Haramnya Pendapatan dari Pekerjaan yang Kotor Menurut Syaikh Al-Qardhawi

Selasa, 13 Juni 2023 - 05:15 WIB
Syaikh Yusuf Al-Qardhawi. Foto/Ilustrasi: Aljazeera
Syaikh Yusuf al-Qardhawi mengatakan kerja yang dianjurkan oleh Islam dan diakui pengarah positifnya adalah kerja yang baik atau halal sesuai dengan syari'at.

"Adapun kerja yang kotor maka Islam telah melarangnya," ujar Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya berjudul "Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh" yang dalam edisi Indonesia menjadi "Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah" (Citra Islami Press, 1997).

Menurutnya, kerja yang kotor adalah kerja yang mengandung unsur kezaliman dan merampas hak orang lain tanpa prosedur yang benar. Seperti ghashab, mencuri, penipuan, mengurangi takaran dan timbangan, menimbun di saat orang membutuhkan dan lain sebagainya.

"Memperoleh sesuatu yang tidak diimbangi dengan kerja atau pengorbanan yang setimpal, seperti riba, termasuk undian dan lain-lain juga masuk kategori kerja kotor."



Bisa juga harta yang dihasilkan dari barang yang haram, -seperti khamr, babi, patung, berhala, bejana yang diharamkan, anjing yang terlarang dan yang lainnya.

"Harta yang diperoleh dari cara kerja yang tidak dibenarkan menurut syari'at, seperti upah para dukun dan tukang ramal, administrasi riba, orang-orang yang bekerja di bar-bar, diskotik dan tempat-tempat permainan yang diharamkan dan lain-lain," katanya.

Rasulullah SAW bersabda:

"Setiap tubuh yang berkembang dari yang haram, maka neraka lebih utama baginya." (HR Ahmad)

Al-Qardhawi menjelaskan Islam tidak menghargai bagusnya niat dan mulianya tujuan, apabila cara kerjanya diharamkan. "Maka orang yang memperoleh harta riba untuk membangun masjid, madrasah, darul aitam atau yang lainnya, selamanya tidak sah menurut Islam," ujarnya.

Dalam hadits sahih disebutkan: "Sesungguhnya Allah itu Thaayyib (baik), tidak menerima (suatu amal) kecuali yang baik (halal)." (HR Muslim)

Dalam hadis lain disebutkan: "Sesungguhnya yang kotor itu tidak bisa menghapus yang kotor (juga)." (HR Ahmad)



Menurut al-Qardhawi, sesuatu yang haram tetaplah haram menurut pandangan Islam, meskipun ada seorang qadhi yang menghalalkannya menurut zahirnya dari bukti yang diperoleh.

Allah SWT befirman:

"Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dan pada harta benda orang lain itu dengan (jalan) berbuat dosa, padahal kamu mengetahui." ( QS Al Baqarah : 188)

Berkenaan dengan masalah tersebut Rasulullah SAW pernah bersabda dalam hadisnya:

"Sesungguhnya kalian mengadu kepadaku, baranglali sebagian kalian lebih pandai dengan hujjahnya daripada sebagian yang lainnya, sehingga aku memutuskan untuknya sebagaimana yang aku dengar. Maka barangsiapa yang aku putuskan untuknya dan hak saudaranya, maka itu menjadi sepotong dari api neraka. Maka tinggalkan atau ambillah." (HR Bukhari - Muslim)

Meskipun qadhinya adalah Rasulullah SAW namun beliau memutuskan sesuai dengan zahirya sesuatu. Dengan demikian maka Islam telah menjadikan nurani seorang Muslim dan ketaqwaannya sebagai penjaga atas kehidupannya dalam berekonomi.

Jika secara lahiriyah seorang qadhi telah memutuskan, maka sesungguhnya Allah selalu melihat atas segala hakikat dan rahasia.



