Benarkah Quraish Shihab Membolehkan Umat Islam Mengucapkan Selamat Natal?
Minggu, 24 Desember 2023 - 07:22 WIB
Prof Dr Muhammad Quraish Shihab berpendapat Al-Quran mengabadikan dan merestui ucapan selamat Natal pertama dari dan untuk Nabi Isa as . Hal ini beliau sampaikan dalam bukunya berjudul "Membumikan Al-Qur'an".
Quraish mengawali penjelasannya masalah ini dengan cuplikan kisah Natal dari Al-Quran Surah Maryam ayat 34. Berikut penjelasannya:
Sakit perut menjelang persalinan, memaksa Maryam bersandar ke pohon kurma. Ingin rasanya beliau mati, bahkan tidak pernah hidup sama sekali. Tetapi Malaikat Jibril datang menghibur: "Ada anak sungai di bawahmu, goyanghan pangkal pohon kurma ke arahmu, makan, minum dan senangkan hatimu. Kalau ada yang datang katakan: 'Aku bernazar tidak bicara.'"
"Hai Maryam , engkau melakukan yang amat buruk. Ayahmu bukan penjahat, ibumu pun bukan penzina," demikian kecaman kaumnya, ketika melihat bayi di gendongannya. Tetapi Maryam terdiam.
Beliau hanya menunjuk bayinya. Dan ketika itu bercakaplah sang bayi menjelaskan jati dirinya sebagai hamba Allah yang diberi Al-Kitab, sholat, berzakat serta mengabdi kepada ibunya. Kemudian sang bayi berdoa: "Salam sejahtera (semoga) dilimpahkan kepadaku pada hari kelahiranku, hari wafatku, dan pada hari ketika aku dibangkitkan hidup kembali."
Quraish bertanya, terlarangkah mengucapkan salam semacam itu? Bukankah Al-Quran telah memberikan contoh? Bukankah ada juga salam yang tertuju kepada Nuh, Ibrahim, Musa, Harun, keluarga Ilyas, serta para nabi lainnya?
Setiap Muslim, kata Quraish, harus percaya kepada Isa as seperti penjelasan ayat di atas, juga harus percaya kepada Muhammad SAW, karena keduanya adalah hamba dan utusan Allah.
"Kita mohonkan curahan shalawat dan salam untuk mereka berdua sebagaimana kita mohonkan untuk seluruh nabi dan rasul," katanya.
"Tidak bolehkah kita merayakan hari lahir (natal) Isa as?" lanjut Quraish. "Bukankah Nabi SAW juga merayakan hari keselamatan Musa as dari gangguan Fir'aun dengan berpuasa 'Asyura, seraya bersabda, 'Kita lebih wajar merayakannya daripada orang Yahudi pengikut Musa AS'," jelasnya.
Bukankah, "Para Nabi bersaudara hanya ibunya yang berbeda?" seperti disabdakan Nabi Muhammad SAW? Bukankah seluruh umat bersaudara? Apa salahnya kita bergembira dan menyambut kegembiraan saudara kita dalam batas kemampuan kita, atau batas yang digariskan oleh anutan kita? "Demikian lebih kurang pandangan satu pendapat," ujarnya lagi.
Menurut Quraish, banyak persoalan yang berkaitan dengan kehidupan Al-Masih yang dijelaskan oleh sejarah atau agama dan telah disepakati, sehingga harus diterima. Tetapi, ada juga yang tidak dibenarkan atau diperselisihkan. Di sini, kita berhenti untuk merujuk kepercayaan kita.
Isa as datang membawa kasih, "Kasihilah seterumu dan doakan yang menganiayamu." Muhammad SAW datang membawa rahmat, "Rahmatilah yang di dunia, niscaya yang di langit merahmatimu." Manusia adalah fokus ajaran keduanya; karena itu, keduanya bangga dengan kemanusiaan.
Isa menunjuk dirinya sebagai "anak manusia," sedangkan Muhammad SAW diperintahkan oleh Allah untuk berkata: "Aku manusia seperti kamu."
Keduanya datang membebaskan manusia dari kemiskinan rohani, kebodohan, dan belenggu penindasan. Ketika orang-orang mengira bahwa anak Jairus yang sakit telah mati, Al-Masih yang menyembuhkannya meluruskan kekeliruan mereka dengan berkata, "Dia tidak mati, tetapi tidur."
