitas kecil. Karena memang yang dinilai adalah ahsanu 'amala. Bukan 'aktsaru amala'.
(Bersambung)!
Direktur Jamaica Muslim Center
Presiden Nusantara Foundation
Kita hidup dalam dunia yang penuh dengan paradoks. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan yang ada dan universitas-universitas bergengsi, manusia justeru terjatuh dalam kebodohan yang semakin membingungkan. Hadirnya berbagai alat komunikasi dan informasi yang semakin canggih tapi manusia mengalami misinformasi dan miskomunikasi yang semakin liar dan membahayakan.
Belum lagi kenyataan bahwa sesungguhnya perekonomian dunia tidak pernah berkurang. Jumlah modal dunia semakin tidak terkalkulasi. Seorang pebisnis dunia saja bisa memiliki harta pribadi lebih 200 Milyaran US Dollar. Tapi manusia justeru semakin merasa miskin dan kekurangan. Semakin banyak rumah sakit, alat-alat kesehatan dan obat-obatan yang diproduksi semakin banyak pula orang penyakit yang menghantui manusia. Bahkan timbul jenis-jenis penyakit yang tidak diketahui sebab dan pengobatannya.
Yang lebih runyam lagi semakin maju dan canggih alat-alat Pertahanan (persenjataan) yang diproduksi oleh manusia demi keamanan, justeru dunia semakin tidak aman. Kekacauan, terorisme dan sumber ketidak amanan (perang) semakin menjadi-jadi.
Sementara itu manusia merasa dan mengaku lebih beradab. Tapi dari hari ke hari semakin memperlihatkan prilaku yang tidak beradab (uncivilized). Bahkan ragam nilai kehidupan dijadikan justifikasi untuk menginjak-injak nilai yang dibangga-banggakan. Atas nama kebebasan justeru kebebasan sebagian orang dirampas. Atas nama demokrasi justeru kenyamanan hidup publik sebagian bangsa dipreteli. Atas nama keadilan manusia meperlakukan manusia lain dengan ragam kezholiman.
Demikian seterusnya. Ringkasnya tidak berlebihan jika manusia yang melabeli kehidupannya dengan kehidupan modern kembali terjatuh ke dalam kehidupan kelam (darkness). Sebuah kedaaan yang digambarkan sebagai kehidupan jahiliyah yang diliputi oleh kegelapan (zhulumat) tadi.
Di saat-saat seperti inilah Ramadan hadir dengan keberkahan terbesarnya. Allah tentukan sebuah malam di bulan ini yang memiliki nilai (value) yang lebih baik dari seribu bulan. Itulah malam atau Lailatul Qadar. Malam yang mulia ini digambarkan dalam Surah Al-Qadar secara penuh.
Pertanyaan yang mungkin timbul adalah kenapa malam Al-Qadar itu menjadi jauh lebih bernilai dari seribu bulan? Apa rahasianya?
Jawabannya tentu karena Allah yang menentukan demikian. Allah menjadikan sebagian waktu/tempat menjadi lebih utama dari waktu/tempat yang lain. Arafah di hari Wukuf menjadi hari paling bernilai dan tempat yang paling bernilai. Masjidil Haram menjadi masjid yang paling afdhol. Hari Jumat jadi hari terbaik dari hari-hari sepekan. Demikian seterusnya. Allah Pemilik dan punya otoritas dalam segalanya. Termasuk menentukan sebuah malam sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan.
Tapi alasan khusus kenapa Lailatul Qadar menjadi malam yang lebih baik dari seribu malam, tidak terlepas dari kemuliaan Al-Qur'an yang diturunkan di malam itu. Pesan tegasnya sesungguhnya adalah bahwa "Hidup dengan Al-Qur'an, hidup mengikut Al-Qur'an, hidup yang tertuntun oleh Al-Qur'an walau hanya semalam lebih baik dari hidup seribu bulan (umur panjang di atas rata-rata atau sekitar 83 tahun lebih) tanpa Al-Qur'an."
Inilah poin keberkahan yang saya ingin tekankan kali ini. Betapa dengan Al-Qur'an, manusia tidak saja memiliki kehidupan yang jelas dan lurus. Tidak mengalami ragam paradoks seperti yang disebutkan di awal catatan ini. Lebih jauh bahkan manusia akan memiliki kehidupan yang lebih bermakna dan bernilai baik secara duniawi maupun secara ukhrawinya.
Sayangnya manusia seringkali berlomba mencari Lailatul Qadar. Tapi sekadar fokus pada malamnya dengan ragam ritualnya. Sementara yang sesungguhnya menjadikan malam itu memiliki nilai (Al-Qur'an) diabaikan.
Karenanya tanpa mengurangi makna dan urgensi malam itu, saya ingin katakan: "Mari cari Al-Qadar (salah satunya bermakna nilai atau kadar) setiap saat dengan menjadikan Al-Qur'an sebagai jalan hidup. Dengan itu kehidupan kita akan bermakna besar walau mungkin dengan kuantitas kecil. Karena memang yang dinilai adalah ahsanu 'amala. Bukan 'aktsaru amala'.
(Bersambung)!
(rhs)