Lebih dari itu Islam telah melarang pemanfaatan orang-orang kuat atas orang yang lemah, seperti orang-orang yang memakan harta anak yatim, para suami memakan harta isteri, pemerintah makan harta rakyatnya dan para juragan yang memakan hak-hak buruhnya, atau para tuan tanah yang memakan keringat para petani.

Al-Qardhawi mengatakan di antara yang diperingatkan oleh Islam dengan keras adalah mengambil harta milik umum tanpa prosedur yang benar. Setiap orang dari putera bangsa memiliki hak, maka apabila ia mengambil secara tersembunyi atau merampas, berarti ia menzalimi semua pihak dan mereka semua akan menjadi musuhnya di hari kiamat.

Dari sinilah datang ancaman yang keras bagi orang yang menyembunyikan ghanimah (harta rampasan perang), Allah berfirman:

"Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatinya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal. Sedang mereka tidak dianiaya." ( QS Ali 'Imran : 161)

Harta milik umum itu diharamkan bagi para pejabat, kata al-Qardhawi, sebagaimana dia juga diharamkan bagi karyawan bawah, maka tidak diperbolehkan bagi mereka untuk mengambil satu dirham pun atau yang lebih kecil dari itu, tanpa prosedur yang benar.

Demikian juga tidak diperbolehkan bagi mereka memanfaatkan jabatan mereka untuk memperkaya diri dengan alasan bonus atau hadiah. "Bagi setiap orang yang memiliki hati nurani dan memiliki akal yang jernih niscaya mengetahui bahwa itu namanya riswah (suap) dalam bentuknya yang tersamar," ujarnya.



Islam telah menyatakan haramnya cara bekerja yang kotor berdasarkan tujuan-tujuan sosial ekonomi sebagai berikut

1. Menjalin hubungan antar manusia atas dasar keadilan, persaudaraan, memelihara kehormatan dan memberikan setiap hak pada pemiliknya.

2. Risalah Islam datang untuk menghilangkan faktor paling utama yang dapat menyebabkan semakin lebarnya jurang perbedaan (kesenjangan) antara individu dan kelompok, karena hasil keuntungan yang kotor. Seperti bentuk komisi yang besar, yang pada umumnya datang dari melakukan praktek yang terlarang dalam usaha. Berbeda dengan kalau kita terikat dengan cara-cara yang Islami, yang diperoleh adalah keuntungan yang sederhana dari usaha yang logis.

3. Mendorong manusia untuk bekerja dan bersungguh-sungguh, di mana tidak memperbolehkan memakan harta secara bathil. Artinya tanpa ada perimbangan kerja atau keikutsertaan yang wajar, tentang untung dan ruginya, seperti judi, riba, dan yang lainnya, meskipun jumlah keuntungannya secara ekonomi sangat melimpah.

(mhy)
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
cover top ayah
اَحَسِبَ النَّاسُ اَنۡ يُّتۡرَكُوۡۤا اَنۡ يَّقُوۡلُوۡۤا اٰمَنَّا وَهُمۡ لَا يُفۡتَـنُوۡنَ (٢) وَلَقَدۡ فَتَـنَّا الَّذِيۡنَ مِنۡ قَبۡلِهِمۡ‌ فَلَيَـعۡلَمَنَّ اللّٰهُ الَّذِيۡنَ صَدَقُوۡا وَلَيَعۡلَمَنَّ الۡكٰذِبِيۡنَ (٣) اَمۡ حَسِبَ الَّذِيۡنَ يَعۡمَلُوۡنَ السَّيِّاٰتِ اَنۡ يَّسۡبِقُوۡنَا‌ ؕ سَآءَ مَا يَحۡكُمُوۡنَ (٤)
Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, Kami telah beriman, dan mereka tidak diuji? Dan sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta. Ataukah orang-orang yang mengerjakan kejahatan itu mengira bahwa mereka akan luput dari (azab) Kami? Sangatlah buruk apa yang mereka tetapkan itu!

(QS. Al-'Ankabut Ayat 2-4)
cover bottom ayah
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More