Dan ketika terjadi gerhana pada hari wafatnya putra Muhammad, orang berkata: "Matahari mengalami gerhana karena kematiannya." Muhammad SAW lalu menegur, "Matahari tidak mengalami gerhana karena kematian atau kelahiran seorang." Keduanya datang membebaskan maanusia baik yang kecil, lemah dan tertindas -dhu'afa' dan al-mustadh'affin dalam istilah Al-Quran.
Quraish mengatakan, bukankah ini satu dari sekian titik temu antara Muhammad dan Al-Masih? Bukankah ini sebagian dari kandungan Kalimat Sawa' (Kata Sepakat) yang ditawarkan Al-Quran kepada penganut Kristen (dan Yahudi (QS 3:64)? Kalau demikian, apa salahnya mengucapkan selamat natal, selama akidah masih dapat dipelihara dan selama ucapan itu sejalan dengan apa yang dimaksud oleh Al-Quran sendiri yang telah mengabadikan selamat natal itu?
Itulah antara lain alasan yang membenarkan seorang Muslim mengucapkan selamat atau menghadiri upacara Natal yang bukan ritual.
Quraish menjelaskan agama, sebelum negara, menuntut agar kerukunan umat dipelihara. Karenanya salah, bahkan dosa, bila kerukunan dikorbankan atas nama agama. Tetapi, juga salah serta dosa pula, bila kesucian akidah ternodai oleh atau atas nama kerukunan.
Teks keagamaan yang berkaitan dengan akidah sangat jelas, dan tidak juga rinci. Itu semula untuk menghindari kerancuan dan kesalahpahaman. Bahkan Al-Qur'an tidak menggunakan satu kata yang mungkin dapat menimbulkan kesalahpahaman, sampai dapat terjamin bahwa kata atau kalimat itu, tidak disalahpahami.
Kata "Allah," misalnya, tidak digunakan oleh Al-Quran, ketika pengertian semantiknya yang dipahami masyarakat jahiliah belum sesuai dengan yang dikehendaki Islam. Kata yang digunakan sebagai ganti ketika itu adalah Rabbuka (Tuhanmu, hai Muhammad). Demikian terlihat pada wahyu pertama hingga surah Al-Ikhlas. Nabi SAW sering menguji pemahaman umat tentang Tuhan. Beliau tidak sekalipun bertanya, "Di mana Tuhan?"
Tertolak riwayat yang menggunakan redaksi itu karena ia menimbulkan kesan keberadaan Tuhan pada satu tempat, hal yang mustahil bagi-Nya dan mustahil pula diucapkan oleh Nabi. Dengan alasan serupa, para ulama bangsa kita enggan menggunakan kata "ada" bagi Tuhan, tetapi "wujud Tuhan."
Pengaburan Akidah
Natalan, walaupun berkaitan dengan Isa Al-Masih, manusia agung lagi suci itu, namun ia dirayakan oleh umat Kristen yang pandangannya terhadap Al-Masih berbeda dengan pandangan Islam.
Nah, mengucapkan "Selamat Natal " atau menghadiri perayaannya dapat menimbulkan kesalahpahaman dan dapat mengantar kepada pengaburan akidah. Ini dapat dipahami sebagai pengakuan akan ketuhanan Al-Masih, satu keyakinan yang secara mutlak bertentangan dengan akidah Islam.
Dengan kacamata itu, lahir larangan dan fatwa haram itu, sampai-sampai ada yang beranggapan jangankan ucapan selamat, aktivitas apa pun yang berkaitan dengan Natal tidak dibenarkan, sampai pada jual beli untuk keperluann Natal.
Adakah kacamata lain? "Mungkin!" ujar Quraish Shihab.
Seperti terlihat, menurut Quraish, larangan ini muncul dalam rangka upaya memelihara akidah. Karena, kekhawatiran kerancuan pemahaman, agaknya lebih banyak ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan kabur akidahnya.
Nah, kalau demikian, jika ada seseorang yang ketika mengucapkannya tetap murni akidahnya atau mengucapkannya sesuai dengan kandungan "Selamat Natal" Qur'ani, kemudian mempertimbangkan kondisi dan situasi di mana hal itu diucapkan, sehingga tidak menimbulkan kerancuan akidah baik bagi dirinya ataupun Muslim yang lain, maka agaknya tidak beralasan adanya larangan itu.
