Sultan Abdul Hamid: Tangan-Tangan Asing Menggerayang Dalam Hati Kita
Minggu, 26 Juli 2020 - 10:57 WIB
UNDANG-undang baru yang dibuat Perdana Menteri Medhat Pasya salah satunya berisi tentang pemilihan umum. Pemberian suara dilakukan dengan cara rahasia atau bisa pula dilakukan dengan terang-terangan sesuai dengan kondisi. Ini adalah pertama kali dalam pemerintahan Utsmani mengadakan pemilu . (
)
Sultan Abdul Hamid II memerintahkan hendaknya konstitusi itu dilaksanakan dan hendaknya dilakukan pemilihan umum yang merupakan hal yang pertama kali terjadi dalam sejarah pemerintahan Utsmani.
Pemilihan Umum ini menghasilkan perwakilan kaum muslimin sebanyak 71 kursi, Kristen 44 kursi dan Yahudi 4 kursi.
Parlemen Utsmani melakukan pertemuan umum pada tanggal 29 Maret 1877 M/1294 H. Majelis Tinggi (Senat) terdiri dari 26 anggota yang ditunjuk, 21 di antaranya terdiri dari kaum muslimin.
Sedangkan Majelis Perwakilan terdiri dari 120 anggota. Perwakilan yang datang dari Arab memainkan peran penting dalam perdebatan yang terjadi di parlemen. Hanya saja Majelis Perwakilan berumur pendek, sebelum Majelis ini menyelesaikan pertemuan putaran kedua, pada tanggal 13 Pebruari 1878 M (1296 H), Majelis Perwakilan meminta agar hendaknya menghadirkan tiga menteri di depan Majelis untuk mempertahankan diri dari tuduhan-tuduhan yang diarahkan kepada mereka.
Maka tidak ada pilihan bagi Sultan kecuali membubarkan Majelis dan memerintahkan para utusan (perwakilan) itu kembali ke negeri masing-masing. Sultan kemudian berusaha untuk mengasingkan dan meminggirkan orang-orang yang berpengaruh di antara mereka.
Dengan demikian, Majelis pada periodenya yang pertama hanya berusia 10 bulan 20 hari. Majelis ini tidak pernah mengadakan pertemuan lagi selama 30 tahun, sedangkan ruang pertemuan tidak pernah lagi dibuka walaupun satu kali.
Prof Dr Ali Muhammad Ash-Shalabi , dalam Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah menyebut menyebut Sultan Abdul Hamid terpaksa mengumumkan konstitusi itu, karena adanya tekanan yang dilakukan oleh orang-orang Freemasonry di bawah pimpinan Medhat Pasya. Maka tatkala kesempatan terbuka, dia melakukan pembubaran terhadap Majelis itu.
Menurut Ash-Shalabi, Sultan Abdul Hamid II adalah orang yang menentang sistem demokrasi dan hukum dengan menggunakan undang-undang buatan manusia yang dikenal dalam istilah pemerintahan Utsmani dengan "Al-Masyruthiyah“. Sultan menolak sistem ini karena dianggap sebagai sistem yang datang dari Barat.
Oleh sebab itulah, dia sangat menentang orang-orang yang menyeru pada demokrasi yang dipimpin oleh Medhat Pasya. Dia mengkritik keras menterinya itu dengan perkataannya:
“Dia tidak melihat kecuali faedah-faedah demokrasi yang ada di Eropa, namun dia tidak mempelajari sebab-sebab demokrasi ini dan pengaruh lain yang muncul darinya. Lempengan-lempengan tablet itu tidaklah selalu cocok untuk semua penyakit dan setiap orang. Sebagaimana demokrasi, tidaklah akan selalu cocok bagi setiap bangsa dan setiap kaum. Dulu saya yakin dia akan memberikan manfaat, namun kini saya yakin bahwa dia hanya akan mendatangkan mudharat."
Sultan memiliki alasan dan hujah-hujah yang sangat kuat dalam masalah ini. Di antaranya adalah, tindakan tidak pantas dari orang-orang yang selalu menggembar-gemborkan demokrasi tatkala Sultan merespon pertama kalinya pemikiran ini.
(2), (3) , ( 4 )
Di antara perbuatan yang tidak pantas adalah, pada saat diumumkannya konstitusi. Mereka meminta pada Sultan untuk menandatangani beberapa keputusan untuk mengangkat gubernur-gubernur dari kalangan Kristen di beberapa wilayah, sedangkan penduduknya mayoritas beragama Islam. Serta keputusan untuk menerima permintaan dari orang-orang Kristen di Akademi Militer Utsmani yang merupakan pilar pasukan Utsmani.
Sultan menolak untuk menandatangani apa yang mereka minta. Maka tak ada yang dilakukan oleh Medhat Pasya -yang saat itu menjabat sebagai menteri-kecuali mengatakan kepada Sultan, “Sesungguhnya tujuan kami dari dideklarasikannya konstitusi ini adalah untuk mengikis semua kediktatoran istana, dan wajib bagi tuan untuk mengetahui kewajiban Tuan."
