Islam Mengakui Kepemilikan Pribadi, Begini Penjelasan Syaikh Al-Qardhawi
Rabu, 14 Juni 2023 - 05:15 WIB
Menurut Al-Qardhawi, Islam memberikan syarat untuk kepemilikan pribadi, yaitu dengan dua persyaratan sebagai berikut:
1. Harus terbukti bahwa harta itu diperoleh dengan cara yang benar dan dengan sarana yang diperbolehkan. Jika syarat ini tidak terpenuhi maka Islam tidak mengakuinya, meskipun sudah lama berada di tangan orang yang memegangnya.
Inilah yang membedakan dengan undang-undang yang dibuat oleh manusia yang mengakui pemilikan secara haram yaitu apabila telah lama dikuasai pada masa tertentu, misalnya 15 tahun. Adapun menurut Islam, lamanya menguasai tidak boleh menjadikan yang haram menjadi yang halal, selama keharamannya masih tetap ada dan diketahui.
2. Hendaknya pemilikan pribadi itu tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan masyarakat. Apabila ternyata bertentangan maka harus dicabut dari pemiliknya secara rida (baik-baik) atau secara paksa, tetapi tetap harus diganti secara adil. Kemaslahatan (kepentingan) bersama itu lebih didahulukan daripada kepentingan pribadi.
Pernah terjadi pada masa Umar bin Khattab, bahwa beliau ingin mengadakan perluasan Masjidilharam, yaitu ketika jamaah banyak dan tempatnya tidak lagi memadai. Umar berkeinginan membeli sebagian rumah yang ada kebunnya, tetapi pemiliknya menolak untuk menjualnya, dan mereka tetap tidak mau.
Umar pun mengambilnya dari mereka secara paksa dan dimasukkan ke bagian masjid, kemudian nilai uangnya diletakkan di tempat penitipan Kakbah sehingga pemiliknya mengambil uang itu setelah beberapa waktu. Ini juga pernah terjadi pada Utsman bin Affan ra.
Menurut al-Qardhawi, demikian juga apabila terdesak oleh keperluan atau kepentingan untuk menentukan lokasi pembuatan rumah sakit, pabrik, bandara, sekolahan atau yang lainnya yang berkaitan dengan kepentingan bersama, maka tidak boleh bagi pemiliknya untuk menolak menjualnya asal dengan harga yang wajar.
Apabila ia menolak maka penguasa berhak memaksanya untuk menerima, berdasarkan keputusan pengadilan khusus yang
menyelesaikan perkara antara negara dan rakyat ketika terjadi perselisihan.
1. Harus terbukti bahwa harta itu diperoleh dengan cara yang benar dan dengan sarana yang diperbolehkan. Jika syarat ini tidak terpenuhi maka Islam tidak mengakuinya, meskipun sudah lama berada di tangan orang yang memegangnya.
Inilah yang membedakan dengan undang-undang yang dibuat oleh manusia yang mengakui pemilikan secara haram yaitu apabila telah lama dikuasai pada masa tertentu, misalnya 15 tahun. Adapun menurut Islam, lamanya menguasai tidak boleh menjadikan yang haram menjadi yang halal, selama keharamannya masih tetap ada dan diketahui.
2. Hendaknya pemilikan pribadi itu tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan masyarakat. Apabila ternyata bertentangan maka harus dicabut dari pemiliknya secara rida (baik-baik) atau secara paksa, tetapi tetap harus diganti secara adil. Kemaslahatan (kepentingan) bersama itu lebih didahulukan daripada kepentingan pribadi.
Pernah terjadi pada masa Umar bin Khattab, bahwa beliau ingin mengadakan perluasan Masjidilharam, yaitu ketika jamaah banyak dan tempatnya tidak lagi memadai. Umar berkeinginan membeli sebagian rumah yang ada kebunnya, tetapi pemiliknya menolak untuk menjualnya, dan mereka tetap tidak mau.
Umar pun mengambilnya dari mereka secara paksa dan dimasukkan ke bagian masjid, kemudian nilai uangnya diletakkan di tempat penitipan Kakbah sehingga pemiliknya mengambil uang itu setelah beberapa waktu. Ini juga pernah terjadi pada Utsman bin Affan ra.
Menurut al-Qardhawi, demikian juga apabila terdesak oleh keperluan atau kepentingan untuk menentukan lokasi pembuatan rumah sakit, pabrik, bandara, sekolahan atau yang lainnya yang berkaitan dengan kepentingan bersama, maka tidak boleh bagi pemiliknya untuk menolak menjualnya asal dengan harga yang wajar.
Apabila ia menolak maka penguasa berhak memaksanya untuk menerima, berdasarkan keputusan pengadilan khusus yang
menyelesaikan perkara antara negara dan rakyat ketika terjadi perselisihan.
(mhy)