Adakah yang berwewenang melarang seorang membaca atau mengucapkan dan menghayati satu ayat Al-Quran?
Dalam rangka interaksi sosial dan keharmonisan hubungan, Al-Qur'an memperkenalkan satu bentuk redaksi, di mana lawan bicara memahaminya sesuai dengan pandangan atau keyakinannya, tetapi bukan seperti yang dimaksud oleh pengucapnya. Karena, si pengucap sendiri mengucapkan dan memahami redaksi itu sesuai dengan pandangan dan keyakinannya.
Salah satu contoh yang dikemukakan adalah ayat-ayat yang tercantum dalam QS 34:24-25 . Kalaupun non-Muslim memahami ucapan "Selamat Natal" sesuai dengan keyakinannya, maka biarlah demikian, karena Muslim yang memahami akidahnya akan mengucapkannya sesuai dengan garis keyakinannya. Memang, kearifan dibutuhkan dalam rangka interaksi sosial.
Tidak Keliru
Tidak kelirulah, dalam kacamata ini, fatwa dan larangan itu, bila ia ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan ternodai akidahnya. Tetapi, tidak juga salah mereka yang membolehkannya, selama pengucapnya bersikap arif bijaksana dan tetap terpelihara akidahnya, lebih-lebih jika hal tersebut merupakan tuntunan keharmonisan hubungan.
Dostojeivsky (1821-1881), pengarang Rusia kenamaan, pernah berimajinasi tentang kedatangan kembali Al-Masih. Sebagian umat Islam pun percaya akan kedatangannya kembali. Terlepas dari penilaian terhadap imajinasi dan kepercayaan itu, kita dapat memastikan bahwa jika benar beliau datang, seluruh umat berkewajiban menyambut dan mendukungnya, dan pada saat kehadirannya itu pasti banyak hal yang akan beliau luruskan.
"Bukan saja sikap dan ucapan umatnya, tetapi juga sikap dan ucapan umat Muhammad SAW. Salam sejahtera semoga tercurah kepada beliau, pada hari Natalnya, hari wafat dan hari kebangkitannya nanti," demikian Prof M Quraish Shihab.
Quraish mengawali penjelasannya masalah ini dengan cuplikan kisah Natal dari Al-Quran Surah Maryam ayat 34. Berikut penjelasannya:
Sakit perut menjelang persalinan, memaksa Maryam bersandar ke pohon kurma. Ingin rasanya beliau mati, bahkan tidak pernah hidup sama sekali. Tetapi Malaikat Jibril datang menghibur: "Ada anak sungai di bawahmu, goyanghan pangkal pohon kurma ke arahmu, makan, minum dan senangkan hatimu. Kalau ada yang datang katakan: 'Aku bernazar tidak bicara.'"
"Hai Maryam , engkau melakukan yang amat buruk. Ayahmu bukan penjahat, ibumu pun bukan penzina," demikian kecaman kaumnya, ketika melihat bayi di gendongannya. Tetapi Maryam terdiam.
Beliau hanya menunjuk bayinya. Dan ketika itu bercakaplah sang bayi menjelaskan jati dirinya sebagai hamba Allah yang diberi Al-Kitab, sholat, berzakat serta mengabdi kepada ibunya. Kemudian sang bayi berdoa: "Salam sejahtera (semoga) dilimpahkan kepadaku pada hari kelahiranku, hari wafatku, dan pada hari ketika aku dibangkitkan hidup kembali."
Quraish bertanya, terlarangkah mengucapkan salam semacam itu? Bukankah Al-Quran telah memberikan contoh? Bukankah ada juga salam yang tertuju kepada Nuh, Ibrahim, Musa, Harun, keluarga Ilyas, serta para nabi lainnya?
Setiap Muslim, kata Quraish, harus percaya kepada Isa as seperti penjelasan ayat di atas, juga harus percaya kepada Muhammad SAW, karena keduanya adalah hamba dan utusan Allah.
"Kita mohonkan curahan shalawat dan salam untuk mereka berdua sebagaimana kita mohonkan untuk seluruh nabi dan rasul," katanya.