Di antara sebab yang mendorong Sultan untuk melakukan penolakan terhadap pemikiran demokrasi ini, bisa didapatkan dalam sebuah perkataannya, "Pemerintahan Utsmani adalah negara yang menghimpun banyak bangsa, sedangkan “masyruthiyah” di negara yang seperti ini hanya akan mematikan unsur asli di dalam negeri. Apakah di parlemen Inggris ada seorang perwakilan beragama Hindu? Atau adakah di parlemen Perancis ada seorang perwakilan Aljazair?”
Sultan Abdul Hamid II memerintahkan hendaknya konstitusi itu dilaksanakan dan hendaknya dilakukan pemilihan umum yang merupakan hal yang pertama kali terjadi dalam sejarah pemerintahan Utsmani.
Pemilihan Umum ini menghasilkan perwakilan kaum muslimin sebanyak 71 kursi, Kristen 44 kursi dan Yahudi 4 kursi.
Parlemen Utsmani melakukan pertemuan umum pada tanggal 29 Maret 1877 M/1294 H. Majelis Tinggi (Senat) terdiri dari 26 anggota yang ditunjuk, 21 di antaranya terdiri dari kaum muslimin.
Sedangkan Majelis Perwakilan terdiri dari 120 anggota. Perwakilan yang datang dari Arab memainkan peran penting dalam perdebatan yang terjadi di parlemen. Hanya saja Majelis Perwakilan berumur pendek, sebelum Majelis ini menyelesaikan pertemuan putaran kedua, pada tanggal 13 Pebruari 1878 M (1296 H), Majelis Perwakilan meminta agar hendaknya menghadirkan tiga menteri di depan Majelis untuk mempertahankan diri dari tuduhan-tuduhan yang diarahkan kepada mereka.
Maka tidak ada pilihan bagi Sultan kecuali membubarkan Majelis dan memerintahkan para utusan (perwakilan) itu kembali ke negeri masing-masing. Sultan kemudian berusaha untuk mengasingkan dan meminggirkan orang-orang yang berpengaruh di antara mereka.
Dengan demikian, Majelis pada periodenya yang pertama hanya berusia 10 bulan 20 hari. Majelis ini tidak pernah mengadakan pertemuan lagi selama 30 tahun, sedangkan ruang pertemuan tidak pernah lagi dibuka walaupun satu kali.
Prof Dr Ali Muhammad Ash-Shalabi , dalam Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah menyebut menyebut Sultan Abdul Hamid terpaksa mengumumkan konstitusi itu, karena adanya tekanan yang dilakukan oleh orang-orang Freemasonry di bawah pimpinan Medhat Pasya. Maka tatkala kesempatan terbuka, dia melakukan pembubaran terhadap Majelis itu.
Menurut Ash-Shalabi, Sultan Abdul Hamid II adalah orang yang menentang sistem demokrasi dan hukum dengan menggunakan undang-undang buatan manusia yang dikenal dalam istilah pemerintahan Utsmani dengan "Al-Masyruthiyah“. Sultan menolak sistem ini karena dianggap sebagai sistem yang datang dari Barat.
Oleh sebab itulah, dia sangat menentang orang-orang yang menyeru pada demokrasi yang dipimpin oleh Medhat Pasya. Dia mengkritik keras menterinya itu dengan perkataannya:
“Dia tidak melihat kecuali faedah-faedah demokrasi yang ada di Eropa, namun dia tidak mempelajari sebab-sebab demokrasi ini dan pengaruh lain yang muncul darinya. Lempengan-lempengan tablet itu tidaklah selalu cocok untuk semua penyakit dan setiap orang. Sebagaimana demokrasi, tidaklah akan selalu cocok bagi setiap bangsa dan setiap kaum. Dulu saya yakin dia akan memberikan manfaat, namun kini saya yakin bahwa dia hanya akan mendatangkan mudharat."
Sultan memiliki alasan dan hujah-hujah yang sangat kuat dalam masalah ini. Di antaranya adalah, tindakan tidak pantas dari orang-orang yang selalu menggembar-gemborkan demokrasi tatkala Sultan merespon pertama kalinya pemikiran ini.
(2), (3) , ( 4 )
Di antara perbuatan yang tidak pantas adalah, pada saat diumumkannya konstitusi. Mereka meminta pada Sultan untuk menandatangani beberapa keputusan untuk mengangkat gubernur-gubernur dari kalangan Kristen di beberapa wilayah, sedangkan penduduknya mayoritas beragama Islam. Serta keputusan untuk menerima permintaan dari orang-orang Kristen di Akademi Militer Utsmani yang merupakan pilar pasukan Utsmani.
Sultan menolak untuk menandatangani apa yang mereka minta. Maka tak ada yang dilakukan oleh Medhat Pasya -yang saat itu menjabat sebagai menteri-kecuali mengatakan kepada Sultan, “Sesungguhnya tujuan kami dari dideklarasikannya konstitusi ini adalah untuk mengikis semua kediktatoran istana, dan wajib bagi tuan untuk mengetahui kewajiban Tuan."
Di antara sebab yang mendorong Sultan untuk melakukan penolakan terhadap pemikiran demokrasi ini, bisa didapatkan dalam sebuah perkataannya, "Pemerintahan Utsmani adalah negara yang menghimpun banyak bangsa, sedangkan “masyruthiyah” di negara yang seperti ini hanya akan mematikan unsur asli di dalam negeri. Apakah di parlemen Inggris ada seorang perwakilan beragama Hindu? Atau adakah di parlemen Perancis ada seorang perwakilan Aljazair?”