"Tidak bolehkah kita merayakan hari lahir (natal) Isa as?" lanjut Quraish. "Bukankah Nabi SAW juga merayakan hari keselamatan Musa as dari gangguan Fir'aun dengan berpuasa 'Asyura, seraya bersabda, 'Kita lebih wajar merayakannya daripada orang Yahudi pengikut Musa AS'," jelasnya.
Bukankah, "Para Nabi bersaudara hanya ibunya yang berbeda?" seperti disabdakan Nabi Muhammad SAW? Bukankah seluruh umat bersaudara? Apa salahnya kita bergembira dan menyambut kegembiraan saudara kita dalam batas kemampuan kita, atau batas yang digariskan oleh anutan kita? "Demikian lebih kurang pandangan satu pendapat," ujarnya lagi.
Menurut Quraish, banyak persoalan yang berkaitan dengan kehidupan Al-Masih yang dijelaskan oleh sejarah atau agama dan telah disepakati, sehingga harus diterima. Tetapi, ada juga yang tidak dibenarkan atau diperselisihkan. Di sini, kita berhenti untuk merujuk kepercayaan kita.
Isa as datang membawa kasih, "Kasihilah seterumu dan doakan yang menganiayamu." Muhammad SAW datang membawa rahmat, "Rahmatilah yang di dunia, niscaya yang di langit merahmatimu." Manusia adalah fokus ajaran keduanya; karena itu, keduanya bangga dengan kemanusiaan.
Isa menunjuk dirinya sebagai "anak manusia," sedangkan Muhammad SAW diperintahkan oleh Allah untuk berkata: "Aku manusia seperti kamu."
Keduanya datang membebaskan manusia dari kemiskinan rohani, kebodohan, dan belenggu penindasan. Ketika orang-orang mengira bahwa anak Jairus yang sakit telah mati, Al-Masih yang menyembuhkannya meluruskan kekeliruan mereka dengan berkata, "Dia tidak mati, tetapi tidur."
Dan ketika terjadi gerhana pada hari wafatnya putra Muhammad, orang berkata: "Matahari mengalami gerhana karena kematiannya." Muhammad SAW lalu menegur, "Matahari tidak mengalami gerhana karena kematian atau kelahiran seorang." Keduanya datang membebaskan maanusia baik yang kecil, lemah dan tertindas -dhu'afa' dan al-mustadh'affin dalam istilah Al-Quran.
Quraish mengatakan, bukankah ini satu dari sekian titik temu antara Muhammad dan Al-Masih? Bukankah ini sebagian dari kandungan Kalimat Sawa' (Kata Sepakat) yang ditawarkan Al-Quran kepada penganut Kristen (dan Yahudi (QS 3:64)? Kalau demikian, apa salahnya mengucapkan selamat natal, selama akidah masih dapat dipelihara dan selama ucapan itu sejalan dengan apa yang dimaksud oleh Al-Quran sendiri yang telah mengabadikan selamat natal itu?
Itulah antara lain alasan yang membenarkan seorang Muslim mengucapkan selamat atau menghadiri upacara Natal yang bukan ritual.
Quraish menjelaskan agama, sebelum negara, menuntut agar kerukunan umat dipelihara. Karenanya salah, bahkan dosa, bila kerukunan dikorbankan atas nama agama. Tetapi, juga salah serta dosa pula, bila kesucian akidah ternodai oleh atau atas nama kerukunan.
Teks keagamaan yang berkaitan dengan akidah sangat jelas, dan tidak juga rinci. Itu semula untuk menghindari kerancuan dan kesalahpahaman. Bahkan Al-Qur'an tidak menggunakan satu kata yang mungkin dapat menimbulkan kesalahpahaman, sampai dapat terjamin bahwa kata atau kalimat itu, tidak disalahpahami.
Kata "Allah," misalnya, tidak digunakan oleh Al-Quran, ketika pengertian semantiknya yang dipahami masyarakat jahiliah belum sesuai dengan yang dikehendaki Islam. Kata yang digunakan sebagai ganti ketika itu adalah Rabbuka (Tuhanmu, hai Muhammad). Demikian terlihat pada wahyu pertama hingga surah Al-Ikhlas. Nabi SAW sering menguji pemahaman umat tentang Tuhan. Beliau tidak sekalipun bertanya, "Di mana Tuhan?"
Tertolak riwayat yang menggunakan redaksi itu karena ia menimbulkan kesan keberadaan Tuhan pada satu tempat, hal yang mustahil bagi-Nya dan mustahil pula diucapkan oleh Nabi. Dengan alasan serupa, para ulama bangsa kita enggan menggunakan kata "ada" bagi Tuhan, tetapi "wujud Tuhan."
Pengaburan Akidah
Natalan, walaupun berkaitan dengan Isa Al-Masih, manusia agung lagi suci itu, namun ia dirayakan oleh umat Kristen yang pandangannya terhadap Al-Masih berbeda dengan pandangan Islam.
Nah, mengucapkan "Selamat Natal " atau menghadiri perayaannya dapat menimbulkan kesalahpahaman dan dapat mengantar kepada pengaburan akidah. Ini dapat dipahami sebagai pengakuan akan ketuhanan Al-Masih, satu keyakinan yang secara mutlak bertentangan dengan akidah Islam.
Dengan kacamata itu, lahir larangan dan fatwa haram itu, sampai-sampai ada yang beranggapan jangankan ucapan selamat, aktivitas apa pun yang berkaitan dengan Natal tidak dibenarkan, sampai pada jual beli untuk keperluann Natal.
Adakah kacamata lain? "Mungkin!" ujar Quraish Shihab.
Seperti terlihat, menurut Quraish, larangan ini muncul dalam rangka upaya memelihara akidah. Karena, kekhawatiran kerancuan pemahaman, agaknya lebih banyak ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan kabur akidahnya.
Nah, kalau demikian, jika ada seseorang yang ketika mengucapkannya tetap murni akidahnya atau mengucapkannya sesuai dengan kandungan "Selamat Natal" Qur'ani, kemudian mempertimbangkan kondisi dan situasi di mana hal itu diucapkan, sehingga tidak menimbulkan kerancuan akidah baik bagi dirinya ataupun Muslim yang lain, maka agaknya tidak beralasan adanya larangan itu.
Adakah yang berwewenang melarang seorang membaca atau mengucapkan dan menghayati satu ayat Al-Quran?
Dalam rangka interaksi sosial dan keharmonisan hubungan, Al-Qur'an memperkenalkan satu bentuk redaksi, di mana lawan bicara memahaminya sesuai dengan pandangan atau keyakinannya, tetapi bukan seperti yang dimaksud oleh pengucapnya. Karena, si pengucap sendiri mengucapkan dan memahami redaksi itu sesuai dengan pandangan dan keyakinannya.
Salah satu contoh yang dikemukakan adalah ayat-ayat yang tercantum dalam QS 34:24-25 . Kalaupun non-Muslim memahami ucapan "Selamat Natal" sesuai dengan keyakinannya, maka biarlah demikian, karena Muslim yang memahami akidahnya akan mengucapkannya sesuai dengan garis keyakinannya. Memang, kearifan dibutuhkan dalam rangka interaksi sosial.
Tidak Keliru
Tidak kelirulah, dalam kacamata ini, fatwa dan larangan itu, bila ia ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan ternodai akidahnya. Tetapi, tidak juga salah mereka yang membolehkannya, selama pengucapnya bersikap arif bijaksana dan tetap terpelihara akidahnya, lebih-lebih jika hal tersebut merupakan tuntunan keharmonisan hubungan.
Dostojeivsky (1821-1881), pengarang Rusia kenamaan, pernah berimajinasi tentang kedatangan kembali Al-Masih. Sebagian umat Islam pun percaya akan kedatangannya kembali. Terlepas dari penilaian terhadap imajinasi dan kepercayaan itu, kita dapat memastikan bahwa jika benar beliau datang, seluruh umat berkewajiban menyambut dan mendukungnya, dan pada saat kehadirannya itu pasti banyak hal yang akan beliau luruskan.
"Bukan saja sikap dan ucapan umatnya, tetapi juga sikap dan ucapan umat Muhammad SAW. Salam sejahtera semoga tercurah kepada beliau, pada hari Natalnya, hari wafat dan hari kebangkitannya nanti," demikian Prof M Quraish Shihab.
(mhy)